Paman Raksasa
Oleh: Syifa Aimbine
“Jangan datang lagi!” rengek Clara.
Ia ketakutan saat Paman berwajah aneh itu mulai datang mendekatinya. Badannya sangat besar, perutnya buncit. Ia selalu membawa barang-barang berukuran besar yang ia lemparkan ke arah Clara. Kasur berukuran besar, ember besar, bola besar, lemari besar, semua benda itu dilemparkan Paman Raksasa ke kepala Clara. Kepala Clara sakit, perutnya mual. Terkadang ia sampai muntah. Semua itu muncul ketika suhu tubuhnya kembali naik, seperti sore ini.
Mama Papa Clara sudah sering membawa Clara ke dokter. Setiap dokter juga menyarankan hal yang sama, Clara tak boleh capek, tak boleh stres. Namun, bagi Papa dan Mama semua itu hanya alasan Clara jika malas belajar.
“Maafkan Clara, Pa. Clara Cuma rangking dua.” Clara merunduk, ia tahu telah membuat Papanya kecewa.
Perlahan-lahan ia melihat ke arah lelaki itu, bahunya penuh dengan barang-barang berukuran besar milik Paman Raksasa yang selalu melempar barang ke arah Clara. Ia lekas kembali menunduk, takut jika Paman itu kembali muncul dari balik tubuh Papanya.
“Selisih nilai kamu cuma satu, di pelajaran bahasa. It’s okey, bukan salah kamu kalau hanya gagal di Bahasa Indonesia. But, English? You should better than her! Sejak lahir kamu sudah terbiasa dengan ini!” Papa melempar rapor Clara dengan kasar.
Clara reflek menutupi wajah, melindungi kepalanya. Ia takut Papa akan melakukan hal seperti Paman Raksasa lakukan, melempari barang ke kepalanya. Lalu kepalanya sakit, dan ia muntah. Clara berlari dan berteriak menjauhi Papanya. Kemungkinan Paman Raksasa adalah suruhan Papanya. Papanya kejam, padahal Clara sudah minta maaf. Clara sudah berusaha menyenangkan Papa dan Mama. Kenapa mereka masih saja jahat.
***
“Bapak, Ibu sepertinya sudah terlambat. Clara terlambat didiagnosa, terlambat mendapat pertolongan. Dengan berat hati, saya terpaksa merekomendasikan perawatan intensif jiwa bagi Clara.” Seorang wanita paruh baya, berjas putih menghela napas membaca hasil akhir asesmen pasien bernama Clara Wihelmina Tobias.
Jiwa wanita yang telah menjadi psikiatri sejak lima tahun silam itu selalu bergejolak setiap menerima pasien anak seperti Clara. Korban ambisi para orangtua. Sangat disayangkan anak secerdas Clara harus berakhir meringkuk larut dalam delusi, anxiety parah, dan mulai mengarah pada schizophrenia.
“Maksud Anda, anak saya jadi gila?” Papa Clara terlihat emosi, masih tak percaya dengan diagnosa dokter. Ia menatap tajam pada sang dokter.
Benda berat di pundaknya kini bertambah besar. Clara yang duduk meringkuk di pojok ruang sebelah, semakin merunduk memeluk tubuhnya yang mulai kurus. Ia semakin takut, takut jika Paman Raksasa mengambil benda besar di pundak Papanya itu dan melemparkan lagi ke arahnya.
“Pak! Seharusnya sebagai orangtua, anda berdua tahu ini. Clara stres, kalian terlalu banyak menuntutnya. Sekolah, les piano, les mata pelajaran, les bahasa, semua itu tidak bisa di jejalkan sekaligus ke kepala anak sekecil Clara!” Dokter Hana mulai emosi.
Clara juga dapat melihat dokter itu membawa benda berat, tapi bentuknya berbeda dari yang ada di bahu orangtuanya. Benda itu seperti boneka anak-anak yang bertumpuk, ia terlihat seperti menggendong semua benda berbulu itu. Clara tertawa, dokter itu terlihat lucu.
“Apa tidak ada cara lain, Dok? Minum obat atau terapi?” Mama Clara terlihat cemas, tapi wajah angkuh itu tetap tak terlihat menyesal. Penilaian lingkungan bisa lebih menakutkan daripada kenyataan tentang kondisi anaknya.
Dokter Hana mengembuskan napas dengan kasar, ia menggeleng. Sebuah jawaban yang tak bisa ditawar lagi. Kalau keluarga ini menolak, ia khawatir akan kemungkinan yang lebih buruk pada anak itu.
“Kalau begitu kita cari dokter lain saja!” Papa Clara beranjak dari tempat duduknya dengan emosi.
Ia menarik paksa Clara, lalu menyeretnya hingga ke mobil mewah milik mereka. Mama memandang nanar, mungkin ada sedikit rasa nelangsa. Namun, tuntutan sosial terlalu berat.
Toh, ia dulu juga ditempa dengan cara yang sama. Empat gelar berhasil diraihnya di usia muda. Semua perusahaan dalam dan luar negeri dijajalnya. Di sanalah ia bertemu pria yang kini menjadi suaminya. Visi dan misi yang sama membuat mereka cocok untuk menikah. Cinta? Entahlah, yang pasti dua perusahaan milik mereka bisa bersinergi.
Menurut mereka Clara terlalu lemah, mungkin ini sebab pengasuh sebelumnya sangat memanjakan Clara. Pengasuhnya yang mereka pekerjakan secara profesional itu memang memiliki kemampuan parenting yang baik. Tentunya sesuai dengan harga yang diberikan kepadanya. Namun, terlalu berlebihan bagi pasangan ini, sehingga akhirnya ia pun diberhentikan. Kasih sayang sang perawat dianggap melemahkan Clara.
Sejak itulah mungkin Clara seperti kehilangan teman, kehilangan orang yang menyayanginya. Mamanya sendiri tak pernah memeluknya, menciumnya, apalagi membacakan dongeng sebelum tidur seperti yang dilakukan pengasuhnya.
Kini, jiwa Clara menjadi sangat kelam. Paman Raksasa kembali datang dan melemparkan seluruh benda berukuran besar ke arahnya. Ia ketakutan setengah mati ketika Paman Raksasa mengangkat piano besar miliknya. Benda itu akan dilemparkan ke arahnya. Clara panik, ia berlari menghindar ke arah balkon kamarnya. Lalu melompat ke luar dari pagar pembatas. Tubuhnya terlempar dan menghempas aspal. Ia kembali muntah, kali ini muntahnya berwarna merah. Namun, kepalanya tidak terasa sakit lagi.
Dari bawah ia bisa melihat Paman Raksasa yang masih berdiri di balkon. Tapi kali ini Paman Raksasa tak lagi membawa barang besar untuk melemparnya. Ia tersenyum ke arah Clara, Clara pun ikut tersenyum.(*)
Depok, 15 Oktober 2020
Syifa Aimbine, penyuka hujan yang tak tahan dingin.
Editor : Uzwah Anna
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata