Pak Sa

Pak Sa

Pak Sa
Oleh : Ning Kurniati

Malingka sedang memasukkan tanah ke dalam bekas pembungkus terigu yang sebagiannya dipungut dari belakang rumah tetangganya–Milna–ketika Pak Sa melintas untuk sekadar melihat-lihat.

Sudah seminggu Pak Sa tidak melakukan kebiasaan rutinnya dan karena itu ia merasa bersalah, tidak pada siapa pun, tapi pada dirinya sendiri. Ia sudah melanggar kewajiban yang ditetapkannya sejak seorang tukang kayu—begitu yang dibacanya di surat kabar dan yang dikatakan orang-orang—berhasil menjadi pemimpin negaranya dan sebelum semua itu terjadi, ia sudah melihat pria itu wara-wiri di televisi dan suka mengunjungi rakyat sebagai wali kota. Pendeknya, beberapa kalangan menyebutnya merakyat dan lelaki sebagai ketua rukun tetangga itu meniru. Barangkali suatu hari ia beruntung melebihi lelaki itu, pikirnya.

“Sedang apa kau, Nak?”

“Pak Sa tidak lihat ya, saya sedang memasukkan tanah ke bekas pembungkus terigu ini.”

“Oh, hehehhe.” Lelaki itu terkekeh-kekeh. “Maksud saya, Nak, mau kau apakan tanah itu?”

“Ooh, mau saya tanami, Pak,” Malingka menjawab sambil tersenyum.

“Mau tanam apa kamu?” Milna yang berjalan dari warung milik istri Pak Sa ikut-ikutan ke dalam obrolan Malingka dan Pak Sa.

“Mau saya tanami lombok atau mungkin tomat, Bi Mil.”

“Kamu itu kok, mau susah-susah sih, nanam begitu. Kan di pasar ada. Tinggal beli, sudah. Ayah-ibumu enggak kere kayak Bibi ini.”

“Enggak susah ini, Bi Mil.”

Dijawab begitu, Milna bingung mau bereaksi apa. Ia tidak bisa mencerna pikiran Malingka. Sebab tidak mengerti, ia kemudian berlalu begitu saja.

“Ada yang mau diomongin, Pak?”

“Oh, itu bibit untuk lombok sama tomatnya beli di mana, Nak? Harganya berapa?”

“Enggak tahu harganya, Pak.” Malingka tersipu. “Yang tahu harganya ibu saya, Pak. Mau saya tanyakah harganya?”

“Tidak usah, Nak. Cuma di bagian mananya pasar, ya? Selama ini Bapak enggak pernah lihat, tuh.”

Malingka terperanjat. “Ya di penjual sayur, Pak.”

“Loh, Bapak baru tahu kalau penjual sayur juga ngejual bibit?”

“Owalah, penjual sayur memang enggak ngejual bibit, Pak. Saya yang membibit, sebelum tomatnya disambal, saya keluarin bijinya lalu tanam di pot-pot ini juga.”

“Terus, itu bisa tumbuh?”

“Bisa, dong.”

***

Setelah bincang-bincang dengan Malingka, Pak Sa kemudian melanjutkan inspeksinya ke seluruh rumah. Jadwalnya yang biasanya cuma menanyakan kesehatan warga dan kebutuhan mereka sudah tercukupi atau tidak, kali ini ia tambahi dengan mencermati halaman-halaman. Ada yang penuh dengan bunga dan tanaman hias, sampai berdiri di sana ia merasa sejuk. Ada juga untuk sekadar bertahan, setelah mengamati sebentar ia hendak pergi—sebab tidak ada yang bisa dilihat, rumah itu benar-benar melompong. Dan golongan terakhir yang membuatnya bingung, rumah yang sekadar ada tanamannya, ia labeli “sekadar” sebab jumlah tanaman rata-rata berkisar 3-7, itu pun dengan kondisi tanaman seperti hidup tak mau, mati pun enggan—layu.

Pak Sa pulang terlambat hari itu akibatnya, tetapi penuh kesenangan karena memiliki ide cemerlang dalam menghadapi “kenormalan baru”. Ia berpikir untuk menyampaikan hal itu kepada kepala desanya yang masih muda—yang menurutya lebih pantas ia panggil “Nak” ketimbang “Pak”, dan dengan itu ia berharap semoga hati anak muda itu tersentuh dan barangkali mau memosisikannya sebagai kepala dusun. Kalau anak itu sudah condong, pasti yang lain akan mengikuti, begitu pikirnya sebelum ia sampai di rumahnya dan menyadari kalau ternyata halaman rumahnya juga melompong. Ia menggaruk kepala yang tidak gatal, kemudian menarik napas dalam-dalam.

Berikutnya, Pak Sa mengetuk pintu dan memberi salam. Dari dalam istrinya menjawab tanpa keluar menyambut seperti biasa dan itu berlainan sekali dengan harapannya kali ini yang ingin disambut dan ditanyai macam-macam. Tetapi ya sudah, itu tidak mungkin terjadi sebab suatu ketika mereka masih pengantin baru dan istrinya menanyainya ini-itu, ia kemudian marah karena merasa tak dihargai, merasa istrinya tidak mampu membaca keadaannya yang sudah lelah bepergian, dan hari itu pula istrinya berjanji itu pertama dan terakhir kalinya ia melakukannya. Jadi, hari ini ia memutuskan berinisiatif, ia akan memancing atau paling praktis ia akan segera menyemburkan idenya itu.

Sebagai basa-basi, laki-laki yang selalu berpeci itu kemudian menanyai istrinya sambil masuk mencari. Dan ia menemukan perempuan itu—yang baginya dan juga menurut orang-orang sudah gembrot, tetapi tidak mengapa—di meja makan sambil melalap mentimun, kol, dan ayam dengan sambal. Tergiur entah sebab lapar atau karena istrinya yang terlihat begitu menikmati, Pak Sa segera menarik kursi dan tak disangka istrinya tiba-tiba menginterupsi.

“Cuci tangan dulu, dari luar, ‘kan!” Sejak itu Pak Sa sudah lupa dengan idenya.

***

Berhari-hari setelah kejadian itu, Malingka bertamu ke rumahnya di sore hari yang hujan. Tak menduga akan didatangi oleh seorang anak gadis, Pak Sa terheran-heran sekaligus takut. Di balik rambutnya yang beruban dipenuhi kata “jangan-jangan” dan jantungnya berdentam kian cepat. Dalam beberapa detik itu, entah berapa kali ia menelan ludah dan menghirup napas lebih banyak. Ia berpikir, jika keadaan begini terus dirinya bisa didatangi Israil lebih cepat.

“Ada apa ya, Nak?” tanyanya ketika Malingka sudah duduk dan sudah mengudap dua kue lapis, sebab itu kue kesukaannya.

Sebelum menjawab pertanyaan itu, Malingka menyeruput terlebih dahulu teh kemasan yang disediakan Pak Sa, hampir hanya menyisakan plastiknya. Dan itu bukannya membuat Pak Sa lebih tenang, tetapi makin membuatnya takut bukan kepalang. Masalah besar yang baru datang lagi.

“Sudah berapa bulan ya, Nak?”

“Apanya, Pak … ooh, kayaknya belum cukup dua bulan deh, Pak. Aku tidak hitung bulan atau harinya.”

“Ooh, itu sedikit lebih bagus, mes—“

“Maksudnya sedikit lebih bagus?”

“Iya, paling tidak hanya beberapa orang yang tahu.”

“Kayaknya semua orang sudah tahu, Pak.”

“Apa? Siapa yang memberi tahu?”

“Ya, semuanya melihat, saya enggak nyembunyiin, Pak.”

“Allahu Akbar, astagfirullah, innalillah, Nak ….”

“Bapak kenapa, ada apa?”

Pak Sa tidak menjawab, ia juga mengambil teh kemasan yang ada di meja dan menyeruputnya hampir habis—melebihi yang dilakukan Malingka, sedikit lebih di bawah. Setelahnya, ia berkata, “Bagaimana bisa semua orang lihat, di mana—”

“Di loteng, orang bisa lihat dari bawah, Pak. Sudah lumayan besar.”

“Besar?”

“Iya, tomat sama lomboknya sudah besar.” Mendengar itu Pak Sa jadi lega. “Saya pikir supaya subur mau minta tahi kambing, Pak.” Malingka mengucapkannya dengan pelan dan terpotong-potong. Tidak pernah ia berpikir akan sepanjang ini obrolan mereka hanya untuk meminta tahi kambing,

Mendapati kenyataan itu, Pak Sa terdiam beberapa lamanya, sambil tak lupa komat-kamit mengucap syukur. “Ooh, jadi itu buat tomat sama lombok yang waktu itu?”

“Iya, Pak.”

“Bapak mikir kamu lagi hamil. Bapak takut sekali. Kamu tahu ‘kan baru-baru ini lingkungan kita ada kasus. Dan, ngurus itu bikin repot sekali, tapi malunya lebih-lebih lagi.”

Mendengar itu Malingka cuma bisa tersenyum tanpa menanggapi lebih lanjut. Ia miris, tapi tak mau mengungkapkan sebab ia tidak memahami betul segalanya tentang orang yang dimaksud Pak Sa. Perbuatan perempuan itu tentu salah, tapi ia tidak mau menghakiminya meski hanya dengan membicarakan baik-buruknya—tentu akan berbeda versi menurutnya dengan orang lain. Bagi Malingka, ini bagian merawat lingkungan.

Pak Sa mengambil sendiri tahi kambing itu, tetapi kemudian ia teringat dengan ide cemerlangnya yang berhari-hari ia lupakan. Maka itu ia kemudian meminta Malingka mengambil sendiri—tanpa memikirkan bahwa anak gadis itu bisa saja takut berdiri apalagi berjongkok di antara kambing-kambing. Ia buru-buru pamit dan langsung menuju rumah kepala desa muda. Pintu diketuk berentetan seperti ada yang gawat dan ia masuk dengan tergesa-gesa ketika orang yang ingin dikungjungi menjawab, anehnya diikuti suara perempuan yang ia kenal. Sungguh kaget Pak Sa ketika melihat istrinya dan Milna sudah ada di dalam. Lantas ketika ia bertanya, kenapa mereka ada di sana? Milna menjawab, ia menyampaikan ide cemerlang yang baik dan mungkin berguna untuk memasuki hidup “kenormalan baru”.  Mendengar itu Pak Sa tergeragap dan selanjutnya diam mendengarkan pembicaraan.(*)

12 Juni 2020

Ning Kurniati, Penulis Pemula.

Editor : Lily

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply