Paket
Oleh : Syifa Aimbine
Kupaksa kakiku yang berjalan untuk terus terangkat, menapak jalan berbatu di malam yang kelam pekat. Nyaring suara sirene petugas makin terasa dekat, membuat jantungku hendak berlari duluan memotong langkahku yang kian melambat.
Sial! Mobil itu sudah terlihat, aku harus segera keluar dari jalur ini. Kulompati parit berukuran satu depa, kekalutan mungkin saja bisa mengubahku tiba-tiba menjadi atlet lompat tinggi. Tentu saja tak seperti mereka yang tampil di televisi, kakiku gagal berdiri. Tubuhku yang mulai lelah kini terjerembab, meringkuk di atas basah. Aku rasa pinggang dan rusukku patah. Nyerinya membuatku ingin tetap rebah.
Tidak, aku tidak boleh berhenti di sini menunggu tertangkap. Aku tidak bersalah, mana boleh mereka menangkap orang yang tak bersalah. Namun, aku tentu sangat hafal gelagat mereka. Jika aku menyerahkan diri–meski tidak bersalah–timah panas itu akan bersarang satu butir di betisku. Paling ringan: bogem mentah merontokkan gigiku. Tidak, itu tentu saja tidak boleh terjadi.
Semua sebab paket sialan itu. Bodohnya aku tidak memeriksanya lebih dulu. Kalau kutahu isinya barang haram, sudah kubuang saja semuanya ke Sungai Duku.
Dulu kerjaku jauh lebih aman meski upah hanya cukup sampai tengah bulan. Kadang kemiskinan dan kebodohan bisa datang bersamaan. Sepatutnya tidak kugoda istri bosku hari itu, tentu saat ini aku masih bekerja di gudang milik pria bermata sipit itu. Meski ia selalu meneriakiku, atau memukulku dengan tangkai sapu.
Siapa sangka dia punya istri yang bodinya aduhai. Sedikit jalan berlenggok dengan rambut terurai. Mataku langsung ikut terbuai, jantungku memacu tanpa tahu mata pencaharianku akan tergadai. Dengan lancang kusapa itu si Cici, eh suaminya langsung semak hati.
Menganggur ternyata tak lebih baik dari pada menerima sejuta makian dan pukulan. Meski belum ada tanggungan, perutku kadang lebih cerewet dari pada istri yang minta jatah bulanan. Sudah tahu uang sisa gaji bulan lalu tinggal lembaran, dia minta pula makanan mewah serupa orang kempunan.
Mau tak mau akhirnya kuterima tawaran Saipul, kuli bangunan di ujung jalan. Aku memang menghampirinya waktu itu. Barangkali ada kerja yang bisa membuatku bisa makan sesuatu. Setakat mengaduk semen, mengangkat batu, atau memanjat plafon, bukan hal yang sulit bagiku. Apalagi jika bisa membuatku bisa sekadar menikmati kemewahan sebatang rokok menemani kopiku. Akan tetapi, si kerempeng itu malah menawariku kerja lain, bayarannya katanya akan mengubah nasibku.
“Jangankan untuk makan kau sehari, untuk melamar anak gadis orang pun cukup duitnya. Sudahlah, ikut saja,” ajaknya.
Tentu saja aku ragu, mana ada orang mau kasih uang banyak dengan kerja enak. Memangnya perusahaan punya bapakku? Ah, bapakku pun takkan mau memberi anaknya uang banyak. Pasti ada yang tidak beres dengan pekerjaannya. Kalau bukan pekerjaan yang mengancam nyawa, pastilah yang mengancam jiwa. Semua pasti sesuai harga, bukan?
Lama aku memikirkan omongan Saipul. Namun, makin aku memikirkan, makin teriak pula perutku, makin beringas pula pemilik kontrakanku.
“Kalau tak lekas kau bayar, Man, terpaksa kau harus berambus dari kamar ini!” ancam Wak Haji, pemilik dua puluh petakan dan lima ruko di depan jalan.
Ah, entahlah. Mungkin tak ada salahnya mencoba saran si Saipul. Toh pekerjaanku halal, sebagai pengantar paket. Soal barang yang kubawa halal apa tidak, itu urusan si pemakai. Aku hanya kurir, begitu kurang lebih penjelasan Saipul. Katanya aku pun bakal diberi seragam, kendaraan, ada pula asuransi kesehatannya. Kalau sudah begini, macam mana pula aku menolak. Sombong sekali pula rasanya.
Singkat cerita, kuterima tawaran Saipul. Hari itu aku pun ikut dengannya ke kantor ekspedisi yang ia maksud. Kantor itu lebih mirip gudang, banyak barang-barang berlapis karung plastik menumpuk di setiap sudut ruang.
Aku bertemu dengan bosnya, lagi-lagi bermata sipit. Ah, tak mengapa, setidaknya aku yakin istrinya tidak lagi cantik, mengingat uban putih yang sudah menutupi hampir seluruh kepalanya. Ia langsung menyalamiku dengan semringah. Gigi emas dua biji yang tersembul makin meyakinkanku kalau pekerjaan ini memang menjanjikan masa depan yang bersinar. Silau seperti kedua gigi emasnya itu.
Pekerjaanku sederhana, menjemput barang di pelabuhan, dan membawanya ke gudang. Nanti setelah transaksi online terjadi, aku akan mengantarkannya pula ke alamat si pemesan. Mudah bukan? Anggap saja aku menjadi tukang ojek, tapi ini ojek barang.
Upahku dibayar perhari. Tentu saja aku girang bukan kepalang. Perutku yang manja bisa terpuaskan. Makin lama ia seperti biniku yang makin padat berisi. Sudah lupa cara merawat diri karena merasa sudah tak perlu tebar pesona lagi. Ah, berat badanku naik lagi. Saipul yang kutemui ikut terkejut melihat bodiku yang dibilangnya makin berisi.
Namun, sepertinya nasib baik tak menetap dan setia layaknya para istri. Ia pergi saat aku mulai merasa bergantung dan adiksi. Suatu hari akhirnya aku tahu kalau barang yang kuantar jemput bak pacar itu ternyata barang bebas pajak, alias selundupan, alias barang gelap. Isinya macam-macam, kebanyakan adalah ponsel pintar berlogo apel tergigit yang dari bunyinya saja orang tahu kalau itu mahal. Dari gudangku mereka bisa dapat setengah harga, tentu saja banyak pedagang yang menjadikannya modal usaha.
Suatu hari, gudangku disidak pria-pria berseragam coklat dan bersenjata. Sial lagi, bosku sudah lebih dulu lari meninggalkan kami, mungkin salah seorang petugas memberinya bocoran misi. Karyawan yang tidak tahu menahu sepertiku tentu saja jadi tumbal. Polisi segera menyisir gudang, dan membariskan kami di pintu belakang.
Otakku menjadi liar, perutku yang manja pun lapar. Seharusnya tidak kutunda makan siangku seperti biasa. Ternyata firasat perutku ada benarnya, sedikit lagi aku akan meringkuk di balik penjara. Ini tidak bisa aku terima.
Begitu mereka lengah, segera aku keluar gudang dan menghilang. Aku berlari sekencang-kencangnya. Entah berapa lama, yang pasti aku terus saja berlari.
Dan di sinilah aku, di tempat gelap dan berbau busuk. Seragam merahku kini sudah berselimut lumpur. Biarkan, aku sudah tidak bangga lagi memakainya. Karena seragam ini kini aku harus bersembunyi di bawah jerami, dekat kandang sapi.
Entah siapa pemiliknya, yang jelas semua bau mereka sama. Bau kotoran yang membuat perut manjaku bergejolak, ingin mengeluarkan sisa asam lambung yang membuat tenggorokanku perih terkoyak.
Untung saja para polisi itu tak menyusulku sampai ke sini. Aku ketiduran sampai pagi, lalu terbangun saat ekor sapi yang busuk memukul wajahku. Aku terpaksa bangun. Para sapi itu sedang makan, sarapan mereka terlihat lezat, campuran serkam lengkap dengan telur dan madu. Ah, bagaimana bisa aku sedetail itu. Tentu saja karena aku sedang mengintip orang yang meramu semua itu.
Seorang wanita berkulit bak porselen putih dan mulus. Saat ia menoleh barulah aku tahu kalau aku mengenali wajah itu. Wajah yang pernah membuat naluri kelaki-lakianku meronta, seiring ketika ia menyibak rambut panjangnya.
“Cici, apa kabarmu?” (*)
Depok, 14 November 2021
Syifa Aimbine, bukan wanita introvert, terlalu sunyi untuk menjadi extrovert, tak tepat pula mengaku sebagai ambivert. Mungkin ia hanya budak mood sejati.
Editor : Nuke Soeprijono
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata