Pangeran Ikan (Part 4)

Pangeran Ikan (Part 4)

Pangeran Ikan (Part 4)

Oleh : Fitri Fatimah

 

“Tolong lindungi aku!” serunya, dengan wajah pucat.

Mataku membulat. Ada apa? Kenapa? Lindungi dari apa?

Apa ada ikan jadi-jadian lagi di rumah ini? Apa yang sekarang datang itu ikan musuhnya? Ikan model apa? Julung-julung? Hiu? Aduh, tapi aku bukan pawang ikan.

Sambil melongok kanan-kiri ke halaman, aku menatap kebingungan pada Ian. Sosoknya yang biasanya dingin-angkuh-menakutkan, kini mengerut ketakutan di belakang punggungku.

“Lindungi aku,” ucapnya lagi, kali ini dengan suara yang benar-benar mengibakan.

“Iya, tapi bilang dulu ada apa? Kamu dikejar siapa?” tanyaku, mencoba mengibaskan tangannya yang bertengger di bahuku, tapi Ian tetap mencengkeram dengan erat.

“I-itu,” ucapnya, sambil menunjuk ke arah jalan utama menuju rumah ini, pada gerombolan ibu-ibu yang berderap datang sambil berteriak:

“Iaaan, kamu ke mana? Aihhh, padahal Kakak mau keritingin rambutmu yang biru gonjreng itu, gratis lho, gratis,” ucap Bu Zubaedah, pemilik usaha salon di Desa A.

“Iaaan, Kakak mau jadiin kamu model, nanti kamu cobain semua baju Kakak di toko, nanti kita bikin pemotretan,” ucap Bu Maryam, salah satu penjual baju di Pasar A.

“Iaaan, kuenya Kakak baru kamu icip sedikit, kok udah kabur aja, sih?” Kali ini adalah ucapan dari Tante Nunik. Dia berada di antara salah satu kerumunan ibu-ibu yang mondar-mandir meneriakkan nama Ian, dan menyebut diri mereka sendiri sebagai “Kakak”?

Sebentar, ada apa ini?

Aku melirik ke belakang, Ian masih mencoba bersembunyi di balik punggungku.

“Kenapa mereka nyari-nyariin kamu?” tanyaku kebingungan.

“Tolong, bebaskan aku dari mereka,” lirihnya.

Aku makin menukikkan alis tidak mengerti. Ian mengerang penuh frustrasi.

“Mereka membeginikan aku”—lalu tangannya memperagakan adegan mencubit gemas di pipiku—“juga membeginikan aku”—tangannya mengusap-usap rambutku—“lalu membeginikan aku”—kali ini bibirnya yang mengatup-ngatup mendekati bibirku.

“Oke. Aku mengerti,” selaku segera. Aku buru-buru memundurkan tubuh menghindarinya. Sangat sadar bahwa antara manusia dan makhluk laut, tak boleh ada kontak fisik semacam itu. Siapa sangka bahwa kemudian pikiran rasionalku membawa bencana.

Satu detik setelah Ian tidak lagi tertutupi punggungku, serbuan lengkingan mengisi sore yang sudah rembang ini.

“Iaaan!!!” jerit kawanan ibu-ibu yang sudah menyadari keberadaan Ian. Mereka langsung berderap ke arahnya. Pintu rumahku yang hanya ukuran standar, bukan yang berdaun dua bukaan, atau macam gerbang, tiba-tiba disesaki ibu-ibu yang berebutan ingin masuk.

“Ian, Ian, sini sama Kakak. Ih, kamu kok main kabur aja, padahal tadi Kakak belum selesai nanya-nanya.”

“Iya, tuh, Jeng, nakal ini. Gemess, deh!” Lalu tahu-tahu cubitan Bu Zubaedah sudah mampir di lengan Ian. “Aduuuh, berotot bener kamu, Ian! Aduh, kok suami Kakak nggak kayak kamu, sih!” serunya, disertai rengutan.

Aku menggeleng-geleng heran. Dan yang lebih mengherankan lagi, ibu-ibu yang lain kompak mengikuti jejak Bu Zubaedah, mereka bergantian mencoba mencubit Ian. Persis kalau seorang chef sedang menguji kenyal tidaknya suatu adonan.

Kulihat Ian tambah mengkeret, tatapannya penuh horor. Dia menatapku meminta bantuan.

Oh, rasanya aku ingin tertawa. Tapi dosa kan, ya, tertawa di atas penderitaan orang lain.

“Ibu-ibu,” selaku. Mereka tidak menghiraukanku. “Ibu-ibu!” seruku lagi, lebih kencang.

Berhasil. Mereka menghentikan aksi mempereteli Ian, kecuali Tante Nunik.

“Tante Nunik?”

Tante Nunik merengut mendengar panggilanku yang dingin, tapi kemudian berhenti sebagaimana teman-temannya yang lain, yang kesemuanya sudah berumur paruh baya.

“Ibu-ibu sudah tahu, kan, Ian ini siapa?” tanyaku dengan nada santun.

Mereka semua mengangguk-angguk. Baguslah. Sungguh, kalau sedikit saja mereka berpikir macam-macam soal hubunganku dengan Ian, matilah aku diterpa gosip. Karena Desa A adalah desa yang kecil, tak ada bioskop di sini, bahkan kalau mau ke swalayan pun harus ke desa sebelah, Desa B—tempatku bekerja. Masing-masing warganya mengenal satu sama lain. Jadi bisa dibayangkan betapa sempit ruang lingkup kami, betapa menjaga image itu sangat penting.

“Iya, Ian ini adiknya Mas Heri, baru datang tadi pagi. Masih capek. Masih jet lag, butuh istirahat berjam-jam biar staminanya puli—”

“Aaah stamina!” pekik Bu Maryam.

Aku menepuk jidat. Malu sendiri. Astaga, ada apa dengan para tetanggaku ini? Kenapa mereka mendadak ganjen begini.

“Intinya, ibu-ibu bubar dulu, ya, Ian-nya mau istirahat lagi.” Tadi pagi pada Tante Nunik aku memberi alasan seperti ini, semoga saja yang kali ini pun masih mempan. Atau tidak? Aku mencoba menambahi, “Lagian udah mau magrib begini, ibu-ibu memangnya tidak dicari suami? Bu Maryam, tadi saya liat si Alip masih main bola di lapangan,” aduku pada Bu Maryam sambil menyebut nama anaknya. Bu Maryam langsung melotot khas ibu-ibu yang mau mendisiplinkan buah hati mereka. Dia pergi.

“Bu Zubaedah bukannya waktunya tutup salon? Sudah ditutup belum? Nanti ada pelanggan ngira salonnya masih buka terus mereka ngantre lagi, lho.” Kali ini aku berbicara sambil menatap Bu Zubaedah.

Berbeda dengan pemilik usaha lainnya, Bu Zubaedah malah sering kesal kalau salonnya terlalu ramai pengunjung. Dia pernah bilang bahwa dia itu maunya motong rambut calon pelanggannya dengan rapi dan benar sesuai permintaan, kalau tergesa-gesa nanti takutnya hasilnya tidak memuaskan. Susah memang jadi orang perfeksionis. Bahkan saking perfeksionisnya, dia hanya punya satu karyawan di salonnya, dan itu pun bertugas sebagai kasir. Tak ada orang lain di salon itu yang Bu Zubaedah percayai untuk memegang gunting selain dirinya. Dan memang iya, hasilnya sip.

Mendengar ucapanku, Bu Zubaedah langsung buru-buru pergi, dia juga menarik beberapa ibu-ibu lainnya untuk ikut pulang. Hingga hanya tersisa Tante Nunik.

Aduh, emang yang paling susah suka disisain paling belakang, ya.

“Tante ngapain masih di sini?” tanyaku pada Tante Nunik yang sedang menyikut-nyikutkan sikunya ke lengan Ian.

“Senggol-senggolan, euy!” balasnya, dinyanyiin. “Aduh, lagian kenapa sih, An, suami Tante kan pulangnya masih agak maleman nanti, Tante juga nggak punya kerjaan di rumah. Bebas, dong, Tante di sini seharian sama Ian. Ya, kan, Dek Ian?”

Yang ditanya menggeleng kuat-kuat.

“Tante, ini udah mau magrib, lho, udah mau keluar tuh setan-setannya. Awas aja, aku nggak mau, ya, kalo nanti disuruh nganter Tante pulang ke sebelah. Biarin aja biar Tante diculik wewe gombel!”

“Ih, wewe gombel mah nyulik anak-anak. Meski Tante mukanya baby face tapi Tante udah bukan anak-anak lagi tahu,” sanggahnya.

“Ya udah, aku doain biar dikejar kuyang aja.”

Dia menggeplak lenganku. Aduh … siang tadi digeplak Sofi, sekarang Tante Nunik. Dosaku apaaa?

“Sontoloyo. Kuyang mana ada di sini, adanya di Kalimantan sana. Ih, kamu doa-doanya serem mulu. Iya, deh, iya, Tante pulang, nih,” ucapnya dengan nada kentara kesal.

Akhirnya ….

Setelah benar-benar hanya tinggal berdua aku dan Ian di rumah ini, barulah aku bisa mengembuskan napas lega.

“Kau harus segera mengantarku ke laut. Aku tidak mau diganggu mereka lagi,” ucap Ian cepat. Dia langsung menodong tepat di depan wajahku.

“A-aku tidak bisa,” jawabku sambil mengambil beberapa langkah mundur. Sayangnya, kami yang sejak tadi masih berdiri di dekat pintu masuk, ruang yang sempit mengingat di bagian kanannya ada rak sepatu, sehingga dengan mudahnya langkahku terhenti karena sudah membentur dinding.

Ian menatapku penuh selidik. Sepertinya mulai menyadari keganjilan dari penolakan-penolakanku untuk mengantarnya. Dia makin merangsek maju.

“Ma-maksudku, tenang saja, tanpa perlu kuantar kamu akan bisa kembali ke laut.”

Dia mengangkat alisnya dengan ekspresi tertarik setelah mendengar ucapanku. Jadi aku melanjutkan, “Begini, aku akan membuatkanmu peta, aku bahkan akan memberimu ongkos naik angkotnya. Kamu bisa pergi sendiri tanpa ak—”

“Tidak,” potongnya cepat, “aku tidak akan pergi ke mana-mana tanpa kau.”

“Tapi kenapa?!” seruku. Aku bahkan mengentakkan kaki saking geramnya.

“Manusia sangat menyeramkan. Aku tidak mau bertemu makhluk-makhluk buas seperti tadi lagi,” ucapnya, serius.

Ya Tuhan … siapa sangka, tetanggaku yang ibu-ibu bisa memberi trauma mendalam pada seorang pangeran ikan.

Dan begitulah, bagaimana pada hari-hari selanjutnya aku terjebak bersamanya di rumah ini. (*)

Bersambung ….

 

Part 3 (Sebelumnya)

Part 5 (Selanjutnya)

 

Fitri Fatimah, suka membaca dan mencoba menulis. Pernah punya kucing bernama Mus.

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply