Pahlawan Hati
Oleh: R Herlina Sari
Masih terngiang dalam benak, tentang seseorang yang senantiasa ada untukku. Ah, bukan hanya untukku seorang. Lebih tepatnya, untuk kami semua yang ada pada bangunan kecil nan ringkih ini. Seseorang yang teramat istimewa bagi kami, yang kini telah menutup mata untuk selamanya. Dia yang telah pergi, membawa sebagian mimpi dan juga sebagian hati.
Dialah Mbah Sarni. Bagaimana bisa aku melupakannya? Dulu, saat itu aku terlantar di emperan sebuah rumah makan, menanti sesuap nasi hasil belas kasihan dari sang pemilik kedai. Namun, hanya kosong yang aku dapati. Pemilik kedai enggan menoleh, bahkan seakan tak peduli.
“Ayo, Nduk. Ikut simbah,” katanya.
Aku ragu. Apakah masa ini masih ada orang baik yang tidak selalu mementingkan harta duniawi dan mau membantu sesama dengan ikhlas?
Melihatku terdiam, dengan gegas sepasang tangan keriput itu menggandeng dan mengajakku pulang ke rumahnya. Memberiku sesuap nasi pelepas lapar, juga secangkir teh pengobat dahaga.
Aku mengikuti langkah kakinya yang mulai terseok-seok. Punggung bungkuknya membawa sebuah keranjang yang isinya tak kutahu itu apa. Sepertinya berat, dibuktikan berkali-kali Simbah melepas penat dan mengembuskan napasnya yang berat. Sesekali beliau menyeka keringat yang mengucur deras di dagunya. Namun, tak sekalipun terdengar beliau mengeluh. Tak ada sepatah kata kesakitan terucap. Hanya ada senyum tersungging di bibirnya. Ikhlas.
“Berat, Mbah? Mau Nana bantu?” tanyaku.
“Wes, ndak usah. Jadi namamu Nana? Kamu ngapain duduk di kedai itu? Rumahmu di mana?” tanya simbah.
“Nana mau minta makan, Mbah. Nana ndak punya rumah. Nana tinggal sendirian di kota ini.” Aku menjelaskan sambil menitikkan air mata.
Terbayang rasa kehilangan keluarga yang selama ini mengayomi. Semenjak kehilangan kedua orang tua, aku diusir oleh Paman. Alasannya klise, hutang yang harus dibayarkan. Hingga akhirnya langkah kaki yang membawaku ke kota ini. Ingin memulai kehidupan baru, tapi apa yang terjadi? Siapa yang peduli dengan nasib anak remaja sepertiku. Alhasil, dengan sekuat tenaga mencari pekerjaan, tapi tak ada yang mau menerima. Aku menjadi gelandangan yang hanya mengharapkan belas kasihan orang.
Lima tahun yang lalu, pertemuan pertama kami di depan kedai Pak Romlah, menjadi sebuah titik balik kehidupanku. Kembali aku mendapatkan kasih sayang dari yang namanya keluarga. Mbah Sarni dengan segenap anak asuhnya menerima kehadiranku di sini. Walaupun kita harus berbagi tempat dan makanan yang tak seberapa. Namun, kebersamaan dan kebahagiaan kami tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Di sini, di sepetak rumah yang sederhana, aku menemukan kembali tawa yang pernah hilang. Mbah Sarni memang bukan seorang yang kaya harta, tapi beliau adalah seorang yang kaya hati. Terlalu banyak cinta tercurah untuk kami. Meskipun kami bukanlah anak kandungnya. Sebagian besar anak asuhnya adalah para anak terlantar dan bayi terbuang yang tak sengaja beliau temukan saat menjajakan dagangannya.
“Hidup itu harus sederhana, harta benda tak dibawa mati. Namun, kebahagiaan, amal, dan pahalalah yang bakal menemani.”
Wejangan demi wejangan dari Simbah terus teringat dan terpatri di hatiku.
Ada banyak impian beliau yang harus kami lanjutkan. Salah satunya menjadikan rumah singgah ini sebagai tempat yang nyaman bagi para anak gelandangan dan yatim piatu. Kini, impian itu tersemat di bahuku. Terlebih, sebagai yang paling tua, harus mampu menjadi pengayom bagi adik-adikku, lebih tepatnya adik angkat di rumah singgah ini.
Entah apa jadinya hidupku dahulu jika tak pernah bertemu dengan Mbah Sarni. Mungkin sekarang aku masih luntang-lantung tidak jelas di luaran sana. Atau mungkin aku sudah mati kelaparan? Atau berbuat tak benar; menjadi pencuri, misalnya.
Sungguh, aku sangat bersyukur dipertemukan dengan Mbah Sarni waktu itu. Belajar banyak hal tentang ilmu ikhlas, ilmu belas kasih, juga ilmu saling berbagi.
Aku mulai belajar membuat tempe di hari pertamaku menginjak rumah ini. Karena dari sanalah pendapatan Mbah Sarni diperoleh. Bersyukur hingga saat Mbah Sarni memejamkan mata, usaha ini tidak akan pernah ada matinya. Semoga lelahmu di masa lampau bisa menjadi bekal di akhiratmu, Mbah.
Terima kasih, Mbah Sarni, sudah menjadi pahlawan hati tanpa pernah menyakiti.
Sub, 011220
RHS, pencinta lumba-lumba dan senja.
Editor: Imas Hanifah N