Pangeran Ikan (Part 3)
Oleh : Fitri Fatimah
“Adiknya Heri?” tanya Tante Nunik dengan suara sangsi. Reaksi yang tidak mengherankan, karena selain ucapanku barusan memang bohong, Mas Heri dan Ian adalah dua sosok yang sangat berbeda. Wajah dan postur mereka sama sekali tidak mencerminkan adanya hubungan darah.
Seperti yang kubilang tadi, Ian bak jelmaan patung David, bedanya dalam versi kulit lebih gosong eksotis, dengan pahatan kotak-kotak di perut, rahang kukuh, hidung enak dibuat perosotan, mata tajam yang dalam—yang seringnya hanya dipakai untuk mendelik. Sangat berbeda dengan Mas Heri yang murah senyum dan … aku sering menyebutnya “Mas Teddy Bear”, karena tubuhnya lumayan subur dan nyaman dipeluk. Aku sering menelusupkan kepalaku di ketiaknya, atau mendusel-dusel di perutnya yang empuk. Tapi setidaknya mereka berdua memiliki tinggi yang sama. Dan apakah ini alasan yang cukup untuk membuat Tante Nunik percaya?
“Iya, Tan, Ian adiknya Mas Heri, adik iparku. Iya, kan, Ian?” Aku berbalik menatap laki-laki itu, menatapnya dengan sorot penuh arti. Kamu harus mau bersekongkol, kalau tidak, aku tidak bisa membayangkan tuduhan apa yang bakal kudapat.
Ian balik menatapku.
Sedetik kemudian dia mengangguk.
“Ooo … begitu. Waduh, kok kemarin waktu resepsinya Ani sama Heri, Dek Ian nggak ikut?” Meskipun diucapkan dengan mendayu, dan ada penekanan pada kata “Dek” yang membuatku merinding, tapi aku lebih merinding lagi dengan pertanyaannya.
Aku memindai sekeliling rumah, berharap mendapat ilham lagi. Oh, di saat-saat seperti ini aku ingin sekali mengutuk otak lemotku.
“Itu … itu … ah iya! Waktu itu kamu sedang kuliah di luar kota ya, kan, Ian? Waktu itu kamu tidak bisa hadir ke resepsi kakakmu karena kamu … sedang ada UTS! Ya, kan, Ian?” Aku melotot padanya.
Mengangguk saja, mengangguk saja!
Dan Ian memang mengangguk.
Hah, aku mengembuskan napas lega.
Tante Nunik tampaknya mau melempariku pertanyaan lagi, tapi dengan sigap aku mengambil seronce bawang putih kemudian menyurukkannya ke tangan Tante Nunik, sambil kugiring dia ke pintu keluar.
“Tante Nunik tadi nanyain bawang, kan? Ini, ambil aja, semuanya. Ini udah siang, Tan, aku mesti siap-siap berangkat kerja. Ian juga mesti istirahat, dia kan baru datang, pasti capek setelah berjam-jam di perjalanan,” ucapku lancar.
Tante Nunik tampak keberatan. Langkahnya begitu berat, seakan tak rela beranjak, lehernya masih terjulur ke arah dapur. “Dek Ian, nanti kalau udah selesai bobok istirahatnya, main ke rumah Tante, ya? Deket kok, di sebelah. Nanti Tante kasi kue yang banyak!” teriaknya, sebelum keluar.
Kemudian kubanting pintu.
Hah, setidaknya satu masalah selesai. Atau tidak? Aku melirik jam di dinding ruang tamu, pukul delapan lewat. Mampus! Aku telat masuk kerja!
***
“Kamu kenapa? Kok bengong terus dari tadi?”
Sofi, rekan kerjaku, berdiri dengan bersandar pada konter tempat pelanggan biasa meletakkan belanjaan mereka sebelum kutotal. Dia adalah temanku yang perhatian, saking perhatiannya, aku kadang merasa dia lebih mengerti aku dibanding diriku sendiri. Dan ngomong-ngomong, iya, dia adalah orang yang pernah mengataiku kurang gizi.
“Nggak kenapa-napa,” kelitku. Menatap ke atas, pada kamera CCTV yang terus berkedip.
“Kamu bo’ong,” ucapnya pasti, sambil menuding hidungku dengan jari telunjuknya. Tuh, kan, dia benar-benar kenal aku.
Aku mendesah. Sepertinya tidak ada salahnya kalau kuceritakan apa yang menimpaku tadi pagi. Mumpung swalayan sedang sepi. Oh ya, benar, aku kerja jadi kasir di salah satu swalayan di Desa B, sebelahnya Desa A—desaku. Pergi-pulang kerja aku biasa naik sepeda. Tapi tadi pagi karena sudah telat, aku terpaksa naik angkot—membuatku mengeluarkan ongkos lebih. Sepertinya harus kucatat apa-apa saja pengeluaran berlebihku gara-gara kehadiran pangeran ikan itu. Siapa tahu dia benar-benar mau ganti rugi pakai mutiara.
“Jadi begini ….”
Sofi langsung memasang wajah antusias menyimak.
Dan mulai kuceritakan kisahku pada perempuan yang berumur setahun lebih tua dariku ini. Tentu dengan menghilangkan bagian berbau ajaibnya. Aku tidak mau dia nanti histeris lalu pingsan, bisa kalang kabut aku kalau harus menangani swalayan ini sendirian. Atau, yang paling parah, Sofi membocorkan soal Ian lalu mendaftarkannya ke UNESCO sebagai spesies langka di lautan.
Jadi hanya kuceritakan bagian intinya saja, bahwa ada orang asing yang kesasar ke rumahku. Dan dia memintaku untuk mengantarkannya pulang.
“Kalau begitu kenapa tidak diantar saja? Katamu dia kaya, jadi kamu tidak usah khawatir soal ongkos, kan?” Dia mengetuk-ngetukkan jari di dagunya, menatapku penuh selidik.
“Ya … memang benar … cuma …,” balasku menggantung.
“Cuma …?”
“Rumahnya katanya dekat laut.”
“Oh.” Sofi menarik tubuhnya jadi posisi berdiri tegak. Ada kesiap yang lolos dari bibirnya. Dia tahu bagaimana perasaanku pada laut. Dia satu-satunya orang yang kuberi tahu bahwa sejak peristiwa itu … aku tak bisa memandang laut dengan sama lagi.
“Ya ampun, kok kita pikun!” sentak Sofi beberapa saat kemudian sambil menggebrak konter berbahan besi itu. Aku memelototinya. Kalau dilihat Bos, bisa diceramahi kami. Dia melanjutkan, “Emangnya ini zaman batu? Kok masih susah-susah mikirin soal antar-mengantar,” lanjutnya sambil menaik-turunkan alis.
Apa? Antar-mengantar? Maksudnya Ian mau dipaketkan? Kalau dia masih dalam wujud ikan, sih, gampang, tinggal dimasukkan cooler box saja. Tapi ini Ian sudah berubah jadi besar-tinggi-berotot, kalau dimasukkan cooler box, salah-salah nanti aku yang dikira pelaku human trafficking.
Menyadari ketidakmengertianku, Sofi menggeplak bahuku. Duh, sakit. Dasar cewek Samson.
“Suruh aja dia buka GPS. Dia kan bukan hilang ingatan, pastinya dia inget, dong, alamat rumahnya? Tinggal minta pandu Google aja.”
“Oooh … benar juga,” sahutku sambil mengangguk-angguk tercerahkan.
***
Dalam perjalanan pulang, aku dilanda perasaan panik.
Tadi pagi waktu berangkat kerja, karena terburu-buru sudah telat, aku langsung grasah-grusuh berganti seragam kerja. Barulah ketika memasang sepatu aku ingat soal Ian, itu pun aku hanya berteriak, “Aku berangkat kerja dulu. Kalau mau makan, ambil di rice cooker, atau kalau mau masak mi instan boleh juga, ambil aja di rak paling atas.” Kemudian aku langsung pergi.
Sumbu pikiranku terlalu pendek sampai tak sempat menalar bahwa, aku meninggalkan orang asing sendirian di rumahku. Bagaimana kalau dia mencuri barang-barangku? Bagaimana? Ya ampun, aku sudah cukup miskin tanpa harus kehilangan barang.
Tapi sebentar. Memangnya ada pangeran yang suka ngutil? Ya kan pangeran juga manusia, punya salah punya dosa, punya juga sifat tercela. Bisa saja, kan … siapa tahu. Tapi Ian bukan pangeran yang manusia. Dia juga kaya. Dan kamu miskin. Tak ada yang bisa dicuri dari rumahmu.
Aku jadi teringat anekdot soal maling yang mencuri di rumah si miskin. Sementara malingnya mencari-cari harta benda apa yang mau dicuri, si miskin yang terbangun juga ikut membuntuti, mencari. Barangkali entah atas keajaiban apa, dia bisa menemukan sesuatu di rumahnya yang hampa.
Ah, benar, berarti aku tak usah—tak bisa—khawatir soal kehilangan barang.
Aku mulai kembali bernapas lega.
Barusan aku turun dari angkot di perempatan Desa A, lalu lanjut jalan kaki. Di depan pos ronda yang tak hanya ramai pada malam hari, aku mempercepat langkah. Untunglah bapak-bapak yang sedang main gaple itu terlalu fokus pada permainan mereka sehingga tidak menghiraukanku. Bukan aku membenci mereka, hanya saja aku risi dengan candaan yang sering mereka lemparkan soal statusku yang janda.
Sampai di depan rumah, aku membuka pintu depan yang tak terkunci. Aku tidak berpikir aneh-aneh karena … kan ada orangnya di dalam, jadi kenapa harus dikunci. Beda dengan keseharianku. Biasanya, karena tinggal sendiri, otomatis kalau berangkat kerja aku mengunci pintu.
Namun ketika masuk ke dalam rumah, aku tidak mendapati siapa-siapa.
Untuk memastikan, bahwa mungkin saja aku yang kelewatan tidak lihat—meski menimbang besar badan Ian aku yakin sangat susah untuk tidak menyadari keberadaannya—aku mencarinya ke sepenjuru kamar. Bahkan ke bak mandi, siapa tahu dia dehidrasi dan butuh ngadem kembali ke tabiat asalnya, siapa tahu dia sedang berendam dengan menggunakan sosok ikannya. Namun, nihil. Bak mandiku hanya berisi air dan jentik-jentik—harusnya segera kukuras, sih. Ian tak ada di mana pun di rumah ini.
Apa dia sudah bisa kembali ke tempatnya semula tanpa harus diantar?
Mungkin seperti jin-jin di TV, tinggal cling lalu menghilang, hanya meninggalkan kabut asap.
Ya sudah, baguslah, berarti aku tidak perlu sibuk-sibuk melakukan hal yang tadi disarankan Sofi.
Eee … bukan persis seperti yang disarankan Sofi, sih, yang kurencanakan. Bukan GPS, karena Ian tidak punya ponsel, dan aku tidak mungkin meminjamkan ponselku padanya, karena ngomong-ngomong cicilannya baru selesai kulunasi bulan kemarin. Mana mungkin aku pasrah meminjamkannya pada Pangeran Ikan. Selain besar kemungkinan dia itu gaptek, besar kemungkinan yang lebih besar lagi, ponselku tak akan kembali. Jadi rencananya aku hanya akan menggambarkan peta jalan menuju laut. Aku bahkan berencana melengkapinya dengan nomor telepon kantor polisi terdekat, kalau-kalau dia masih kesasar dan butuh bimbingan.
Tapi berhubung dia sudah menemukan jalannya sendiri, ya sudah ….
Aku meletakkan tasku di cantolan sebelah rak sepatu, berniat rebahan di sofa ruang tengah. Namun, belum juga niatku itu terlaksana, tiba-tiba pintu dibuka dengan sentakan, persis seperti kalau pelakunya adalah Tante Nunik, hanya saja yang kali ini bukan Tante Nunik, melainkan … Ian.
“Tolong lindungi aku!” serunya, dengan wajah pucat. (*)
Bersambung ….
Part 2 (Sebelumnya)
Part 3 (Selanjutnya)
Fitri Fatimah, suka membaca dan mencoba menulis. Pernah punya kucing bernama Mus.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata