Pappy and Me

Pappy and Me

Pappy and Me

Oleh: Karna Jaya Tarigan

Namaku Puppie. Sienna selalu memanggilku dengan panggilan Pappy. Umurku baru lima bulan. Aku diberikan seorang lelaki muda kepada si cantik itu ketika masih bayi. Ia langsung saja menyukaiku. Diberikannya sebotol susu lalu memasukkan ujung dot ke dalam mulutku perlahan. Ia begitu menyayangiku, layaknya seorang ibu yang mengasihi anaknya. Sambil menonton tayangan televisi, aku dinaikkan ke atas pangkuannya dan bagian atas kepalaku diusap-usap dengan penuh kelembutan. Perempuan itu sungguh  sehangat seorang ibu sejati. Menyuapi makanan di mulutku dengan penuh cinta. Aku begitu menyayanginya.

***

Santo memberikan seekor anjing kecil sebagai hadiah ulang tahunku. Kuberikan nama Puppie, karena saat itu ia seekor “puppies” atau anak anjing yang sangat lucu. Ia berwarna putih dengan sebaran kombinasi coklat di hampir sekujur tubuhnya! Ah, pappy benar-benar seekor anak anjing yang menyenangkan hati. Cobalah dengarkan salakan suaranya, kencang dan begitu cempreng. Terdengar seperti suara? Entahlah! Terasa sulit untuk menirukannya. Seperti suara kaleng yang jatuh bergulingan di atas lantai. Yang jelas dia merupakan hadiah terbaik yang pernah diberikan Santo, kekasihku. Dan Pappy kini selalu menemani kemana pun aku berada. Kami selayaknya dua mahluk yang bersahabat. Ada aku, pasti ada dia. Di setiap saat.

***

Suatu sore menjelang malam, sebelum gelap mulai menunjukkan rupanya. Aku menemukan ia sedang  menangis sesenggukan. Ada sembap di dua kelopak matanya. Sepanjang malam itu ia terus saja menutup matanya dengan bantal, dan aku tak tahu apa yang menjadi penyebabnya? Hanya isakan lirih yang terus terdengar. Bahkan ia hampir melupakan aku, sahabatnya. Aku menjadi bosan bermain sendirian! Kudekati dirinya dan menyapa, “guk, guk, guk!”

Ia menoleh sebentar, kemudian mengangkat tubuh kecilku dan memelukku dengan sangat erat. Oh, kami selayaknya teman sejati. Saling memperhatikan, mengingatkan dan menyayangi. Tak akan ada yang pernah saling meninggalkan. Itulah gunanya teman.

***

Aku tak mengerti, ada apa dengan jalan pikiran Santo. Mengapa tega-teganya ia meninggalkan aku, kekasihnya. Apakah ia tak tahu? Bahwa di perutku kini telah tertanam benih seorang anak di rahimku! Bakal bayi itu sudah berumur dua bulan tepat dari sekarang. Kukirimkan pesan WhatsApp, tetapi tak pernah dibalasnya! Segera kudatangi tempat tinggalnya, tetapi ia sudah lama pindah, kata ibu pemilik indekos. Ah, aku sungguh terlalu bodoh. Semudah itu mau menyerahkan segenap hati, bahkan kemolekan tubuh ini juga kepadanya! Seandainya kedua orangtuaku tahu, pasti mereka akan murka dan marah besar!!! Entah apa aku masih dianggap seorang anak, atau aku akan diusir seperti Mbak Dini, kakakku tercinta. Bertahun-tahun sudah aku sangat merindukan dirinya. Di manakah kini ia berada? Berapa kali lebaran datang, kami tak pernah berjumpa.

***

Sebuah tempat yang sunyi. Hanya ada kerumunan suara angin yang terdengar riuh. Derunya menyisip kedua kupingku yang panjang. Menampar-nampar wajah gadis itu sesekali. Begitu deras tiupannya, sehingga membuat rambutnya beriak dan menjadi berantakan. Tiupan angin itu laksana puncak amarah dan keputusasaan yang menjelma dan bercampur menjadi satu. Entah siapa yang menjadi tuannya. Sienna, ataukah alam itu sendiri!

Ia berjalan menuju bibir jurang, di bawahnya terbentang lautan biru nan luas. Pelan-pelan sahabatku menyeretkan dua kakinya menuju bibir tebing. Begitu banyak kesedihan yang terlihat dan menyelimuti paras mukanya, layaknya mendung yang sebentar lagi akan tumpah menjadi hujan. Tatapannya membeku sedingin es. Aku berlari dan berputar-putar, meloncat, juga berjingkat mengitari langkahnya. Naluriku sebagai hewan berkata, “Ada yang tidak biasa!”

“Guk, guk, guk!” Aku berusaha menggonggong dengan lantang dan keras.

“Guk, guk, guk… Haeeehh!” Sekali lagi, kali ini suara gonggonganku benar-benar lebih keras dan lantang! Membelah, menyentak, dan memecah kesunyian sekitar.

Tepat lima langkah lagi, sahabatku akan jatuh ke bawah tebing. Kumpulan batu karang yang tajam telah menunggu. Aku segera menghadang dan menggigit bagian bawah celana jeans-nya. Sekuat taring-taringku bisa menahan laju langkah kakinya. Sungguh ajaib. Tiba-tiba langkahnya terhenti! Kupandangi dalam-dalam wajah muramnya. Ada air mata yang jatuh menyiram rumput dan ilalang-ilalang kering. Tiba-tiba ia memeluk dan memandangi mata bulat milikku yang jernih, lalu berpaling menuju ke arah jalan pulang, tanpa pernah menengok ke belakang lagi.

***

Aku tak sanggup lagi menahan dan menyimpan aib ini. Keputusasaan, sakit hati, juga rasa takut yang mendalam tak mampu diurai oleh pikiranku yang jernih. Semuanya bercampur aduk seperti kopi pahit yang disajikan tanpa gula sama sekali. Aku bahkan tak mampu memisahkan, apa yang semestinya dilakukan dan apa yang harus dihindari. Atau ada rencana lain? Tak mungkin juga, Ibu dan Ayah akan mengusirku. Tinggal aku, anak perempuan satu-satunya yang tersisa. Pernah juga sekali aku melihat Ibu menangis. Ayah kemudian datang untuk mengusap rambutnya, lalu ia memeluk Ibu. Ada rasa kehilangan begitu dalam yang mungkin dirasakan oleh mereka. Besok lebih baik aku mengatakan yang sebenarnya. Jika nasib tak ramah, biarlah Tuhan yang menjagaku nanti. Masih ada Pappy yang menemaniku, setidaknya!

Sebenarnya aku, kemarin mencoba untuk meloncat dari tebing yang tinggi itu. Biarlah semua penyesalan tenggelam dan larut menjadi buih-buih di lautan. Tetapi ketika Pappy menyalak dengan begitu keras, aku jadi berfikir. Apakah hidup masih mempunyai arti? Kulihat dari matanya yang memandang dengan sayu, seakan memohon.

“Jangan kau tinggalkan aku. Aku hanya seekor anjing yang hidup sebatang kara, dan tidak memiliki siapa-siapa lagi. Tegakah kau, membiarkan aku menjadi anjing jalanan?” Begitu katanya, seolah-olah ia bisa berbicara dari dalam hati.

“Oh, Tuhan. Maafkan semua dosa dan kesalahanku. Jika seekor hewan saja masih menginginkan sebentuk kehidupan yang nyaman dan berarti, bagaimana dengan janin yang berada di dalam rahim ini? Bagaimana seandainya ia bisa berbicara dan mengatakan langsung kepadaku!”

Esok aku harus mengatakan yang sebenarnya kepada Ayah dan Ibu….

Tentang Penulis:

Karna Jaya Tarigan. Seorang penulis pemula. Terdampar di laman Facebook: sebuah dunia baru untuk berkarya. Tinggal di Kota Bekasi.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply