Pak Pincang
Oleh: Erien
Teriakan lantang dengan seruan kata yang sama, terdengar mendekati rumah Lastri. Perempuan yang sedang menyapu teras itu mendongak. Ia memang menunggu datangnya teriakan itu. Dibukanya pintu gerbang, lalu bergegas keluar. Dari arah kanan rumahnya, di ujung gang sana, terlihat sosok yang ditunggunya seminggu ini. Pak Pincang, begitu anak-anak komplek memanggil lelaki itu.
“Otak-otak!”
Pelafalan lelaki itu tidak sempurna dan membuat kening Lastri berkerut saat pertama mendengar ia menawarkan dagangannya. Kata otak-otak lebih terdengar seperti otak kotor, karena Pak Pincang menggabungkan dua kata itu secara cepat.
Waktu itu Lastri melongok dari atas gerbang karena rasa penasaran. Ia menajamkan telinga ketika seorang lelaki dengan langkah pincang dan kresek hitam besar tersampir di pundak, melintasi jalanan depan rumah. Saat itulah ia tahu bahwa yang ditawarkan lelaki itu adalah otak-otak, sejenis jajanan berbahan dasar ikan dan tepung kanji. Setelah tahu bahwa yang diteriakkan adalah otak-otak, Lastri dan Masno, suaminya, sering kali saling berpandangan dan tertawa ketika mendengar Pak Pincang lewat.
Kesan pertama Lastri pada penjual itu adalah jorok. Dagangan makanan diletakkan dalam kresek hitam membuatnya sudah mem-blacklist dari sejak pertama tahu. Kresek hitam bukan untuk makanan.
Kesan kedua adalah kasihan. Dari pertama hingga saat ini, hanya dua kali Lastri melihat si bapak dihentikan dua bocah lelaki. Dagangannya hanya laku dua kali di gang Lastri. Entah kalau di gang lain.
Lastri ada di depan rumah saat dua kali Pak Pincang berhenti. Dari anak-anak pula ia tahu panggilan lelaki tua itu. Meski seperti mengolok-olok kaki Pak Pincang yang pendek sebelah, nyatanya lelaki itu tidak tersinggung.
Kesan jorok menghilang ketika Lastri melihat di balik kresek hitam yang besar itu ternyata ada baskom tertutup berisi otak-otak yang sudah digoreng dan dipotong-potong. Ada pula beberapa botol plastik berisi saus kacang, saus sambal, dan kecap.
Merasa bersalah karena prasangka buruknya, suatu hari, Lastri memanggil Pak Pincang untuk membeli dagangannya. Lelaki itu mengangguk tanpa senyum. Ia menurunkan kresek sembari bertanya seberapa banyak yang Lastri akan beli. Lastri menyorongkan lima ribuan. “Semua, Pak.”
Dengan cekatan, Pak Pincang mengambil potongan otak-otak dari baskom dan memindahkannya ke plastik. Sesuai permintaan Lastri, hanya sedikit kecap yang dituangkan ke plastik itu.
Lastri yang semula ingin berbincang, mengurungkan niatnya. Pak Pincang tidak tersenyum. Wajahnya datar. Tubuh kurusnya mengeluarkan bau keringat, membuat Lastri menjaga jarak. Transaksi berlangsung cepat tanpa bisa dicegah.
Hela napas panjang tidak membuat dada Lastri lepas dari rasa bersalah. Ia memandangi Pak Pincang yang perlahan pergi. Sambil menusuk sepotong otak-otak dengan sebatang bambu yang diberikan lalu memasukkannya ke mulut, Lastri berpikir. Apa yang bisa ia bantu.
Kunyahannya berhenti, lalu dilepehkan otak-otak yang sudah setengah hancur di mulutnya. “Nggak enak.”
***
“Mas, boleh nggak aku beli roda yang buat ngangkut galon kayak punya warung Engkoh?”
Pertanyaan Lastri sore itu membuat Masno mengernyit. “Untuk apa?” Tentu saja pertanyaan itu muncul karena roda dengan besi seperti troli pada koper itu tidak lazim dimiliki. Hanya warung kelontong atau toko besar yang menyediakan untuk mengangkut galon atau tabung gas.
“Mas tahu Pak Pincang, kan? Lastri pengen ngasih buat dia. Biar dagangannya bisa ditaruh di boks, terus ditarik atau didorong pakai roda itu. Kasian lihatnya kalau dipanggul begitu. Mana dagangannya sepi banget.” Mata Lastri menerawang, seperti membayangkan Pak Pincang lewat di depan rumah.
“Kenapa bukan gerobak dorong kayak tukang jualan itu?”
“Mahal, Sayangku.” Lastri mencubit pipi suaminya. “Kalau roda itu insyaallah terjangkau.”
“Tanya dulu aja. Siapa tahu malah bikin susah.”
Lastri terdiam. Dalam hati ia membenarkan ucapan Masno. “Iya, sih. Tadinya Lastri mau nanya waktu beli dagangannya, cuma wajahnya datar gitu. Nggak ada senyum-senyumnya. Tapi, Mas, pasti mau kayaknya. Kasian dia manggul kresek gitu. Kalo ada roda kan bisa ditaruh boks. Ntar di dalamnya buat otak-otak, saus-sausnya, bisa nambah dagangan juga.” Lastri ngeyel.
Masno tertawa. Ia mengacak lembut rambut Lastri. “Jangan ambil kesimpulan gitu. Kalau mau ngasih itu yang tepat sasaran.”
Lastri manyun mendengar perkataan Masno. Ia berpikir suaminya tidak asik, diajak berbuat baik malah menolak.
“Pernah kepikiran, nggak, jangan-jangan dia itu intel.” Masno mendekat dan berbisik di telinga Lastri.
Perempuan itu terkesiap. Ia menoleh pada suaminya dengan pandangan tidak percaya. “Kok kepikiran begitu?”
Masno tersenyum kucing dan sepertinya Lastri tidak menyadari. Ia membeberkan fakta bahwa bagaimana mungkin Pak Pincang tetap berjualan meski sepi pembeli? Laki-laki itu juga tidak ramah dan cenderung bermuka datar saat melayani pembeli. Jauh berbeda dengan penjual pada umumnya. Pak Pincang seolah-olah tidak membutuhkan pembeli dan uangnya. Di akhir penuturan, Masno memandang Lastri dengan serius. “Jadi … apa alasan yang paling masuk akal selain bahwa dia itu intel?”
Lastri yang termangu mendengar penjelasan suaminya, mulai ragu. “Tapi dia pincang, Mas.”
“Emang intel harus orang yang perawakan tinggi, besar, dan berotot? Ketauan, dong.” Masno membuat otak Lastri berkelana pada berbagai kemungkinan dalam diam.
Hari-hari berikutnya, Lastri semakin rajin mengamati Pak Pincang. Ia memperhatikan baju dan celana yang dipakai lelaki tua itu. Terkadang Pak Pincang memakai kemeja putih atau cokelat yang sudah lusuh, kaus putih berkerah yang kusut, atau kaus bergambar logo partai sisa pemilu tahun lalu. Celananya hanya dua warna, hitam dan cokelat tua. Tidak ada yang istimewa.
Perhatian Lastri beralih pada cara Pak Pincang berjalan. Dari pengamatan selama tiga hari, cara berjalan Pak Pincang sama. Kakinya memang pendek sebelah. Apa benar lelaki itu intel?
Titik perhatian berpindah pada kresek hitam besar yang dibawa Pak Pincang. Kebetulan, hari ini anak tetangga menghentikan lelaki tua itu. Lastri bergegas keluar dan mendekat. Sambil berpura-pura melihat-lihat dagangannya, Lastri membuka kresek lebih lebar.
Pak Pincang terlihat tidak peduli. Lelaki itu asik memasukkan potongan otak-otak pada kantung plastik. Lastri menyodorkan lima ribu agar Pak Pincang kembali sibuk, sementara ia masih membongkar kresek dengan cara sehalus mungkin agar tidak kentara. Ia menanyakan isi satu per satu botol saus sambil mengeluarkan botol-botol itu. Sang penjual menjawab datar.
Tinggal baskom berisi otak-otak di dalam kresek hitam itu. Tidak ada benda lain yang mencurigakan. Pistol atau apalah. Lastri mengembalikan botol-botol saus ke dalam plastik hitam itu. Saat itu Lastri merasa pengamatannya semakin tidak masuk akal.
Setelah Pak Pincang berlalu ia memberikan seplastik otak-otak pada bocah yang masih mengunyah sambil duduk di dekat pot, lalu masuk ke dalam rumah.
Lastri duduk di teras. Ia merasa tak bersemangat. Padahal, sewaktu ide membeli roda dorong untuk Pak Pincang ada di benaknya, ia bersemangat menunggu lelaki itu lewat, sambil mendoakan semua kebaikan untuk Pak Pincang, lalu membayangkan betapa senang lelaki itu jika ia jadi memberikan roda dorong. Namun, pernyataan suaminya mematahkan semangat dan imajinasinya. Kini ia justru fokus pada pembuktian apa benar Pak Pincang seorang intelejen atau bukan.
Masno yang baru saja pulang kerja, heran melihat Lastri duduk termenung di teras seperti memikirkan sesuatu. Diusap lembut bahu istrinya, membuat Lastri menoleh tak bersemangat. “Kenapa?” Masno duduk di sebelah Lastri setelah meletakkan tasnya di meja dekat kursi.
Tidak ada jawaban. Lastri hanya menggeleng.
“Pak Pincang?” Masno tahu ia menebak dengan tepat saat melihat Lastri menunduk sambil menghela napas.
“Masih pengen beliin roda?” Masno mencoba mengulik perasaan istrinya.
Lastri mengedikkan bahu. Ia tidak tahu harus menjawab apa.
“Kalau masih, besok kita belikan.” Perkataan Masno membuat Lastri menoleh cepat.
“Kata Mas, dia intel?”
Tawa kecil keluar dari mulut Masno. Ia berterus terang bahwa dugaan tentang intelejen itu hanyalah candaan. Pikirnya, Lastri tidak menanggapi dengan serius. Ia hanya ingin istrinya itu mencari tahu apa Pak Pincang benar-benar membutuhkan roda.
Lastri melotot kesal. Ia memukul manja bahu suaminya, mungkin karena merasa dipermainkan.
Masno memeluk tubuh istrinya dan berulang kali meminta maaf. Ia mengajak Lastri membeli roda dorong untuk Pak Pincang esok hari.
Sudah tiga hari Lastri menunggu kedatangan Pak Pincang. Namun, lelaki itu belum kelihatan. Padahal, roda dorong sudah ada di ruang tamu, siap untuk diserahkan. Lastri yang menggebu-gebu di hari pertama roda itu ada di rumah, menjadi lebih pasrah.
Kalau roda ini rejeki Pak Pincang, pasti ia akan lewat sini lagi, pikir Lastri.
Dua hari kemudian, perumahan tempat tinggal Lastri heboh. Pak Pincang ditemukan meninggal di rerimbunan hutan di depan perumahan, dengan luka tembak di dada kiri. Seorang anak lelaki yang pertama kali menemukannya, mengenali jasad lelaki itu. Tak lama, polisi datang dan menutupi semua informasi. Bahkan Pak RT tidak diperbolehkan melihat jasad Pak Pincang maupun masuk ke lokasi penemuan mayat.
Lastri menatap nanar suaminya yang masih bercerita tentang Pak Pincang. Pikirannya melayang. (*)
Kotabaru, 24052021
Erien. Menulis adalah waktu baginya untuk belajar bersabar. Sabar pada otak untuk berpikir, sabar pada jari untuk mengukir kata. Kenali lebih dekat di Facebook: Maurien Razsya.
Editor: Imas Hanifah N