Pantang Pohon Pisang Tundun Dua Kali

Pantang Pohon Pisang Tundun Dua Kali

Pantang Pohon Pisang Tundun Dua Kali
Oleh: Rachmawati

“Oh, jadi kamu ngumpet di sini, pantes aku cari di rumah enggak ada, di kampus juga enggak ketemu,” Farah menyerocos tanpa henti, berkacak pinggang. Sedangkan Bayu dan Amar mengintip dari balik kaca jendela.

“Farah, ini rumah temenku, enggak sopan marah-marah di rumah orang.” Bram berdiri, meletakkan gitar di kursi teras rumah Bintang, sahabatnya.

“Aku enggak peduli. Aku capek, Bram.”

“Capek atau bosan gonta-ganti cowok?” Bram tetap datar, dia sudah hafal betul cara menghadapi mantan kekasihnya yang cantik itu. Gadis yang telah meninggalkannya demi lelaki yang lebih mapan, menurutnya.

“Aku mau kita balikan Bram,” suara Farah melembut.

“Aku enggak bisa, Farah”

“Kenapa? Kamu masih marah sama aku?” Farah mendekatkan wajahnya ke wajah Bram, tetapi lelaki itu tidak terpengaruh sedikit pun.

“Kalau aku marah, aku enggak akan ngobrol sama kamu di sini.” Bram beranjak, berjalan hendak meninggalkan rumah Bintang. Farah mengambil tangan Bram, menahannya, memeluk tubuh Bram dengan kuat. Bayu dan Amar saling peluk di ruang tamu. Mereka menggigit bibir masing-masing, menunggu adegan apa yang akan dilakukan Farah berikutnya pada Bram, sahabat mereka.

Bintang keluar dari pintu samping rumahnya, terkejut melihat drama peluk-pelukan di halamannya. Bram dengan sigap melepas pelukan Farah, berjalan masuk ke rumah Bintang. Meninggalkan Farah yang tertegun di luar sendirian, bersungut-sungut.

Kok ditinggalin, kan sayang, Bram. Cantik, loh.” Amar turun dari sofa.

“Itu Farah, pacar kamu, kan?” Bintang menahan daun pintu agar tidak tertutup. Melihat dengan bingung saat gadis berperawakan tinggi dan kulit putih itu pergi dengan mobil sedannya.

“Kami udah putus.” Bram duduk di sofa, Bayu dan Amar mengikutinya.

“Kok putus, dia kan sayang banget sama kamu.” Amar menggoda Bram, memainkan alisnya naik turun.

“Kalau gitu buat kamu aja.”

“Kamu pikir aku tempat sampah?” Amar melempar bantal ke wajah Bram.

“Itu tahu.”

***

Bram mengetuk pintu rumah Bintang. Baru satu ketukan, pintu sudah terbuka dari dalam. Senyum manis Rara menyambutnya. Lesung pipinya tampak sempurna berpadu dengan matanya yang bulat dan hidungnya yang mancung.

Halo, Ra. Bintang ada?”

“Ada, Bang, di kamarnya. Masuk aja.”

Bram masuk menuju ke kamar Bintang. Sahabatnya sedang tidur pulas rupanya. Meski sudah dipanggil berkali-kali, tetap saja bergeming. Bram mengguncang-guncang tubuh Bintang, tetapi Bintang malah merenggangkan tubuh, memeluk guling dan menutup kepalanya dengan bantal. Sebenarnya Bram datang untuk meminjam kamus Bahasa Inggris, tugas makalah harus dikumpulkan sore ini. Namun jika tidur, Bintang mirip kerbau, kalau sudah ketemu bantal susah bangun. Bram mengambil kamus di meja belajar.

Ah sudah, izinnya nanti saja. Toh, si empunya sudah tahu maksud kedatanganku.

Dari ruang tamu terdengar gaduh saat Bram keluar dari kamar Bintang, duo kampret sedang berebut menggoda Rara. Bram menggaruk-garuk kepalanya. Melihat tingkah Bayu dan Amar yang memang tidak bisa melihat cewek bening barang sebentar saja.

“Rara mau berangkat les, ya? Bang Amar anterin, ya?”

“Enggak mau, Rara mau berangkat sendiri.” Rara mengemas buku-bukunya, memasukkan ke dalam tas.

“Kalau gitu sama Bang Bayu aja.” Bayu memasang muka sok jagoan, membusungkan dada, memutar-mutar kunci motor di tangannya.

“ENGGAK … MAU …” Rara melotot pada Bayu.

Duo kampret saling pandang. Berebut berjalan di belakang Rara. Bram menyengir melihat kedua sahabatnya yang sedang berjuang mendapatkan hati Rara.

“Bahaya, Ra, cewek jalan sendirian, kalau diculik gimana?” Amar tidak pantang mundur merayu Rara.

“Mending diculik, daripada dianter playboy kayak kalian.” Rara membalikkan badan, memonyongkan bibir pada Bayu dan Amar. Lantas berjalan cepat meninggalkan keduanya yang melongo.

***

Setengah jam lagi akan ada ujian Bahasa Inggris. Bram sudah mengumpulkan tugas makalah di meja dosen dua jam lalu. Bayu dan Amar sibuk, suara mereka menimbulkan gaduh, meskipun sudah berbisik-bisik. Bram dan Bintang menggeleng, melanjutkan fokus pada bukunya masing-masing.

“Pokoknya aku enggak terima kamu naksir Rara,” Amar berbisik kepada Bayu. Mengepalkan tangan dan mendorong kursi Bayu dengan kaki kiri.

“Eh, kita cowok, kita boleh naksir gadis yang sama, sportivitas, dong.” Bayu membetulkan posisi kursi kuliahnya. Merapikan kemeja kota-kotak birunya.

“Enggak bisa, jelas Rara suka sama aku.” Amar mendekatkan wajahnya ke wajah Bayu.

“Kalau gitu kita bersaing secara sehat. Siapa pun yang mendapatkan Rara, kita tetap sportif. Oke? Deal?” Bayu mengetuk-ngetukkan pulpen di bibir. Amar masih bersungut-sungut. Cowok berambut ikal itu memang suka keras kepala kalau sudah punya kemauan. Kadang tidak melihat situasi dan kemampuan, terlalu percaya diri.

“Berhubung kita sahabat, deal.” Amar mengulurkan tangan pada Bayu. Keduanya bersalaman untuk membuat kesepakatan. Sementara Bram dan Bintang yang duduk di depan mereka malah cekikikan.

***

Sesekali Bram melirik ke dalam rumah Bintang, masih sepi. Bram menyandarkan kepalanya di jendela. Nanar pandangannya. Matahari yang terik membawa ingatannya pada Farah. Luka dalam hatinya baru saja menganga, entah butuh berapa waktu untuk menyembuhkannya. Mantan kekasihnya yang cantiknya kelewat batas, tetapi kelakuannya tak kalah kelewatannya.

Di saat Bram sedang sayang-sayangnya, Farah dengan begitu saja mencampakkannya. Membuat keputusan yang terkesan membuang Bram dengan tidak hormat. Farah anak orang kaya. Papinya memiliki beberapa showroom mobil mewah dan banyak ruko di mal pusat kota.

Apa harus begitu kelakuan anak orang terlanjur kaya? Mainin perasaan orang seenaknya. Gonta-ganti pacar semaunya. Kalau bosan tinggal putus, kalau mau tinggal ngajak balikan. Emang dia pikir dapatin cowok kayak beli boneka Barbie apa. Dia pikir cowok enggak punya hati gitu.

Farah keliru, tidak semua cowok berengsek. Bram salah satunya. Bram sulit jatuh cinta. Seperti saat memulai pacaran dengan Farah, butuh dua tahun dia berpikir untuk menjalaninya. Begitu disakiti, dia susah move on, bukan karena tidak laku. Bram terlalu tampan untuk dihina para wanita. Bodinya atletis, bercambang, rambutnya selalu rapi dan aroma tubuhnya wangi.

“Abang ngapain di luar sendirian kayak gitu. Bang Bintang mana?” Suara centil Rara membuyarkan lamunan Bram. Tergagap dan menyandarkan gitar di dinding teras.

“Enggak tahu, Ra, dari tadi Bang Bram nungguin, tapi sepi.”

“Kok enggak telepon Abang aja?” Rara memutar daun kunci ke kanan dua kali.

“Tadi sudah janjian pas kuliah, charger HP-ku ketinggalan di kamar Bintang.” Bram menyengir, menggaruk-garuk kepalanya yang sama sekali tidak gatal. Rara menggandeng tangan Bram masuk ke rumah. Bram grogi, tidak enak berduaan di rumah dengan Rara, meskipun setiap hari main ke sana tetap saja rikuh. Tidak ada siapa pun di rumah, apa kata orang nanti. Apalagi kalau duo kampret tahu, bisa berabe urusannya. Bisa-bisa Bram jadi rempeyek di tangan Bayu dan Amar yang sedang dimabuk asmara.

Belum sempat Bram memutuskan masuk atau menunggu saja di luar, suara motor Bintang memasuki halaman rumahnya.

Bram, kamu ambil, deh, charger-nya dikamarku, aku mau jemput Mama di rumah Tante Mita.”  Bintang memutar motornya, menghilang di ujung tikungan kompleks.

“Jadi enggak ambil charger-nya? Aku buru-buru, nih, mau berangkat les.”

“Bisa minta tolong diambilin enggak, Ra?” Bram berjinjit, mengintip ruang tamu. Tak lama Rara pergi dan kembali dengan menyodorkan charger putih pada Bram. Tersenyum lebar, giginya yang putih rapi membuatnya makin menggemaskan. Bram membalas senyumnya. Dalam hati, Bram mengagumi adik sahabatnya itu. Namun Bram tidak mau menjadi pengkhianat bagi sahabat-sahabatnya sendiri.

“Maaf ya, Bang, Rara buru-buru, sudah terlambat les.”

“Oke. Makasih ya, Ra.”

Bram yang sudah bersiap pergi dengan motornya memperhatikan Rara yang sesekali memperhatikan jam tangannya, berjinjit memandang ke arah ujung jalan. “Eh, temen kamu mana, itu yang biasa jemput kamu, kok belum datang? Kalau Bang Bram anter mau enggak, Ra? Kalau mau.”

Bram ragu-ragu, tahu kalau gadis berponi ini susah didekati. Jarang sekali mau menerima bantuan dari teman-teman abangnya. Dalam hitungan detik Rara sudah mengambil posisi duduk di belakang Bram. Tanpa pikir panjang Bram melaju, melewati kompleks perumahan menuju tempat les Rara. Pohon-pohon akasia membentuk bayang-bayangnya di sepanjang jalan. Sejuk, udara dan langit sore terasa berbeda hari ini.

Benar saja Rara terlambat sampai di tempat les. Pintu-pintu kelas sudah tertutup rapat. Bram memarkir motor, memastikan Rara masuk kelasnya. Meskipun bukan pacarnya, tetapi Bram sudah terbiasa bertanggung jawab pada apa pun yang dipercayakan kepadanya. Namun tunggu, mobil sedan merah itu, kenapa ada di tempat les Rara. Jangan bilang tempat ini milik Farah. Mendadak Bram mengkhawatirkan Rara.

“Ra, kamu simpen nomer Bang Bram, kalau temenmu belum jemput, kamu telepon Abang, ya. Abang mau ngecas HP dulu,” ucap Bram, kemudian menyebutkan nomor ponselnya pada Rara.

***

“Kenapa adikku nangis. Kenapa Rara jadi terlibat dalam urusanmu dengan mantanmu, hah?” Nada suara Bintang meninggi dan tidak biasanya dia bicara kasar begitu. Bram mengerutkan kening, menekan tombol off.

Bram masuk ke rumah Bintang. Gadis manis berlesung pipit itu menangis sesenggukan, abangnya berusaha membuatnya berhenti menangis, tetapi tangisnya justru makin terisak-isak. Dadanya naik turun karena mengatur tangis dan napas secara bersamaan.

Bram berdiri mematung di antara kakak beradik. Tiba-tiba hatinya tidak terima melihat adik sahabatnya menangis. Bram tahu apa yang terjadi. Farah, ya, tadi Farah melihatnya mengantar Rara ke tempat les. Bram hafal betul kelakuan Farah kepada orang yang tidak disukainya, apalagi kalau sampai dianggap merugikannya.

“Ra, maafin Bang Bram, ya, pasti ada salah paham.” Bram duduk di samping Rara. Bintang mengambil posisi menjauh dari keduanya. Bintang tahu Bram adalah sahabat yang baik, paling normal dibandingkan dengan Bayu dan Amar. Bintang yakin Bram tidak sengaja membuat adiknya terluka.

***

“Oh, jadi gara-gara cewek ingusan ini kamu enggak mau balikan sama aku?” Farah melirik ke arah Rara, tangannya bersedekap. Bram melangkah ke depan Rara, menggeser tubuhnya dengan lembut ke sampingnya. Rara tampak panik, gadis semampai itu bersembunyi di balik tubuh Bram yang atletis. Farah makin emosi, wajahnya memerah, bersungut-sungut.

“Aku mau kita balikan Bram!” Farah bicara dengan kasar.

“Enggak bisa, Farah, maaf.”

“Kenapa?

“Karena kamu banyak maunya.”

“Oke, aku akan nurut,” Farah memohon

“Aku makin enggak suka, apalagi sama cewek yang tiba-tiba nurut.”

Bram menggandeng Rara, mengantarnya masuk kelas kimia.

***

“Aku sudah bilang sportif, Bro, sportif.” Amar menangkis tangan Bayu. Keduanya beradu mulut dan sesekali Amar menghindar dari pukulan Bayu. Persahabatan mereka bagai telur di ujung tanduk. Bayu jadi lebih sering marah. Seperti malam ini, malam Minggu. Amar datang ke rumah Bintang, untuk bertemu Rara tentunya. Bayu mendadak panas, emosinya meledak-ledak. Hatinya sakit, tidak mau kalah, merasa tersaingi.

“Kita mencintai gadis yang sama, kita bukan sahabat lagi.”

Pukulan mendarat tepat di hidung Amar. Darah mengalir dari hidung, Amar mundur, mengerang kesakitan. Mama, Bram dan Rara berhambur ke teras depan, meninggalkan makan malam yang belum tuntas di meja makan. Mama menjerit, Bintang melerai kedua sahabatnya yang selalu merepotkannya itu.

***

Rara sibuk menghitung soal-soal kimia, mencari-cari rumus di buku catatannya. Bram tersenyum melihat tingkah laku gadis itu. Rara memonyongkan bibirnya.

“Apa?”

“Apa?”

“Ngapain Abang lihatin Rara kayak gitu?”

“Rara cantik, sih, jadi Abang suka ngeliatin, deh.”

Wajah Rara merona-rona, dadanya berdegup kencang, detaknya tidak karuan. Guru lesnya yang baru membuatnya tersipu malu.

***

Tiba-tiba saja dosen membatalkan kuliah psikologi siang ini. Alasan mendadak: istri Prof. Sudarya masuk rumah sakit.

Bintang mengajak ketiga sahabatnya nongkrong di kafe belakang kampus.

“Nah gitu dong, baikan, masak gara-gara adikku persahabatan kita berantakan.” Bintang melempar senyum manis pada Bayu dan Amar. Bram mengangkat bahu, mengernyitkan keningnya.

“Nah, kamu kan kakaknya, Tang, kamu lebih milih aku atau Bayu untuk jadi adik iparmu?” Amar melirik Bayu yang sedang menyeruput ice lemon tea-nya.

“Pilih kalian? Aku enggak akan percayain adikku sama cowok cengeng kayak kalian. Sumpah aku enggak akan terima, Bung,” Bintang menjawab dengan ketus.

Bram tersenyum geli. Akhirnya tidak hanya Bayu dan Amar yang bertikai, tetapi ketiga sahabatnya bertarung sengit siang ini.

Memang di antara keempatnya, hanya Bram yang tidak bersahabat sejak kecil. Bram pindah dari Bogor ke Jakarta. Sejak papanya meninggal, mamanya memboyong Bram dan neneknya kembali ke Jakarta. Sejak kelas dua SMP empat sekawan itu menjadi akrab dan bersahabat. Bram dan Bintang tidak banyak bercanda, mereka lebih terlihat cool dibanding Bayu dan Amar yang senang sembarangan bertingkah laku dan berucap.

“Ngapain kalian repot-repot ngrebutin Rara? Adikku sudah punya pacar tahu.” Bintang melempar biji anggur ke wajah Bayu.

“Alahhh … bilang aja kamu keberatan Rara kita deketin.” Bayu mengangkat alisnya, memandang Amar, meminta dukungan. Amar mengangguk-angguk, masih takut kena pukul lagi oleh Bayu.

“Terserahlah kalau enggak percaya, yang penting aku udah kasih tahu, kalian harus berbesar hati, ya.” Bintang tersenyum mengejek Amar dan Bayu. Seketika Amar dan Bayu saling pandang.

***

Bram menulis soal matematika di selembar kertas. Rara keluar membawa cokelat hangat dan kue rainbow. Rambutnya tergerai sebahu, menyodorkan cokelat hangat pada guru lesnya yang baru. Bram menyodorkan kertas berisi soal-soal, tersenyum, mengacak-acak rambut Rara. Pipi gadis itu merona lagi, wajahnya makin terlihat cantik. Matanya yang sipit, hidungnya yang lancip, bibir tipis dipadu dengan lesung pipit tampak seperti bunga yang sedang mekar dan ranum. Bram tidak kuasa menahan hasratnya. Bram jatuh cinta. Pantas saja duo kampret tergila-gila pada Rara. Selama ini Bram tidak menyadari ada bidadari berada di dekatnya, menutup diri hanya karena hatinya kacau oleh Farah yang menjebaknya dalam perasaan kalut.

HP Bram berdering. “Cinta Luar Biasa” milik Andmesh mengalun sendu, membelah keheningan sepasang kekasih baru di ruang tamu.

“Sayang, kamu kerjakan dulu soalnya.” Menyerahkan pulpen pada Rara, Bram mengecek HP. Wajah Farah memenuhi layar, Bram memencet tombol merah. Panggilan ditolak.

Bram kita balikan, ya. Aku kangen. Ternyata enggak ada cowok sebaik kamu, Sayang. Aku janji akan berubah. Aku enggak bisa melewati hari-hari tanpa kamu, please … maafin aku, Cinta.

Love_Farah

Chat dibaca sekilas, Bram menghapus pesan. Menarik layar ke bawah, pengaturan, blokir.

 

Rachmawati, Lulusan SMA Sintlouis Semarang, tetapi bahasa Inggris-nya kacau.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata