Pandemi yang Sesungguhnya
Oleh : Fitri Hana
Seorang lelaki tua duduk beralaskan kardus. Kakinya ditekuk hingga kedua lutut nyaris menyentuh dagu. Tangan kurusnya memeluk lutut. Kemudian ia menoleh kepadaku.
“Apa kau tak bosan terus-menerus berdiri di situ?” tanyanya, yang enggan kujawab. Untuk apa? Selalu saja kalimat itu yang ia tanyakan.
“Apa kau menghitung berapa orang yang sudah mampir ke sini?” tanyanya kemudian diikuti tawa yang terdengar sumbang. “Orang kaya mana yang mau membeli pisang rebus? Atau kacang rebus, yang kata anak-anak muda bisa menumbuhkan jerawat di kulit mulus mereka.”
Meski mulutnya tertutup masker, ia tetap semangat untuk berbicara.
Lihat maskernya! Ia bahkan memakai masker yang sama dengan semalam. Eh, bukan, bukan! Kemarin malamnya lagi. Aku ingat betul. Masker kain berbahan kaus berwarna merah, di pojok atasnya ada logo salah satu partai di kota ini. Entah dicuci atau tidak masker yang selalu ia gunakan itu.
“Mbah, saya mau kacangnya lima ribu.” Seorang wanita dengan sepatu hak tinggi datang mendekat. Rok mini yang dikenakannya membuat ia kesusahan saat hendak duduk jongkok di depan Mbah Wiryo.
Mbah Wiryo gelagapan. “I-iya, Neng.” Segera ia mengambil kantong plastik dan memasukkan kacang yang telah ia takar dengan kaleng bekas susu. Lalu ia menyerahkannya kepada wanita tersebut.
“Nanti mau pulang jam berapa, Mbah? Sudah jam delapan, loh, ini,” ucap si wanita setelah memberikan uang lima ribu rupiah ke Mbah Wiryo.
“Nunggu bentar lagi, Neng. Siapa tahu masih ada rezeki,” jawab Mbah Wiryo sambil membenarkan kardus alasnya duduk.
Wanita yang tidak memakai masker itu pembeli setia Mbah Wiryo. Setiap malam ia membeli kacang rebus. Berulang kali ia menanyakan, kenapa Mbah Wiryo sudi menaati anjuran pemerintah untuk tetap memakai masker. Sebelum Mbah Wiryo menjawab, ia kembali berbicara, “Pandemi bukan hanya penyakit, Mbah. Penerapan aturan tanpa melihat situasi dan kondisi juga bisa jadi pandemi yang lebih parah.”
Mbah Wiryo hanya mendengarkan. Ia akan menunggu wanita itu selesai berbicara tanpa menyela sedikit pun.
“Kayak kondisi Mbah Wiryo begini. Mbah mangkal di sini abis magrib, bentar lagi dah kena semprit. Dapet berapa duit, Mbah? Cukup buat makan enggak? Pandemi enggak membunuh orang miskin, Mbah.”
“Ya, karena saya miskin, Neng. Makanya kudu taat. Toh, kita enggak tahu kita matinya kapan. Kalo kena pandemi beneran, syukur pemerintah mau nolong, kasih obat gratis,” ucap Mbah Wiryo yang dibalas gelak tawa si wanita.
“Mimpi ya, Mbah!”
Wanita itu berlalu, gema tawanya masih terdengar walaupun langkahnya telah jauh.
Setelah kepergiannya, datanglah mobil yang berisi beberapa pria berseragam. Petugas, begitu cerita Mbah Wiryo kemarin malam.
“Sudah jam delapan, Mbah. Ingat, kan, surat dari pemerintah yang kemarin saya bacakan?” Salah seorang petugas berbicara di hadapan Mbah Wiryo. Masker yang ia kenakan membuat suaranya terdengar samar.
“Tidak boleh ada kegiatan masyarakat lebih dari jam delapan malam.” Si petugas mengulang isi surat edaran pemerintah. “Dan ini sudah jam delapan, Mbah. Mbah tahu kan kudu ngapain?” ucap si petugas.
“Baru dua orang yang mampir, Pak. Izinkan saya jualan satu jam lagi, barangkali bisa tambah-tambah sedikit untuk beli obat, istri saya sakit di rumah.” Mbah Wiryo mengiba. Kedua telapak tangannya ia katupkan di depan dada.
“Tidak bisa, Mbah. Kami cuma menjalankan tugas saja.” Si petugas berkata congkak.
“Ayo, semuanya menyebar. Suruh tutup semua kedai!” perintahnya ke pria-pria berseragam yang lain.
Pria-pria berseragam itu lalu menyebar, menyisir sepanjang trotoar tempat pedagang kaki lima membuka lapaknya. Tongkat yang mereka bawa dipukulkan pada tiang-tiang tenda, membuat ngilu telinga yang mendengarnya.
“Ayo, bubar! Bubar!” titah salah seorang di antara mereka.
Mbah Wiryo masih bertahan di tempatnya. Ia bergeming, menatap pria-pria berseragam yang menutup paksa kedai-kedai yang baru buka selepas magrib, bersamaan dengan ia menggelar dagangan.
“Ayo, Mbah. Saya tungguin,” ucap si petugas tanpa beranjak dari tempatnya berdiri. “Pulang aja. Jaga istrinya di rumah. Dua minggu lagi baru cari duit sampai malam.”
Mbah Wiryo mengepalkan jari-jari tangannya sehingga kulit keriputnya semakin terlihat.
Dengan muka merah padam, Mbah Wiryo menggulung dagangan. Ia kemasi kacang dan pisang rebus yang belum separuh terjual.
“Besok kita rencanakan penggulingan petugas seragam itu!” ucap Mbah Wiryo sambil memukulkan batu tiga kali ke tubuhku yang menimbulkan bunyi berirama sama setiap malamnya.(*)
Klaten, 30-05-2021
Fitri Hana, ibu muda yang baru belajar menulis.
Editor : Rinanda Tesniana