Panggilan dari Surga
Oleh : R Herlina Sari
Kompromi bukan berarti lemah, kesabaran juga bukan berarti menyerah. Bagiku, sangat menyadari bahwa setiap lelaki pasti akan selalu mengingat tiga wanita di dalam hatinya. Nomor satu adalah sosok ibunya, kedua adalah cinta pertamanya, dan yang terakhir adalah seorang istri yang akan mendampingi seumur hidupnya.
Bagaimana mungkin aku bisa melupakan wanita itu? Wanita yang menjadi momok terbesar dalam hidupku dan juga Mas Bagas. Dialah cinta pertamanya. Sosok anggun yang terlampau memesona, hingga sekian tahun aku mendampingi Mas Bagas, tak pernah sekali pun dia melupakan wanita itu.
“Melihatmu, aku bagaikan menemukan separuh jiwaku yang hilang. Kamu selalu mengingatkan aku pada Sandra. Bagaimana orang yang sudah meninggal lima tahun silam hadir kembali di kehidupan ini? Bahkan, aku sendiri yang menguburkan dan mengantarkan ke peristirahatan terakhirnya,” kata Mas Bagas di suatu malam.
Waktu itu, aku menganggapnya sebuah khayalan. Bukan suatu kenyataan. Ternyata setelah aku melihat sendiri foto wanita itu, aku pun terkaget. Wajah itu adalah wajahku. Namun, Ibu maupun Ayah tak pernah mengungkit jika aku punya saudara kembar. Bagaimana bisa kami begitu mirip? Apakah ada semacam kebetulan di dunia ini?
Hingga malam itu, aku mendapatkan mimpi yang mengubah segalanya. Seseorang yang telah lama tiada, hadir ke dalam mimpiku. Seolah-olah dia datang dari surga hanya untuk menemuiku.
“Arika, ini aku Sandra,” kata perempuan dalam mimpiku.
“Kamu … Sandra? Gadis tercintanya Mas Bagas? Bagaimana kamu bisa datang ke sini? Bukankah kamu sudah lama pergi?” tanyaku.
“Kamu benar, aku memang sudah meninggal. Namun, separuh jiwaku ada di dalam tubuhmu.” Sandra terdiam, sambil menatapku dengan dalam. Di sorot matanya ada sebuah luka. Luka yang tak bisa aku tebak bagaimana ia berasal.
“Arika, aku pernah lalai, menyia-nyiakan Mas Bagas di kehidupanku sebelumnya. Aku berharap, kamu bisa membuatnya melupakan semuanya. Bukan Mas Bagas yang salah, tapi aku, aku yang tak berhati-hati hingga hal itu terjadi,” kata Sandra. Entah apa maksudnya, aku sendiri tak tahu.
Mas Bagas tak pernah sedikit pun menyinggung masalah Sandra, terlebih tentang kematiannya. Hingga akhirnya aku pun tak lagi mengorek. Namun, mimpi kali ini ada semacam teka-teki yang harus kutemukan jawabannya.
Aku tahu, sebagai istri keduanya. Aku hanyalah sebuah pion. Aku hanyalah bidak catur yang dia gunakan untuk menghidupkan Sandra kembali. Karena dalam pikiran Mas Bagas, aku adalah Sandra, bukan Arika. Mas Bagas melihatku sebagai Sandra. Bahkan, tak jarang saat kami bercengkerama mesra, Mas Bagas memanggilku Sandra.
Wanita mana yang rela jika suaminya tak pernah melihat sosoknya sendiri, tapi masih mengingat cinta pertamanya? Bolehkah aku cemburu? Pada orang yang telah mati? Namun, aku juga tak mau menjadi bayang-bayang perempuan itu. Acap kali bersama Mas Bagas, aku harus mengenakan pakaian yang tak kusuka pun dengan tatanan rambut yang sama seperti Sandra.
***
Pagi itu, rutinitas harian yang selama ini aku lakukan, menyiapkan sarapan dan juga secangkir kopi, kesukaannya. Menemaninya di ruang makan, sambil sesekali menatap lelaki di depanku yang tengah membaca koran.
“Mas … aku ingin pergi ke pemakaman, maukah kamu menemaniku?” ajakku. Berharap Mas Bagas mau meluangkan waktu untuk bersamaku. Mengunjungi makam wanita itu.
“Mengapa kamu tiba-tiba ingin ke sana?” Mas Bagas balik bertanya. Seolah-olah tahu makam siapa yang aku maksud.
“Semalam Sandra hadir di mimpiku. Dia ingin aku menjenguknya bersamamu,” kataku.
Mas Bagas menghentikan aktivitasnya, dia menatapku dengan dalam. Ada gurat luka di matanya, terlebih saat aku menyebut nama Sandra.
“Aku tidak bisa, dia meninggal karena aku yang tak becus melindunginya,” kata Mas Bagas. Dia menangis lirih. Air matanya menetes perlahan.
“Bukan kesalahan Mas Bagas. Kecelakaan itu sudah menjadi takdir Sandra. Dia tak mau melihat Mas Bagas masih terluka.” Aku memeluknya dari belakang.
“Kamu tidak cemburu? Karena aku selalu menganggapmu dia?” tanya Mas Bagas.
“Tidak ada gunanya cemburu dengan orang yang sudah mati. Aku pun menyadari Sandra adalah seseorang yang penting di hatimu. Namun, akulah yang akan menemanimu hingga tua. Aku tak mau Mas Bagas terbelenggu dengan masa lalu. Aku hanya ingin kamu melupakan, hidup dengan bahagia,” kataku.
“Aku sadar, tak bisa mengubah wajahku agar tak mirip Sandra, tetapi aku bisa memastikan bahwa setelah hari ini Mas Bagas akan melihatku sebagai Arika.” Aku melanjutkannya. Mataku mulai berkaca-kaca. Sebagai wanita, tak boleh aku terlalu lemah. Terlebih terlihat lemah di depan orang yang aku cintai. Biar aku yang merasakan bagaimana hidup sebagai bayang-bayang orang lain.
“Aku tahu, Arika, terlalu banyak salah padamu di kehidupan ini. Aku juga ingin bisa melupakan Sandra. Namun, melihatmu selalu mengingatkanku padanya,” kata Mas Bagas.
“Mas, jika aku diberi kesempatan sekali lagi, aku hanya ingin bilang, semalam mendapat panggilan. Sandra datang ke mimpiku. Ingin Mas Bagas bahagia. Bahagia itu kita yang menciptakan sendiri. Keberadaan ingatan tentang masa lalu hanyalah sebuah cara untuk berpura-pura dalam menghalangi kehilangan.” Aku menghela napas.
“Aku tak ingin menjadi manusia yang egois. Dan membiarkanmu terlalu lama terjebak dalam ingatan yang paling menyedihkan untuk waktu yang cukup lama. Hanya ada satu hal yang bisa Mas Bagas lakukan, untuk membebaskan diri dari semuanya dan mendapatkan kebebasan untuk berbahagia.”
Di dunia ini, jika ada panggilan yang lebih berat, dan benar akan mencapai surga, maka adalah sesuatu yang indah diiringi dengan tekad yang kuat untuk melepaskan segala macam belenggu. Saat ini Mas Bagas hanya sedang terjebak di dalam sangkar-sangkar yang menjadikan alam bawah sadarnya untuk selalu mengingat Sandra. Di dalam hatinya masih belum bisa merelakan kepergian Sandra, hingga cinta yang dia rasa membentuk sebuah rantai berat yang mengikat kuat. Hanya dengan melepaskan seluruh beban, baru bisa lega.
Hanya dengan melupakan Sandra selamanya, Mas Bagas akan bisa lepas dari belenggu rasa bersalahnya.
“Aku akan berusaha menerima kenyataan bahwa kamu Arika. Maafkan aku yang telah lalai selama ini. Padahal kamu selalu ada di sampingku, tapi aku malah mengingat wanita lain. Aku banyak bersalah padamu, Arika,” kata Mas Bagas.
“Aku tahu itu akan sulit untuk melupakan Sandra. Namun, aku selalu di sampingmu, Mas. Kita berjuang bersama untuk meraih bahagia. Berdua.”
Karena pembicaraan pagi itu, baru aku tahu, kematian Sandra karena kecelakaan. Sandra nekat menjemput Mas Bagas di tengah hujan deras karena permintaannya. Hal itu membuat Mas Bagas menyalahkan dirinya sendiri.
Aku berpelukan cukup erat pagi itu. Membiarkan lelaki di depanku ini menangis untuk kesekian kalinya. Menangis karena kehilangan, juga menangis karena keharuan. Aku hanya ingin bersamanya, hingga maut memisahkan kami. Hingga saat panggilan dari surga itu benar-benar datang. Aku hanya ingin Mas Bagas masih mengingatku sebagai Arika. Seseorang yang tak akan pernah melupakan dan akan selalu berada di samping suaminya. *)
RHS, pecinta lumba-lumba dan senja.
Editor : Lily
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata