Papa dan Masa Lalunya
Oleh: Cahaya Fadillah
Mata Papa berkaca-kaca saat memandang kondisi toko yang isinya hanya tinggal separuh. Separuhnya lagi harus dikosongkan hari ini. Barang-barang seperti mesin jahit, lemari, etalase, benang-benang, resleting, baju siap jahit dan beberapa kain yang belum diolah akhirnya diungsikan ke rumah kami yang jaraknya tidak sampai memakan waktu sepuluh menit.
Papa mencoba bersikap biasa, seolah tidak terjadi apa-apa dengan dirinya. Padahal, aku tahu pasti di mata yang terlihat tegar itu ingin sekali ia mengeluarkan air mata, tetapi berusaha ditahan sekuat tenaga.
Tidak butuh waktu lama separuh toko yang akan dikosongkan berhasil bersih dari barang-barang, beberapa orang membantu Papa mengungsikannya ke rumah kami. Sekarang hanya tinggal aku dan Papa di sini, mengemasi barang-barang kecil untuk kemudian menyapu bersih ruangan yang tidak akan ditempati lagi.
“Masih ada beberapa kancing baju di sana, Nak,” ucap Papa sambil menunjuk ke pojokan.
“Iya, Pa,” jawabku pendek.
“Jangan lupa sortir dulu sampah-sampah itu sebelum dibuang, kancing baju, jarum dan barang yang kecil-kecil bisa jadi masih ada di sana. Sayang kalau kebuang, masih bisa dijual lagi atau dipergunakan sendiri,” Papa menjelaskan tanpa memandangku sama sekali.
Kulihat Papa berjalan dengan langkah pelan keluar toko, memperhatikan toko dari jauh dengan pandangan yang menyedihkan. Aku tahu pasti kesedihan Papa, bertahun-tahun membangun toko itu dari nol. Sebelum Papa dan Mama bertemu, toko itu telah lebih dahulu dihuni Papa. Mereka memulai dari tidak memiliki apa-apa sampai mampu membeli rumah dan menyekolahkan kami hingga sarjana.
“Tiga puluh delapan tahun sudah berlalu begitu saja, terlalu cepat rasanya.” Tiba-tiba Papa sudah berdiri di sampingku, berceloteh sambil menatap setiap sudut toko yang akan ia tinggalkan.
Mata Papa berkaca-kaca saat ia berkata, “Sekarang sebagian harus diikhlaskan pergi,” ucap Papa masih mencoba tersenyum.
Aku hanya bisa diam, tidak tahu bagaimana cara yang baik untuk mengobati hati Papa yang sedang bimbang.
***
Masih gelap, azan baru saja berkumandang saat aku baru membuka mata pagi ini. Ketukan pintu terdengar jelas, seseorang berbisik pelan, “Aya, sudah bangun? Sudah masuk waktu Subuh, Nak.” Lalu suara itu menghilang, langkah pelan Papa masih terdengar dan perlahan menjauh. Dari suaranya kudengar masih sama, ada rasa sedih yang masih mengikat pikiran Papa hingga detik ia membangunkanku.
Kusibak selimut, duduk, lalu kulangkahkan kaki menuju kamar mandi. Dalam doa tidak banyak kupinta selain agar Papa diberi kekuatan untuk bisa ikhlas melepaskan apa yang perlahan membuatnya besar selama ini. Melepaskan tidak berarti kehilangan, bukan? Bisa jadi dari kehilangan bisa mendapatkan pengganti, atau bahkan lebih dari itu.
Dua rakaat sudah kutunaikan. Bersiap turun membantu Mama di dapur pagi ini. Masih dalam keadaan gelap aku menyusuri lorong dengan langkah pelan. Tiba-tiba Papa sudah berada di depanku.
“Sudah diambil orang,” kata Papa.
“Diambil?” tanyaku bingung.
“Ya, toko sebelah yang kita kosongkan kemarin sudah diambil alih. Rencananya mereka menempati besok pagi,” ujar Papa menampakan deretan giginya yang putih bersih dan kokoh di usia enam puluhan. Papa berusaha kuat di depanku lagi.
Namun, ia papaku, aku tahu apa yang ia rasakan saat ini. Sebuah kenangan masa lalu serta bekas perjuangannya sedang mengaduk-aduk hatinya yang mulai merapuh. Aku tidak dapat berkomentar, aku tidak pandai berkata sabar jika melihat Papa seperti ini. Aku juga tidak berani berkata menenangkan, sedangkan aku sendiri tidak bisa tenang. Kenangan masa lalu itu juga bagian masa kecilku, kami sempat tinggal bertahun-tahun di toko mungil itu hingga akhirnya Papa dan Mama menghadiahi kami istana yang besar—rumahku saat ini.
Pagi ini, aku masih membantu Papa mengemasi barang-barang di toko yang masih digunakan, menata kembali barang tersebut untuk disatukan di toko yang masih dijalankan.
“Sayang empat anakmu tidak ada yang pandai menjahit, Tuan,” ujar seseorang berkepala licin saat membayar tagihan jahitan kepada Papa.
“Memang mereka tidak pernah saya ajarkan menjahit, Pak,” ucap Papa sambil tersenyum.
“Kenapa? Sayang sekali, usaha yang dirintis bertahun-tahun harus dikurangi perlahan.” Kepala licin bapak tersebut berputar-putar saat memperhatikan setiap sudut toko yang hanya tinggal separuh.
“Entahlah, saya tahu bagaimana suka dukanya menjahit, saya dan istri sudah menjalani ini bertahun-tahun, bahkan sebelum kami bertemu. Jadi, saya lebih memilih menyekolahkan anak-anak saya setinggi mungkin untuk bisa berhasil di jalan lain. Jangan di sini, capek, Pak,” Papa berseloroh sambil tersenyum lalu menatap sendu kepadaku.
“Tapi, terlalu kecil untuk Bapak yang sudah ‘besar’,” ujarnya sambil menekankan kata besar.
“Tenaga saya sudah berkurang, Pak. Mungkin memang sudah waktunya dikurangi, di umur segini saya sudah tidak bisa secepat dulu. Tubuh ini tidak semuda dulu,” ucap Papa sambil mengelus rambutnya yang mulai memutih.
Air mataku menetes tanpa perintah. Entah kenapa ada rasa kehilangan yang singgah di hatiku, ini baru sebagian toko kami diambil oleh yang punya karena kami tidak berniat membeli secara utuh. Bangunan yang stategis. Namun beberapa kendala membuat Papa memutuskan tidak membeli semua. Entahlah, aku tidak tahu pasti apa masalahnya, tetapi yang pasti kenangan masa kecilku tercipta dari sini.
***
“Sedikit lagi, biar permukaannya licin dan lebih rapi,” ujar Papa terdengar dari jauh.
Suara palu bertalu memenuhi siang yang mulai sepi, beberapa tetangga yang lalu lalang bahkan tidak bersuara karena panas yang menyengat siang itu. Namun, Papa bersama seorang tukang sibuk membenahi kedai kecil di depan rumah.
Sudah beberapa bulan berlalu sejak pengurangan toko jahit. Kesedihan Papa kehilangan toko yang separuh mulai tidak terlihat. Papa berhasil menjauhkan segala pikiran sedih itu, mengubahnya menjadi energi positif dan kini sibuk dengan kedai kecil di depan rumah.
“Papa bikin apa?” tanyaku sambil memperhatikan sebuah bangunan mungil di depan rumah yang mulai rapi.
“Sudah Papa putuskan, mungkin memang sudah waktunya Papa pensiun. Papa mau pindah ke rumah, toko di sana mungkin mau disewakan saja. Lebih baik Papa di rumah bersama Mama. Nanti saat lebaran tiba, Papa dan Mama akan menunggu kalian pulang.”
Tatapan Papa kali ini terlihat lebih baik. Senyumnya lebih tulus. Mungkin memang sudah saatnya Papa melepaskan sebuah kebahagiannya menjahit demi mendapatkan kebahagiaan lain. Ya, berkumpul bersama kami, karena selama ini Papa termasuk seorang yang sangat sibuk–Workholic.
Cahaya Fadillah, Pernah mempertanyakan kenapa kuliah di jurusan Komunikasi sedangkan sastra adalah sebagian jiwanya.
FB: Cahaya Fadillah
IG: CatatanCahayaFadillah
Wattpad: @CahayaFadillahStory
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata