Pak Tua di Halte Bus Pagi Ini
Oleh: Erien
Pagi ini, di halte bus tempat aku biasa menunggu jemputan menuju kantor, seorang bapak bertanya dengan sopan setelah mengucapkan salam.
“Nak, apa kau melihat wajah Bapak?”
Aku menatapnya heran. Tentu saja aku melihat wajahnya. Aku punya mata yang sehat. Bahkan aku bisa melihat Avanza hitam di ujung jalan sana yang spionnya hanya tinggal satu di sebelah kanan. Juga stiker bergambar matahari di badan Mercedes putih yang baru saja lewat.
Aku perhatikan bapak tua itu. Ia mengenakan flatcap hitam, tetapi tidak bisa menutupi uban di bagian belakang kepalanya. Alisnya tak rapi dengan beberapa helai yang sudah memutih. Dahinya penuh dengan kerutan, seperti sudut matanya. Legam bola mata itu seolah-olah menimbun banyak cerita. Hidungnya mancung. Bibirnya sedikit menghitam, mungkin kebanyakan merokok di masa muda. Janggutnya dipenuhi titik-titik putih bekas cambang yang dicukur dan mulai tumbuh.
Pak Tua itu kembali bertanya dengan suara lebih keras. “Nak, apa kau melihat wajahku?” Kali ini ia menyentuh lenganku. Mungkin ia mengira suaranya kurang keras dan aku tidak mendengar.
Aku mengangguk sambil tersenyum. “Iya, Pak. Saya lihat.” Aku menjawab sesopan mungkin.
Pak Tua yang mengenakan jaket biru dongker dan celana kain warna hitam itu memperhatikan wajahku dengan serius. Kepalanya sampai miring ke kanan dan ke kiri.
“Kamu benar-benar bisa melihat wajahku, Nak?”
Meski heran, aku mengangguk lagi. “Kenapa, Pak?”
Bukannya menjawab, Pak Tua itu malah menatapku lekat. Kubalas dengan mata penuh tanya. Bola mata itu mengejutkan. Bukan karena hitam arang, tetapi aku serasa terjun ke dalam dunia dengan banyak kata tanpa tahu rangkaian kata itu membentuk cerita apa. Rasanya … hampa.
“Bapak kehilangan wajah.”
Ucapannya membuat dahiku berkerut. Ah, pagi-pagi aku sudah disuguhi pertanyaan dari seorang lelaki tua yang kehilangan wajahnya. Tanpa sadar aku mengusap wajahku sendiri.Sebentar lagi bus datang, dan aku harus pergi.
Sejujurnya saat ini aku sedang malas meladeni percakapan dengan siapa pun. Mood-ku anjlok sejak pagi. Tadi pagi aku terlambat bangun. Ponsel yang lupa kuisi baterainya mati dan harus kubawa dengan kondisi tercolok pada powerbank di dalam ransel. Perutku lapar karena semalam tidak sempat makan dan pagi ini belum sarapan. Tubuhku pegal semua. Aku bahkan lupa kapan terakhir bangun dengan segar.
Kulirik wajah Pak Tua itu. Ia menunduk, memandangi sandal hitam yang melindungi kakinya.
“Kamu pernah kehilangan wajah?” Ia mengangkat wajah dan bertanya.
Aku menggeleng. Maksud Pak Tua ini apa, sih? Pertanyaannya membuat mood-ku semakin buruk. Tanpa sadar aku mendengkus.
“Kamu tahu rasanya kehilangan wajah?”
“Tidak, Pak. Dan saya tidak berharap akan kehilangan wajah saya.” Tanpa sadar nada suaraku meninggi.
“Saya juga tidak pernah berharap kehilangan wajah.” Wajah yang kata pemiliknya hilang itu tiba-tiba digelayuti mendung. Ia melangkah pergi menjauhiku, seolah-olah sadar bahwa pertanyaannya menggangguku.
“Sabar, Mas.” Suara ibu penjual asongan membuatku yang sedang memandangi punggung Pak Tua itu terkejut. ” Dia selalu ke halte ini siang hari. Hari ini tumben dia datang pagi.”
Aku tersenyum kecut pada si ibu.
“Maaf, Bu. Apa bapak itu gila?”
Si ibu menggeleng. “Tidak.”
“Lalu kenapa dia tanya apa saya melihat wajahnya?”
Dari mulut perempuan itu, aku mendengar kisah yang tersembunyi di balik legam mata Pak Tua tadi. Lelaki itu selalu bertanya apakah orang melihat wajahnya. Semua orang di halte pernah merasakan ditanyai seperti aku tadi. Sebagian besar menghindar karena beranggapan Pak Tua itu gila. Sebagian lagi yang sudah tahu kisahnya, hanya memandang kasihan dan menjawab seperti jawabanku tadi.
Sepuluh tahun lalu, di halte ini, Pak Tua itu ditinggalkan oleh istri dan anak gadisnya. Bukan hanya ditinggalkan, ia dihadiahi kalimat pedas yang membuatnya sempat bisu untuk sementara. Cacatnya diungkap: tentang uang yang tidak pernah cukup, tentang “barangnya” yang kecil dan tidak bisa memuaskan si istri, tentang hasil pemeriksaan dokter yang mengatakan kalau ia mandul, juga tentang anak perempuan yang ternyata adalah anak hasil selingkuhan istri dan sahabatnya.
Halte dan orang-orang yang sedang ramai berkerumun sepulang kerja menjadi saksi saat Pak Tua itu berdiri, terdiam memandangi istri dan anaknya yang menaiki bus. Ia pulang menjelang malam saat halte sudah sepi dengan bahu menurun.
Aku termangu mendengar cerita tentang Pak Tua. Pantas saja ia mencari wajahnya. (*)
Kotabaru, 15 November 2021
Erien. Pencari ilmu tanpa jemu. Menulis mengasah hati agar terus berempati.
Editor: Imas Hanifah N
Gambar: Pixabay
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/me.jadi penulis tetap di Loker Kata