Panah Asmara

Panah Asmara

Panah Asmara
Oleh : Rachmawati Ash

Jleb.

Desiran angin seperti tertancap pada lapisan kulit, menembus ke dalam daging. Terdengar lebih detail, sunyi. Telingaku menangkap suara anak panah terlepas dari busur. Aku melompat dari kursi kayu di teras rumah karena dikejutkan oleh helai bulu burung yang melayang-layang. Aku mendongak ke atas, memandang langit yang berlatar jingga. Kudapati puluhan helai bulu putih berjatuhan ke tanah, membentuk tumpukan menyerupai kapas putih bersih.

Helai-helai sayap yang begitu lembut perlahan mencium bumi. Satu demi satu, perlahan-lahan. Hatiku berdesir, menunggu pemilik sayap yang tak kunjung muncul. Lalu aku menyimpulkan, suara yang kudengar beberapa detik lalu adalah suara anak panah yang dilepaskan oleh seseorang. Siapakah yang bermain anak panah di sini?

Aku menolehkan kepala ke kiri dan ke kanan, mencoba mencari tanda, sumber suara, atau isyarat sekecil apa pun. Namun tak terdengar langkah, embusan napas, ataupun rumput yang terinjak oleh seseorang. Tempat kelahiranku, tempatku dibuai hingga sedewasa ini jangan sampai terusik oleh kejahatan di tanah ini. Memanah burung dengan alasan apa pun adalah kejahatan. Di mana orang itu? Di mana penjahat itu? Aku harus membawanya ke rumah Pak Lurah untuk memberinya pelajaran.

Sekarang, seluruh helai-helai halus putih itu telah sampai di tanah. Sebagiannya diseret angin, berserakan tak beraturan. Berantakan. Aku masih memandangnya dengan perasaan heran. Tapi aku juga ingin memungutinya, mengumpulkan helai-helai putih lembut itu di tanganku. Aku masih berdiri, kembali memutar kepala ke kanan dan ke kiri. Mencari-cari seseorang yang kuanggap sebagai penjahat.

“Maaf, Nona. Izinkan saya lewat.” Kudengar suara yang begitu lembut, namun membuatku terkejut. Suara yang begitu tenang, hampir menyerupai suara detak jantungku sendiri. Bisa kukatakan, hampir tak terdengar.


Aku benar-benar terkejut. Aku tidak melihat arah kedatangannya, gema langkah atau setidaknya bau keringat seseorang yang mendekat. Ini aneh, sungguh aneh. Aku menoleh, mendapati sosok laki-laki tampan dengan rambut ikal hitam pekat. Bibirnya tersenyum.

Dia berdiri, memandangku dengan tatapan dalam, membuatku bergidik. Aku merinding oleh senyumnya yang menawan. Tapi, dia sungguh sangat tenang, Keteduhan matanya menghapus kegusaranku.

 
“Maaf, bolehkah saya lewat? Saya mau melewati sawah dan menuju ke gunung di belakang desa ini.” Suaranya seperti melepaskan sihir, aku kembali terpana oleh tatapannya.

“Siapa kamu?!” sengaja kupertegas pertanyaanku. Aku tidak ingin orang aneh yang mengganggu ketenangan desa mengalihkan perhatiaanku pada hal lain.

Mataku tertuju pada seekor burung besar yang tersampir di pundak kirinya. Burung seukuran tubuhku dalam keadaan lunglai tak berdaya. Helai-helai bulunya sama dengan helai yang berjatuhan di depan rumahku. Mataku juga menangkap busur panah di tangan kukuh laki-laki itu. Anehnya, aku tidak melihat darah maupun anak panah di tubuh burung itu.


“Aku sedang jatuh cinta, Nona.” Laki-laki itu menatapku, lagi-lagi aku gusar dibuatnya. Kami saling bertukar pandang. Dalam keadaan seperti ini, jelas aku tidak membutuhkan kata-kata mutiara. Aku hanya butuh penjelasan yang jujur, bukan kalimat ngawur.


“Siapa kamu? Sebaiknya segera jelaskan apa yang telah kamu lakukan pada burung itu!”


“Maaf, Nona. Beribu malam saya habiskan, ratusan pantai saya datangi, puluhan purnama saya tunggui, hanya untuk menemukan kesempatan ini, kesempatan mendapatkan yang saya inginkan. Selama ini hatinya kosong, namun mulai sore ini akan terisi.”

Jujur, aku makin tersinggung dengan ucapan manisnya, seolah dia mengejek hatiku yang sedang kosong dan merana karena patah hati pada seorang laki-laki.

 
“Jangan berbasa-basi, jawab saja pertanyaanku, kenapa burung itu mati?” kalimatku gusar karena tidak sabar menunggu jawabannya yang bertele-tele.


Laki-laki itu tersenyum, “Sudah lama saya mencari jodoh, hari ini saya telah mendapatkannya. Saya telah melepaskan anak panah tepat di dadanya, pengejaran saya telah selesai. Jika tidak keberatan, izinkan saya lewat. Sungguh saya akan sangat berterima kasih.” Aku melongo, laki-laki ini mengakui perbuatannya, dia telah memanah burung itu hingga mati.

 
“Apa yang kamu lakukan pada burung itu? kamu telah melanggar hukum.” Aku berusaha membuatnya sadar bahwa dia telah melakukan kejahatan pada sesama makhluk hidup. Apalagi makhluk itu tidak bersalah.


“Dia bukan burung, Nona. Dia adalah jodoh yang akan menikah dengan saya. Saat ini dia sedang pucat karena terkejut oleh bidikan anak panah saya. Sebentar lagi dia akan kembali baik-baik saja. Percayalah, dia hanya terkejut dan terlihat tidak berdaya. Saya bisa mengatasinya.”

Matahari semakin turun ke ufuk barat. Laki-laki itu membetulkan posisi burung raksasa di pundak kirinya. Berjalan melewatiku, menuju sawah dibelakang rumah. Aku mengikutinya.

Tidak ada rasa takut maupun khawatir di benakku. Mataku terus mengawasi laki-laki itu, aku tidak ingin kehilangan dirinya sebagai seorang yang telah memburu seekor burung. Aku mengikuti langkah kakinya. Memasuki persawahan yang gersang akibat kekeringan di musim kemarau, lalu berjalan menaikin gunung di belakang desa. Aku masih penasaran dan ingin menangkap laki-laki itu untuk membuktikan kejahatannya di desaku.

Sampai di pucuk gunung kakiku terpeleset, aku terjatuh. Namun, tidak merasakan sakit. Aku kepayang tanpa luka dan darah di tubuhku.

Aku mulai ragu-ragu, memandang punggung laki-laki yang berdiri tepat di hadapanku. Aku terkesima, saat wajahnya yang tenang berbalik menatapku. Dia menunduk takzim, dengan santun mengulurkan tangannya padaku. Aku takut, selebihnya sunyi. Angin senja menusuk ke kulitku yang putih bersih. Langit tak lagi menyisakan warna cerahnya yang jingga.


Aku kembali mengingat kejadian beberapa detik yang lalu. Jleb. Sebuah anak panah menusuk tepat di jantungku. Mataku kehilangan sisa jingga dari celah-celah pohon di pegunungan yang rimbun.


Aku jatuh, rebah dan telentang. Tanpa daya aku kepayang. Tanpa rasa sakit, darah maupun luka. Astaga, laki-laki ini melepaskan anak panah tepat di dadaku!(*)

 

Rachmawati Ash, suka mengoleksi cangkir beraneka motif dan bentuk.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

 

 

 

Leave a Reply