Palet untuk Jingga

Palet untuk Jingga

Palet untuk Jingga
Oleh : Marissa Saud

Cahaya raksasa sudah mengintip dari sudut bukit, memantulkan sorotan berwarna kelabu bercampur oranye di langit barat. Alih-alih beranjak pulang, gadis berkucir kuda itu justru mencari posisi nyaman, sudah siap mengabadikan petang di atas kanvasnya. Alisiya mulai menyipitkan matanya ke arah senja, memperhatikan tiap-tiap awan yang saling menyilang.

“Kuning, lalu merah …,” gumam Alisiya sambil menunjuk langit.

Ia kembali mencampurkan warna di palet, seolah lupa dengan semua pesan Nenek sebelum berangkat untuk segera pulang saat senja tiba, khawatir Alisiya kesulitan berjalan pulang. Namun saat ini, lukisan itulah yang paling penting, Alisiya pantang pulang sebelum lukisan itu selesai. Hari ini ia yakin bisa menyelesaikannya.

Namun sayang, keadaan tidak mendukung gadis kecil itu untuk menatap senja lebih lama. Saat Alisiya menengadah kembali ke langit, saat itu pula semuanya kembali berwarna kelabu. Ia mengerjapkan mata, masih tetap sama. Alisiya sontak membanting palet dan kuas ke tanah, mendorong dan menendang kanvas di hadapannya untuk ke sekian kalinya, setiap hari.

“SIAL! SIAL! DASAR CACAT!” teriak Alisiya memaki dirinya sendiri.

Alisiya meringkuk, membiarkan bajunya kotor karena tanah dan catnya, ia mengambil beberapa kerikil lalu berkali-kali melempar ke kanvas yang hanya berisi sketsa. Ia menangis sejadi-jadinya di tempat yang hanya Alisiya-lah yang tahu saat ini, tempat favorit setiap kali ia ingin menumpahkan perasaan, juga tempat menyelesaikan “tugas”nya. Setidaknya sampai suara bisik itu terdengar tepat di belakang Alisiya.

 “Siapa di sana!?” teriak Alisiya masih setengah terisak.

Alisiya refleks membalikkan badannya. Tidak mungkin seseorang dengan mudah mengetahui tempat ini, pikir Alisiya. Ia beranjak, melihat sekitar dengan penglihatan buram. Tidak ada seorang pun di sana. Senja sudah sempurna terbenam. Pandangan Alisiya semakin menggelap. Ia tidak lagi peduli dengan suara itu dan langsung memasukkan kanvas dan paletnya ke tas, bergegas pulang.

Langkahnya terhenti saat seorang laki-laki menarik tangannya dengan paksa. Alisiya berteriak, “Siapa kau?! Lepaskan!!!”Alisiya menepis tangannya.

Lelaki itu menunjukkan kuas Alisiya yang tadi ia lemparkan begitu saja ke tanah.

“Ini barang mahal, bisa-bisanya kamu buang begitu saja, ini saya simpan!” tegas lelaki berambut cokelat itu.

Alisiya bukannya takut tapi malah menatapnya lamat-lamat, jelas di depannya bukanlah lelaki seumuran ataupun selisih dua-tiga tahun, mungkin selisih lima tahun dengannya, pikir Alisiya. Tetapi bukan itu yang membuatnya bingung, melainkan cara ia berbicara kepada Alisiya yang terlalu frontal dan formal.

“Kenapa diam? Diam berarti iya. Baik, ini saya ambil saja, terima kasih.” Lelaki itu memasukkan kuas Alisiya ke dalam tas selempangnya lalu meninggalkan Alisiya begitu saja.

“Hey, Kak—Om! Itu punyaku!” Alisiya kebingungan harus memanggilnya apa.

Lelaki itu berbalik, alisnya mengernyit, tampaknya ia keberatan dengan panggilan Alisiya. Alisiya mengalihkan pandangannya, menunduk.

Pupil Alisiya seketika membulat, kedua kakinya menjinjit, dagunya terangkat. Wajahnya kini hanya berjarak beberapa senti dari lelaki itu, Alisiya mati kutu.

“Saya tahu wajah saya tidak semanis ini, setidaknya kamu bukan orang yang keseribu memanggil saya om, paman, atau apalah itu. Umur saya hari ini baru masuk 21 tahun, ubah panggilan dan sopanlah sedikit, bocah.” Lelaki itu menurunkan tangannya dari dagu Alisiya, meninggalkan Alisiya dengan wajah merah padam menahan emosinya.

“Aku baru pertama kali melihat orang berbicara kasar dan mencuri kuas anak kecil, dasar!” Amarah Alisiya memuncak, tidak terima dengan sikap lelaki itu. Alisiya pun berlari pulang, membiarkan kuas dan lelaki itu di sana.

 

****

“Aku pulang.”

“Laah, Nak ee, lambat sekali pulangnya. Baju kamu kok udah kotor sekali ini. Ganti baju dulu baru makan, Nenek masak sayur labu, kamu suka, kan?”

Alisiya tidak menanggapinya. Ia masih memikirkan kejadian tadi. Hatinya sesak.

“Loh loh, kamu kenapa nangis, Nak? Ada apa, Nak?“ tanya Nenek khawatir.

Alisiya menggeleng, melangkah lesu ke kamar, mengganti baju.

Saat makan malam tiba, hati Alisiya mulai sedikit tenang. Ia menyantap labu itu dengan lahap. Keadaan sudah kembali normal, Alisiya mulai menceritakan semua kejadian yang ia alami kepada Nenek. Nenek yang sedari tadi menunggu cucunya makan, sangat antusias mendengar Alisiya bercerita.

“Namanya siapa, Nak?“ tanya Nenek menyilangkan tangannya ke meja.

“Aku tidak tahu, Nek, aku juga tidak mau cari tahu,” tegas Alisiya.

“Lain kali kamu enggak boleh begitu lagi, ya, harus sopan sama orang yang lebih tua,” ucap Nenek sambil mengelus kepala cucunya.

“Tapi, Nek, semua kuasku diambil. Bagaimana aku bisa melukis?“ bantah Alisiya.

“Nenek sudah bilang, Nak, kamu tidak perlu lagi melukis buat Nenek, apalagi pergi ke tempat jauh-jauh. Abaikan tugas itu.”

Alisiya menggeleng. Tidak ada hal yang bisa ia perbuat untuk membalas kebaikan Nenek kecuali memberikannya lukisan yang Nenek idam-idamkan.

“Lagi pula kamu hanya membahayakan dirimu, Nak, dengan pergi jauh. Kamu juga tidak bisa melihat karena niktapi-niktapi itu, jadi berhenti saja, Nak,“ ucap Nenek menatapku iba.

Nyctalopia, Nek ….”

Alisiya tahu, ia tidak akan pernah bisa melukis senja, terlebih ribuan bintang di langit malam. Lagi pula Alisiya sama sekali tidak pernah meminta untuk punya penglihatan seperti ini. Alisiya sudah mengalami ini semenjak Nenek memungutnya.

Benar, Alisiya bukanlah cucu kandung Nenek, Alisiya bahkan tidak tahu apa arti kata dari orangtua, ibu dan ayah. Nenek membesarkan Alisiya sendirian sampai umurnya beranjak enam belas, juga tanpa suami dan keluarga. Sebelumnya Nenek juga pernah punya cucu yang sangat ia sayangi, namun Tuhan berkehendak lain. Sehingga saat ini Nenek berada di posisi yang sama dengan Alisiya, hidup sendiri tanpa siapa pun. Tidak pernah mengenal bagaimana kasih sayang dari orang yang disebut orangtua itu.

“Nenek yakin suatu saat Alisiya akan sembuh,” ucap Nenek lirih.

Alisiya bahagia punya Nenek sekaligus penasihat terbaik.

 

****

Alisiya memasukkan kanvas, palet, dan beberapa peralatan melukis lainnya ke dalam tas, kembali melaksanakan tugasnya. Tentu saja, mencari lelaki itu untuk menyerahkan kembali kuas miliknya. Ia berpamitan. Nenek tadinya tidak mengizinkannya tetapi Alisiya juga harus mencari si lelaki. Ini akan menjadi hari terakhir Alisiya untuk menyelesaikan lukisan itu.

“Lihat saja, Nek, kali ini aku akan dapatkan kembali kuasku dari lelaki berjas uring-uringan dan menyelesaikan lukisan itu hari ini juga,“ ucap Alisiya antusias.

Nenek terdiam, berusaha mencerna kalimat Alisiya.

“Hahaha Tenang aja, Nek, aku sama sekali tidak takut padanya!”

Setelah berpamitan, Alisiya kembali menuju tempat itu, dua jam lebih cepat sebelum senja, mungkin saja lelaki itu datang lebih awal dari dugaannya. Kepala Alisiya saat ini penuh dengan kalimat untuk memarahinya.

Dua jam telah berlalu, senja sudah mulai merayap. Tidak ada tanda-tanda kedatangan dari lelaki itu. Matahari mulai tergelincir di langit barat. Waktunya hampir habis, Alisiya gelisah. Ia kemudian berputar mengelilingi tempat itu, memanggilnya beberapa kali, nihil.

“Huf … baiklah, Om, pertama kau menarik tanganku, kedua kau mengambil kuasku, dan ketiga kau membuatku kehilangan hari terakhirku melukis,“ gumam Alisiya.

Senja sudah merayap, Alisiya pasrah dengan keadaan, hitungan menit semuanya akan kembali menjadi gelap, selaput bening mulai memupuk di mata Alisiya, ia meringkuk, mengubur wajahnya dalam-dalam. Untuk kesekian kalinya, Alisiya kembali menangis di tempat itu, menyesali dan menyalahkan dirinya sepenuhnya.

“DASAR CACA—“

Kalimat Alisiya terhenti sedetik setelah mendengar suara bisik itu lagi. Kali ini bisikan itu terdengar memanggil namanya. Alisiya memejamkan matanya, mendengar kembali suara bisikan itu.

“Ali … si—”

“Alisiya!”

Alisiya membuka mata. Wajah lelaki itu lagi-lagi sudah berjarak beberapa senti dari Alisiya.

“Kamu mencari saya, ya?“ ucap lelaki itu.

“Sudah terlambat, aku tidak akan pernah bisa melukis untuk Nenek!”

Pipi Alisiya basah, ia sama sekali tidak bisa menahannya, tangisnya semakin menjadi.

“Belum terlambat, untuk itu saya datang sekarang, ini kuas kamu.” Lelaki itu menyodorkan kuas lalu menyeka air mata Alisiya yang terasa hangat. Rasa yang sangat familier.

“Tapi aku ….”

“Rabun senja, ‘kan? Ayo berdiri, senjanya hampir hilang, biar saya jadi penglihatanmu,” ucap lelaki itu.

Sangat banyak pertanyaan Alisiya di benaknya tapi yang terpenting saat ini adalah lukisan. Alisiya kemudian duduk membentangkan dudukan dan kanvas berisi sketsa itu, lelaki itu kemudian memberi tahu Alisiya setiap perpaduan warna di langit sana, sangat detail. Untuk pertama kalinya Alisiya menggoreskan catnya di atas kanvas, tangan Alisiya seperti tersihir, ini benar-benar mimpi, Alisiya berhasil melukisnya, persis seperti senja di hadapannya. Sentuhan terakhir telah selesai. Senja itu sempurna terlukis di atas kanvas Alisiya.

“Saya boleh tulis nama saya di ujung sini?” tanya lelaki itu menunjuk ujung kanvas.

“Tentu, Om. Terima kasih banyak, aku berutang untuk ini. Dan … maafkan aku karena salah menilamu.”

“Hahaha … sudah saya bilang, saya masih 21 tahun. Itu tidak penting, sekarang pergilah, nenekmu pasti sudah menunggu utnuk memarahimu, buat ia terkejut dengan itu,” ucap lelaki itu. Alisiya sudah dibuat bingung berkali-kali dengan setiap kalimatnya, tetapi lelaki itu benar, Nenek tidak akan memarahinya jika Alisiya memberikan kejutan ini.

“Baiklah, Om, aku segera pulang. Terima kasih banyak untuk hari ini, sampai jumpa besok, ya!” pamit Alisiya sudah tak sabar.

“Selamat tinggal, terima kasih, Alisiya  …,” ucap lelaki itu lirih. Lelaki itu melambai lama sampai Alisiya benar-benar pergi.

Nenek sudah menunggu Alisiya di depan pintu, siap dengan segala omelannya. Alisiya tersenyum lebar, menyodorkan lukisan itu dengan bangga.

“Aku berhasil, Nek! Aku berhasil membuatnya, ini semua berkat lelaki yang kuceritakan semalam.” Alisiya meloncat kegirangan.

“Coba kamu lihat namanya, Nak.” Nenek memperlihatkan ujung kanvas.

“A-S-H-L-E-Y,“ eja Alisiya.

Nenek tersenyum lembut, menyeka air mata.

“Terima kasih banyak, Nak, kalian berdua memang cucu yang sangat hebat.“ (*)

 

Marissa Saud, mahasiswi perbankan yang senang memadukan tulisannya di atas sketsa.

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply