Paman Pemelihara Tikus, Bibi Pemakan, dan Bocah yang Memotong Kakinya
Oleh : Evamuzy
Paman Pemelihara Tikus duduk bersandar di kursi kebanggaan, berlapis emas, dengan sandaran kain sutera. Mulutnya mengepulkan asap abu-abu dari ujung cerutunya yang menyala. Kaki kanannya yang ditekuk, ditopang di kaki kirinya, bergerak-gerak kecil menunggu para tangan kanannya pulang membawa harta benda: dari yang bau wangi sampai bau kotoran atau nasi basi.
“Sialan! Kenapa lama sekali mereka?” Yang dimaksudnya adalah puluhan … oh, bukan, tetapi kalau dihitung-hitung ada ratusan tikus peliharaannya yang sekarang tengah pergi bekerja. Binatang pengerat itu tiap pagi dikeluarkan dari kandang besi yang telah berkarat, diciumi mulutnya yang apak satu per satu oleh Paman Pemelihara Tikus, lalu diberi wejangan.
“Kumpulkan harta yang banyak, ya, Anak-Anak Pintar.”
Tikus-tikus hitam itu lantas berhamburan. Tak ambil tempo, mereka seperti dikomando tanpa pimpinan untuk keluar melewati lorong rumah, lantai yang mengilap, ruang tamu, halaman, tepian jalanan kota, lalu berakhir saling menyelusup di got-got sempit penuh kotoran di setiap sudut kota. Misinya satu: memasuki semua rumah yang ada di kota, tak peduli lewat apa saja, bahkan dari ujung sepiteng sekali pun. Tak perlu khawatir, penciuman mereka sudah mati untuk membedakan mana bau kotoran dan mana bau roti. Semua sama di lubang dan bulu hidung mereka. Semua rumah disambangi, tak peduli yang hartawan, atau pun yang anggota keluarganya, satu butir nasi saja masih jadi rebutan.
Sesampainya di rumah-rumah penduduk kota, tikus-tikus melancarkan aksi. Menjarah semua yang bisa diangkut oleh tangan kecil mereka. Dari rumah sang hartawan, tikus-tikus biasanya berhasil menggigit satu dua keping emas. Kalau pun tak sengaja tertelan, biasanya akan keluar dari lubang pembuangan mereka. Kemudian akan ditangkap dengan lincah oleh Paman Pemelihara Tikus, tentu dengan mulutnya. Sementara dari rumah si fakir, tikus-tikus paling gemar mengumpulkan nasi basi. Hidangan yang Paman Pemelihara Tikus masih memakannya dengan rakus, mirip para tangan kanannya. Tikus.
Pernah satu waktu, tikus-tikus mendapatkan pekerjaan baru dari Paman Pemelihara Tikus, yaitu mengumpulkan sehelai demi sehelai benang warna hitam dari toko benang. Setiap tikus diberikan tugas menjarah 1001 helai benang.
Saat itu, para tikus bekerja keras layaknya pekerja romusa saja, yang tak kenal pagi atau petang. Tak tahunya, beberapa lama kemudian, benang-benang hitam yang menggunung hasil kerja keras tikus-tikus, diubahnya menjadi stelan jas warna hitam yang gagah. Dipintal oleh penjahit tua yang disuruhnya dengan paksa, tanpa upah. Setelah yakin penampilannya tanpa celah, Paman Pemelihara Tikus lantas memerintahkan tikus-tikusnya untuk mengambil dasi kupu-kupu di toko pakaikan pria. Ya, ya, ya, tentunya lagi-lagi mengambil tanpa izin, apalagi membayar. Dipasangnya dasi kupu-kupu di lehernya dengan bangga. Tersenyum dia di depan kaca besar di ruang kerjanya.
“Kerja bagus, Anak-Anak. Sekarang kalian boleh makan. Sudah kusiapkan juga susu untuk kalian,” kata Paman Pemelihara Tikus, senang bukan main dengan buah tangan tikus-tikusnya hari ini. Lima keping emas, lima batang cokelat dan tiga perempat karung nasi basi. Membuat air liur Paman Pemelihara Tikus mengalir di kedua tepian mulutnya.
“Tuan, sini aku kasih tahu sesuatu,” bisik salah satu tikus. Tikus paling besar, pemimpin tikus-tikus lainnya. Dia tak makan bersama dengan yang lainnya, karena memang sang majikan selalu menyiapkan makanan khusus, di tempat yang khusus pula. Beruntung sekali memang dia ini, sudah macam ‘anak emas’ atau bahkan penasehat khusus bagi majikannya. Paman Pemelihara Tikus segera mendekatkan telinganya. “Sebaiknya Tuan berbagai sedikit saja harta Tuan. Sedikit saja. Jangan terlalu pelit, atau hemat. Tadi di jalan aku melihat seorang bibi menangis dari dalam rumahnya, melambai-lambaikan korden jendela, menunggu pemberian orang yang melintas. Tuan bisa berikan dia sedikit nasi basi dari yang Tuan punya. Dan satu hal, dengan begitu orang seperti Tuan akan semakin terlihat sempurna. Gagah, kaya, bersinar dan tentunya seperti … dermawan.”
Paman Pemelihara Tikus mengangguk-anggukkan kepalanya. Ide bagus, begitu pikirnya.
***
Rumah di lantai dua puluh lima. Bibi Pemakan gelisah. Mondar-mandir memegangi perutnya. Rambutnya yang diberi cat warna merah bata, digulung ke atas lalu ditusuk konde perak. Menampilkan lehernya yang dihiasi kalung rantai emas dengan liontin giok ungu, juga anting-anting mutiara yang menggantung dari ujung telinganya. Namun, itu tak membuatnya luput dari perut yang keroncongan.
Jumlah cacing di perut Bibi Pemakan sepuluh kali lebih banyak dari orang pada umumnya. Cacing-cacing itu sering terlihat menggeliat di dinding-dinding perut Bibi Pemakan. Mulut-mulut mereka juga sering terlihat menusuk-nusuk kulit itu, mungkin saat mereka tengah dilanda rasa lapar yang tidak bisa lagi ditahan. Konon, tiap kali diberi makan, cacing-cacing segera bertelur, lalu jumlahnya akan bertambah dua kali lipat.
“Aku sudah tak tahan! Rasanya lapar sekali. Kapan makanan akan datang!” Bibi Pemakan berteriak kesetanan.
Bungkus-bungkus makanan berminyak, makanan siap saji, makanan ringan, jus buah, susu kaleng, daging dan ikan kaleng, sampai minuman bersoda berserakan di lantai, meja makan, sofa, juga di atas kotak perhiasan. Semua isinya sudah masuk ke perutnya, tetapi tak cukup membuat cacing-cacing kekenyangan.
“Apa pun akan kumakan sekarang. Kotoranku sekali pun,” rintihnya setelah habis tenaga untuk berteriak, sementara cacing-cacing di perutnya makin gencar memberontak.
‘Tukar saja liontinmu dengan sekantong gandum dan beberapa kaleng daging,’ bisik seseorang yang entah dari mana dan siapa. Mungkin saja malaikat baik hati.
“Setan kau! Enak saja kau bicara!” Lantang Bibi Pemakan menimpali.
Sampai saat rintihan dari mulut Bibi Pemakan semakin lirih di telinga, pintu rumahnya diketuk. Pria berpenampilan perlente datang. Pria dengan jas dan dasi kupu-kupu hitam, berdiri di ambang pintu setelah Bibi Pemakan membukanya. Tanpa senyuman apalagi wajah bersahabat, pria itu mengulurkan satu buah kantung kain.
Bibir Bibi Pemakan dipaksa senyum. “Terima kasih, Tuan. Dan kalau boleh tahu, siapa nama Tuan?”
“Panggil saja saya Paman Pemelihara Tikus,” jawabnya, lalu segera angkat kaki.
Kantung kain lantas dibuka Bibi Pemakan dengan buru-buru. Segeralah menunjukkan isinya: nasi basi milik si fakir. Bibi Pemakan terlonjak, kegirangan bukan kepalang.
“Aku makan. Kita makan sekarang,” teriaknya senang sambil memegangi perutnya.
***
Tak jauh dari rumah Bibi Pemakan. Di sebuah gubuk kayu tak beratap dan tak berpintu, bocah perempuan tengah mengiris tumit kanannya. Sementara kaki kirinya telah habis sepanjang lutut. Dia sengaja menyisakan kaki kanannya, agar tetap bisa berjalan mencari makan untuk sang kakak. Nahas, makanan tak kunjung didapat, rasa lapar tak bisa diobati dengan angin yang berembus, membuatnya harus merelakan satu kakinya lagi.
Sementara sang kakak yang terbaring di atas dipan bambu, tubuhnya tinggal tulang dan kulit. Dagingnya telah habis diiris dan dimakannya sendiri. Maka, tinggallah dua bocah yang saling memotong kaki dan daging masing-masing demi bertahan hidup, sejak kedua orang tuanya mati bertahun-tahun lalu. Namun untungnya, bocah perempuan yang tengah mengiris tumit masih terbilang beruntung dari sang kakak, yang bahkan suaranya saja sudah ditelan habis dua tahun lalu.
“Apa kau masih lapar?” tanyanya kepada sang kakak yang tak kunjung memejamkan mata. Bergerak-gerak kecil, membuat dipan berderit, dan mengganggu fokusnya mengiris daging. Sang kakak mengangguk-angguk dengan napas tersengal-sengal, khas orang sekarat. Ya, seperti itulah dia, sekarat sepanjang waktu. “Tunggulah, makanan sebentar lagi siap,” katanya lagi, tangannya terampil menata daging di atas piring seng peninggalan sang ibu.
Saat tengah mengiris kakinya lagi–karena jumlah yang disiapkan dirasa kurang–,bocah perempuan itu melihat sekelebat bayangan orang melintas di depan pintu rumah. Terpincang-pincang, bocah perempuan keluar, mencari sosok yang barusan lewat. Dilihatnya seorang pria tinggi dengan setelah rapi.
“Paman, Paman, berhentilah sebentar!”
Pria yang dipanggil berhenti. Maju dua langkah mendekati bocah perempuan.
Bocah perempuan bicara lagi, “Apakah Paman habis mendatangi rumah Bibi Pemakan dan memberinya makanan?”
Meski sungkan, pria itu mengangguk. “Iya, kenapa?”
Kali ini, demi perutnya dan perut sang kakak, demi kakinya agar tak lagi dipotong dan diambil dagingnya, demi masih bisa hidup esok hari, tanpa ragu-ragu dia bertanya, “Apakah Paman masih ada sisa nasi basi untuk kami? Sepiring saja.”
Bocah perempuan lega setelah berani bertanya. Kini, dia tinggal menunggu, apakah Paman Pemelihara Tikus bersedia pulang untuk mengambilkannya nasi basi barang sepiring saja? (*)
Evamuzy. Gadis kelahiran kota Brebes Jawa Tengah yang suka dengan dunia anak-anak.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata
Sumber Gambar: pinterest.com