Pagi yang Biasa di Perempatan Kota
Oleh: Devin Elysia Dhywinanda
5 Naskah Terbaik Lomba “Menulis cerpen berdasarkan setting ‘Pada Hari Kemerdekaan’”
Ini adalah pagi yang biasa: ia datang pukul 5.30 dari distributor koran di area Dharmahusada, memarkirkan sepeda kumbangnya di tempat pembuangan akhir sebelah barat, dan mulai menjajakan koran ke setiap pengendara yang melewati perempatan dengan penampilan yang juga biasa—rambut putih; tubuh kurus berbalut rompi biru; kaki panjang sebelah beralaskan sandal jepit putih-hijau yang hampir putus. Pukul 6.30 hingga 7.30 lagi-lagi menjadi waktu paling sibuk—motor dan mobil berimpit dan mengular hingga jarak lebih dari 200 meter; beberapa naik ke pinggir jalan yang tidak berlapis trotoar demi memangkas jarak dengan lampu lalu lintas. Bising klakson mengoyak udara setiap lampu lalu lintas berganti warna menjadi hijau, mendorongnya untuk secepat mungkin menepi, memperhatikan orang-orang yang berkejaran menuju sekolah, kantor, atau mungkin lapangan upacara.
Ah, lapangan upacara. Ia mengeja kata tersebut seraya memperhatikan papan iklan digital yang sejak awal Agustus menampilkan ucapan “Dirgahayu Indonesia ke-79: Merdeka Berpikir, Merdeka Membangun”. Ia teringat akan penjual bendera yang rutin mangkal sejak dengan ditampilkannya display tersebut, yang kemarin gulung tikar dan berpamitan dengannya wajah sedih. Besok sudah hari kemerdekaan, sih.
Ya, hari itu adalah hari kemerdekaan, hari kebebasan. Karena itu, orang-orang yang berlalu-lalang tampak mengenakan pakaian dan atribut untuk kegiatan upacara serta lomba tujuh belasan: setelan merah-putih, batik, seragam dinas, bahkan pakaian adat. Umbul-umbul merah-putih tampak menghiasi bagian depan dari rumah sakit serta rumah makan yang memagari perempatan tersebut. Beberapa baliho baru juga dipasang, menampilkan para pejabat daerah yang memberikan ucapan selamat atas 79 tahun kebebasan bangsa Indonesia. Tidak kurang, dari kabar yang ia dengar, jalanan sekitar Balai Kota juga ditutup sebab digunakan untuk pawai.
Ini adalah hari penuh sukacita, mestinya. Memikirkan hal ini, ia mendadak ingin merayakan hari yang hanya datang setahun sekali dengan minum secangkir kopi hangat sembari makan ote-ote, tetapi keinginan itu segera ia tepis sebab si pedagang—kawan baiknya juga, yang sudah dari 2015 ikut mangkal di tepi perempatan dengan becak kopinya—sedang libur, ikut lomba tujuh belasan. Pun, korannya baru laku 15 eksemplar per pukul 8.00 ini, sama seperti hari-hari sebelumnya, yang artinya ia baru mendapatkan laba sebesar Rp22.500,00.
Yah, hidup memang tidak selalu penuh sukacita.
Baginya yang telah berusia lebih dari 60 tahun, dunia telah berubah terlalu cepat, pun terlampau bising untuk diterima otaknya yang sebatas menerima ilmu dari sekolah dasar. Pekerjaan ini pun sebetulnya tidak semenjanjikan 10 tahun lalu, ketika media cetak digemari masyarakat. Namun, ia tidak punya pilihan lain; tidak ada yang mau mempekerjakan wanita tua dengan tubuh ringkih dan kaki yang pincang. Jadilah, ini menjadi satu-satunya cara yang ia tahu untuk bertahan hidup. Menjual koran mungkin tidak memberikan banyak, tapi itu sudah cukup untuk membeli nasi; untuk membayar listrik; untuk bertahan hidup. Ia tahu hari-hari keemasannya telah berlalu, tapi selama koran-koran itu masih di tangannya, ia merasa masih memiliki sedikit kendali atas hidupnya yang semakin menyusut.
Ia mengalihkan pandangan ke koran-koran yang ia peluk dengan tangan sedikit berkeringat, lantas membaca judul-judul besar di sana.
Gaji ASN Dipastikan Bakal Naik Bertahap.
Skandal Pencatutan NIK Warga Jakarta untuk Dukung Dharma-Kun di Pilkada.
Paskibraka 2024 Siap Mengukir Sejarah Baru di IKN.
Ia terkadang membaca koran-koran jualannya ketika sedang merasa bosan, meskipun seringnya berhenti pada bagian judul. Bagian narasi detail jarang ia baca. Bukannya apa-apa; kepalanya telah kepalang bising oleh kebutuhan, tagihan, pun utang, dan menambahkan informasi tentang masalah yang tidak dapat ia selesaikan hanya akan membuatnya tambah pening.
Dua orang mahasiswa profesi kedokteran—yang sepertinya baru selesai jaga IGD—lewat dan bercakap-cakap dengan suara nyaring.
“Emang, sih, senioritas di kalangan kita enggak main-main. Meskipun udah lebih baik daripada angkatan sebelumnya.”
“Itu kultur yang udah nggak bisa dinormalisasi; kultur yang mesti dihapus! Udah sekolahnya susah, keluar duit banyak, masih juga harus ngurusin orang lain. Kalau alasannya buat bentuk mentalitas, cara mainnya nggak gitu!”
“Tapi sepertinya ngubah kultur kayak gitu bukan hal yang mudah karena sifatnya udah struktural dan sebabnya pun multifaktorial.”
“Memang nggak mudah, tapi kalau bukan sekarang, bukan dari kita, kapan lagi?”
Saat itu, ia tengah duduk sembari menyandarkan kepala ke batang pohon Akasia. Ia memejamkan mata; mendengarkan jalanan yang riuh sebab lampu lalu lintas telah berubah warna menjadi hijau; mendengarkan isi kepalanya yang ricuh oleh kebutuhan pokok, tagihan-tagihan, utang-utang, pun penjualan koran yang tiap tahun selalu menurun. Ia memejamkan mata, mendaftar sekian pekerjaan serabutan yang sekiranya dapat ia lakukan untuk memenuhi semua itu, ketika telinganya secara aneh menangkap sebaris kalimat yang diucapkan salah satu mahasiswa profesi tersebut.
“Kita harus bergerak; kita harus kritis dan melek informasi, biar bisa bawa perubahan, minimal buat bidang kita sendiri!”
Kita harus bergerak; kita harus kritis dan melek informasi, biar bisa bawa perubahan, minimal buat bidang kita sendiri.
Suara klakson berangsur-angsur berhenti, menandakan lampu lalu lintas yang kembali berwarna merah. Sedang ia masih dalam posisi yang sama, enggan beranjak.
“Nyuwun sewu, badhe tumbas koran, Buk.”
Ia berjingkat ketika mendengar suara lembut tersebut, yang berasal dari pemuda tinggi kurus bermata bulan sabit. Meskipun hanya memberikan senyum tipis yang memperlihatkan sebagian gigi atasnya, kehadiran pemuda itu bak angin segar yang sedikit menyejukkan hatinya yang pengap oleh kepadatan hari kemerdekaan.
“Oh, nggih, mau yang mana?”
“Niki mawon. Tumbas 5 nggih.”
Itu adalah transaksi yang biasa: pemuda itu menyerahkan selembar uang lima puluh ribu, menerima lima eksemplar koran dan memasukkannya ke ransel hitam, kemudian beranjak setelah mengucapkan terima kasih, masih dengan gestur ramahnya. Ponsel pemuda itu yang masih menyala sekilas menunjukkan layar berita tentang bahaya gempa megathrust di Indonesia, tetapi ia tidak peduli. Korannya sudah berkurang 5 eksemplar, dan ia bertemu dengan orang baik hati hari ini. Itu yang penting.
Perempatan itu masih dipadati kendaraan, meskipun tidak serapat jam-jam sebelumnya. Dunia masih begitu sibuk dan bising, dengan ia yang seakan hilang dalam deru mesin dan suara klakson. Di berbagai tempat, bendera merah putih dikibarkan; “Indonesia Raya” dikumandangkan; berlembar narasi optimis tentang tujuan kemerdekaan disampaikan.
Ini, barangkali, masih menjadi pagi yang biasa di perempatan kota. Namun setidaknya, ia dapat sedikit tersenyum, sesekali mengeja “Dirgahayu Indonesia ke-79: Merdeka Berpikir, Merdeka Membangun” di papan iklan digital, sambil terus menjual koran-koran di tangannya agar dapat pulang lebih cepat—untuk hari ini.(*)
Surabaya, 23 Agustus 2024
Devin Elysia Dhywinanda adalah gadis INFP hasil hibridisasi dunia Wibu dan Koriya yang lahir di Ponorogo, 10 Agustus 2001.
Komentar juri, Freky:
Mengambil setting pada Hari Kemerdekaan, “Pagi yang Biasa di Perempatan Kota” seolah tengah mengingatkan kita, bahwa di sebuah pagi yang biasa—di mana kita juga dipusingkan oleh hal-hal yang biasa, sesungguhnya terdapat hal-hal “tidak biasa” yang harus segera mendapatkan perhatian. Berbagai persoalan viral disampaikan secara santai melalui keseharian sang tokoh utama yang memiliki masalah besarnya sendiri. Hal ini membuat saya sebagai pembaca, diajak berpikir tanpa merasa terpaksa. Bukankah karya yang bagus selalu begitu?