Pamit

Pamit

Pamit
Oleh : Rachmawati Ash

Alamat hari ini aku pulang malam lagi. Dosen pembimbing skripsi memintaku menemuinya selepas magrib. Sebagai mahasiswa aku sudah cukup sabar, menunggunya dari pukul delapan pagi hingga sore hari. Baiklah, aku menarik napas dalam-dalam, mengeluarkannya perlahan-lahan. Aku berusaha memaklumi perilaku Pak Wahab yang terlalu sibuk. Aku juga berusaha memberi semangat pada diriku sendiri. “Ayolah, Arjun, ini hanya sementara, setelah skripsimu selesai kamu boleh piknik atau berkencan dengan Tita.” Aku mengomel sendiri sambil menggaruk-garuk kepalaku yang sama sekali tidak gatal. Aku pasti bisa, pasti.

**
Aku membuka pintu pagar rumah dengan sisa tenaga yang masih kusimpan, dengan kaki kanan kudorong pintu besi berwarna cokelat tua, suaranya berderit karena karat yang membandel di sisi-sisi rodanya. Aku terkejut, mobil sedan hitam milik ayahku terpakir manis di halaman rumah. Bukankah tadi pagi Ayah, Ibu, dan Dendi sudah pergi ke rumah Bude di Solo? Aku membatin sambil lalu. Sudahlah, sekarang yang kubutuhkan adalah mandi dan tidur.

Kuletakkan tas ranselku di meja ruang tamu. Aku terkejut karena Dendi—adikku satu-satunya—yang sudah berdiri di belakangku. Tersenyum nyengir dengan segelas susu cokelat disodorkannya padaku. Aku menerimanya.

“Gimana, tadi perjalanannnya ke rumah Bude? Aku pikir kalian akan menginap di sana, tapi, baguslah kalian sudah pulang aku jadi tidak kesepian.”

Dendi membuang wajah menatap ke arah kamar Ibu, senyum nyengirnya berubah kecut.

“Ayolah, Bung, kamu sudah besar, sebentar lagi kamu akan kuliah, kan? Jangan ngambek begitu, Aku tidak bisa menemanimu ke rumah Bude karena Aku ada janji dengan dosen pembimbingku hari ini.” Aku berusaha menjelaskan kepada Adikku. Dendi tidak menjawab, berjalan sempoyongan ke dapur. “Dendi, kamu pucat banget, pasti kamu capek. Udah, deh, Istirahat dulu sana, jadwal nyuci piring bisa dirapel besok, kan?” Aku memperhatikan wajah Adikku yang pucat.

Tiba-tiba aku merasa iba, meski biasanya Aku akan berteriak jika dia tidak mengerjakan tugas rumah sesuai jadwal yang sudah disepakati. Dendi tidak menghiraukanku, dia berjalan ke dapur dan membereskan alat-alat makan di meja makan. Lampu dapur tidak dinyalakan, aku mengangkat bahu saat mendapati Adikku mencuci piring dalam keadaan ruang gelap. Bagaimana Dia akan tahu piring dan gelas sudah bersih kalau gelap begini?

Aku kembali ke kamarku, setelah mandi badanku kembali segar. Kulihat jam dinding masih menunjukkan pukul 22.00 malam. Aku mengambil remot, menyalakan televisi di kamarku. Ponselku berdering, segera aku menyambarnya dari atas meja belajar.

“Arjun, lembar bimbingan skripsi tertinggal di tas ranselmu, tadi pagi aku nitipin ke kamu, kan? Ya ampun, maaf, Jun, aku lupa besok ada bimbingan jam tujuh pagi, jadi gimana, boleh kuambil ke rumahmu?” Suara Tita tampak panik di seberang telepon. Aku masih mendengar penjelasannya, belum sempat memberi jawaban, namun telepon sudah dimatikan

Kucoba menelepon Tita, mencegahnya agar tidak ke rumahku malam-malam begini, bukan apa-apa, tapi aku lebih mengkhawatirkan keselamatannya. Rumahnya lumayan jauh dari rumahku, kalau naik motor akan memakan waktu sekitar lima belas menit, itu untuk ukuran laki-laki. Nihil, teleponku tidak diangkat, Tita pasti sudah dalam perjalanan ke rumahku. Aku segera keluar kamar menuju ke teras rumah. Aku mendapati Dendi sedang nonton televisi di ruang tengah. Bocah aneh, nonton TV, kok, diam saja tanpa reaksi, kalau begini jadinya TV yang nonton Dendi, kan. Kalau memang lelah setelah perjalanan jauh seharusnya tidur, bukan memaksakan diri seperti ini.


Beberapa menit aku menunggu kedatangan Tita dengan harap-harap cemas. Kekasihku memang keras kepala, kalau punya kemauan tidak bisa dicegah. Tita bahkan tidak peduli aku mengkhawatitkannya. Suara motor matic berhenti di depan rumahku, Aku mempercepat langkah membuka pintu pagar. Aku mengambil alih motor Tita dan memarkirkannya di halaman rumahku, tepat di samping mobil Ayah.

“Masuk dulu, minum susu atau teh. Ada Dendi lagi nonton TV di dalam.” Aku memberinya perintah. Dasar gadis keras kepala yang senang sekali membuat orang lain khawatir.

“Ayah dan Ibu tidak jadi ke Solo?” Tita berjalan di sampingku menuju ruang tengah. Aku menjelaskan pada Tita bahwa keluargaku sudah pulang dari Solo dan tidak jadi menginap. Tita memperhatikanku, wajahnya menatap penuh pertanyaan. Aku tahu apa yang dipikirkan Tita, iya, sama dengan yang kupikirkan, perjalanan dari Tasik ke Solo tidak dekat. Pasti mereka lelah sekali setelah melakukan perjalanan pulang pergi tanpa istirahat.


Dendi masih menatap layar televisi, wajahnya semakin pucat. Aku bisa memahami betapa lelah dirinya saatnya ini. Sampai Tita duduk di sampingnya pun Dendi tidak menyapa, hanya tersenyum simpul yang sangat sederhana. Tita membalas senyumnya, Tita tampak kecewa karena tidak biasanya dicuekin oleh adikku. Dendi selalu antusias kalau Tita datang, merajuk atau menagih jajanan ringan.


Aku memberikan segelas susu cokelat hangat pada Tita. “Habiskan dulu susunya, nanti aku antarkan pulang!” Aku sedikit mengancam karena Tita tidak pernah paham kekahawatiranku.

“Oke” jawabnya simpel sambil melingkarkan jari telunjuk dan jempolnya. Dendi melirik ke arahku, sinis sekali. Sepertinya dia masih kecewa karena aku tidak menemaninya ke rumah Bude tadi pagi. Ayah dan Ibu sudah tertidur lelap di kamar, aku tidak berani mengganggunya. Biasanya kalau Tita datang ke rumah, Ibu akan mengajaknya berbincang lama tentang model baju baru atau tanaman hias yang ada di toko online . Mereka memang pasangan “klop”, sama-sama suka belanja dan mengikuti model terbaru. Aku tersenyum sendiri, membayangkan calon ibu mertua dan menantunya yang kompak.

Pintu rumahku diketuk beberapa kali, aku terkejut. Entah kenapa hari ini aku jadi sering merasa terkejut. Ada saja hal yang membuatku terkejut. Kubuka pintu, Tita berdiri di belakangku, beberapa warga dan polisi sudah berdiri di teras rumahku. Aku kembali terkejut, apakah aku sedang digerebek warga karena memasukkan gadis ke dalam rumah? Kan ada Ayah, Ibu dan adikku di rumah? Bagaimana mungkin aku bisa melakukan hal-hal mesum kalau ada keluarga bersamaku dalam satu rumah?

“Selamat malam Mas Arjun, kami dari kepolisian mengabarkan bahwa Ayah, Ibu, dan Adik Anda mengalamai kecelakaan tadi siang di Tol Salatiga.”

Aku tidak percaya apa yang dikatakan polisi dan warga. Setelah bukti-bukti data kejadian, saksi dan kabar bahwa jenazah Ayah, Ibu, dan adikku sedang dalam perjalanan menuju ke rumah. Aku merasa seluruh tubuhku lemas, Tita segera menopang tubuhku.

Dengan sempoyongan aku meninggalkan Tita, mempercepat langkah menuju ke ruang tengah, TV masih menyala, Dendi tidak ada di tempat semula. Aku berlari membuka pintu kamarnya, gelap dan kosong. Aku kembali berlari ke ruang tengah, menghentikan langkah saat tidak sengaja melihat pintu kamar Ayah dan Ibu sedikit terbuka. Astaga. Aku hampir pingsan, Kulihat Ayah, Ibu, dan adikku tidur berjejer dalam ranjang yang sama. Terbujur kaku, pucat, dan penuh darah. Aku hampir saja masuk ke kamar, tepat saat sirene mobil ambulans bergema, suaranya berputar-putar di depan rumahku. Aku lemas, mataku melirik ke dalam kamar. Kosong.

 

Rachmawati Ash, golongan orang yang pura-pura bahagia, meski hatinya sakit, cidera, kecengklak dan butuh tukang urut.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply