Pandangan Pertama
Oleh : Isnani Tias
Aqila berjongkok di bibir pantai sambil bermain dengan ombak kecil yang mengenai telapak tangannya. Hatinya tengah berbunga hari ini, karena ia sedang merasakan yang namanya jatuh cinta pada pandangan pertama.
“Aqilaaa!” teriak Dewi saat menemukan sosok sahabatnya berada di pantai, kemudian berlari mendekatinya.
Aqila langsung menoleh, ketika namanya dipanggil oleh suara yang tak asing di indra pendengarnya.
“Dewi ….” Aqila berdiri dan berlari sembari merentangkan kedua tangannya untuk menyambut kedatangan Dewi.
Aqila dan Dewi berpelukan sejenak untuk melepas rindu–seminggu sudah tidak berjumpa. Kemudian mereka bergandengan tangan berlari menuju bibir pantai dengan senyum bahagia.
“Ila, gue lagi happy banget,” ucap Dewi dengan mata berbinar memandang Aqila.
“Aku juga, Wi,” ujar Aqila sambil tersenyum memperlihatkan lesung pipinya.
“Tau nggak? Gue jadian ama–” ucapan Dewi terputus saat Aqila menempelkan jari telunjuk di bibirnya.
“Aku dulu yang ngomong, ya? Aku kayaknya suka ama Dika, Wi!” seru Aqila seraya memegang kedua pergelangan sahabatnya itu.
“Hah! Di-Dika, siapa?” Dewi terkejut.
“Itu, loh, Dika yang pernah aku ceritain waktu itu di kafe,” jelas Aqila. “Oya, tadi kamu bilang jadian ama sapa?”
“Hm, nggak jadi, deh,” goda Dewi sembari mengerlingkan mata.
“Kok, gitu!” Bibir Aqila mengerut.
“Lo, sih, main potong, aja.”
“Ayolah, ayolah, beri tahu namanya sapa?” Aqila menggoyang-goyang tubuh sahabatnya dengan memperlihatkan matanya yang sendu.
“I-iya, iya, tapi jangan begini, sakit tau,” ujar Dewi sembari melepaskan kedua tangan Aqila dari badannya. “Namanya Rio. Puas!”
Kedua sahabat itu asyik berbincang-bincang membahas cowok yang mereka sukai, sembari bermain dengan ombak yang mengenai kaki keduanya.
Beberapa bulan kemudian setelah Dewi sudah memiliki pasangan duluan, akhirnya giliran Aqila yang mengikuti jejak sahabatnya itu. Namun, mereka sibuk dengan tambatan hati masing-masing, sehingga baik Aqila maupun Dewi sudah jarang bertemu, hanya sesekali bertukar kabar lewat pesan.
Suatu sore, Aqila berjalan-jalan ke taman kompleks yang berada tidak jauh dari rumahnya. Ketika ia melintasi lapangan basket yang masih satu area dengan taman itu, pandangan Aqila tertuju kepada seseorang yang sedang hanyut dalam permainan basketnya. Alis Aqila bertaut saat mencoba memastikan siapa orang itu, sebelum ia menyapanya.
“Hai, kamu Johan temannya Dika, kan?” tanya Aqila, menyakinkan dirinya jika ia tidak salah mengenali sosok lelaki muda itu.
“Hm, iya,” jawab Johan setelah menghentikan permainan basketnya.
Aqila dan Johan duduk di bangku yang berada di lapangan basket. Mereka tenggelam dalam obrolan, seolah keduanya sepasang kekasih seandainya ada orang yang melihat.
***
Hari ini Aqila pergi ke kafe langganannya. Ia memilih duduk dekat jendela, yang merupakan tempat favoritnya setiap kali datang, kemudian memesan minuman.
Sembari menunggu pesanan datang, mata belok Aqila tertuju pada sepasang kekasih yang berjalan mesra bergandengan tangan, di seberang jalan depan kafe. Bergegas ia langsung berdiri untuk meninggalkan kafe, tidak lupa meninggalkan selembar uang berwarna hijau di atas meja.
Dengan langkah seribu gadis berkucir kuda itu berlari keluar kafe, mengejar sepasang kekasih itu.
“Hai, kalian, tunggu!” teriak Aqila dari belakang sepasang kekasih tersebut.
Mereka yang merasa dipanggil menoleh ke belakang, karena tak ada orang lain selain mereka.
“A-Aqila ….” Secara bersamaan mereka menyebutnya dengan spontan.
“Kalian berdua … tega! Khususnya kamu, Wi!” bentak Aqila, menunjuk ke arah Dewi, kemudian ia langsung berlari menabrak mereka, tak menghiraukan teriakan Dewi.
Aqila terus berlari sambil menangis tersedu-sedu.
Sebuah taksi berhenti di waktu yang sangat tepat, ia masuk ke taksi tersebut tanpa menghiraukan dua orang yang berusaha mengejarnya. Tanpa disadari, ada sepasang mata yang tidak sengaja menyaksikan adegan tersebut.
***
Aqila turun dari taksi setelah menempuh perjalanan satu jam lamanya, gadis itu berlari ke arah pantai menuju tanjakan batu-batu besar. Ia berteriak sekeras-kerasnya.
“Argh! Kenapa kalian tega kepadaku?!” teriak Aqila sembari berdiri di tebing yang menghadap ke samudra.
“Hai, udah puas teriaknya? Kan, udah aku bilang tempo hari di taman, kalo Dika itu playboy dan hanya mempermainkan hatimu saja. Tahu tidak? Nama Dika itu Rio Pradika Sanjaya, dia pacar sahabatmu juga, kan?” papar seseorang dari arah belakang Aqila.
Aqila hanya diam, tak menghiraukan suara seseorang itu. Ia melangkah perlahan menuju ujung tebing yang menjorok ke laut lepas.
“Aqila, kamu jangan bodoh! Bunuh diri tidak akan menyelesaikan masalah, malah hanya akan menimbulkan masalah baru. Lagi pula, apa kamu tidak kasihan pada orang-orang yang mencintaimu?” teriak seseorang tersebut, lagi.
“Emang siapa yang cinta ama aku? Ayah dan ibuku lebih memilih sibuk dengan pekerjaannya masing-masing, aku selalu terabaikan,” ucap Aqila yang masih berjalan dengan air mata yang mulai mengalir.
“Aku, Johan Pratama yang mencintai kamu sejak pertama kali kita bertemu,” jawab Johan seraya berjalan menghampiri Aqila. “Tapi sayang, kamu lebih menyukai Rio.”
Seketika Aqila menghentikan langkahnya yang hampir menyentuh bibir tebing dan berbalik cepat menghadap Johan. Namun, saat salah satu kakinya berpindah tempat, ia tergelincir dan terjatuh ke laut. Tanpa berpikir panjang, Johan bergegas berlari melewati bebatuan, kemudian ikut terjun. Berharap gadis pujaannya bisa dia selamatkan.
End.
Sidoarjo, 30 November 2020.
Nama penulis Tias, seorang ibu dari dua bidadari surga. Ia mulai terjun di dunia literasi sejak tahun 2018 dan sempat hibernasi hampir setahun. Sekarang penulis ingin kembali lagi menjeburkan diri dalam lautan imajinasi. Si penulis lebay banget, ya? Hahaha ….
Editor : Lily
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata