Pagi Itu Setahun yang Lalu

Pagi Itu Setahun yang Lalu

Pagi Itu Setahun yang Lalu

Karna Jayakarta Tarigan

Ia tertidur lelap selama beberapa hari ini dan kami dengan sabar terus menunggu dan berharap esok hari ia akan baik-baik saja. Lewat gambar-gambar yang diambil dari kamera pemantau ruangan isolasi yang dikirim oleh salah seorang petugas medis ke adik saya dan kemudian diteruskan ke ponsel kami, kami selalu mengetahui kondisi terakhir kesehatannya. Setiap detik. Setiap menit. Setiap Jam. Setiap waktu berharga yang mampu menyingkirkan kecemasan dan menumbuhkan harapan. Ia seperti seorang pangeran yang baru saja pulang dari pengembaraannya di suatu negeri yang jauh, menikmati tidurnya yang nyenyak.

Tujuh hari yang lalu ia masih bisa membalas satu per satu pesan WhatsApp yang dikirim oleh kami atau sanak saudara, atau teman-teman sekantornya, meski dengan balasan yang sedikit tersendat yang diikuti dengan gambar-gambar emoticon sedih. Dan tak sengaja pula saya sempat membaca status yang ia buat: Tolong jangan ganggu, saya ingin beristirahat.

Begitulah, waktu demi waktu bergulir dengan cepat dan kemudian percakapan-percakapan lewat balon kata-kata akhirnya berhenti mengalir ketika ia mengeluh mulai sesak napas dan kemudian dokter memutuskan tindakan yang harus diambil. Ia harus ditidaksadarkan supaya bisa dipasangi ventilator, itu yang saya lihat dalam grup WhatsApp keluarga. Lalu, hanya gerakan statis pada alat pengukur jantung dengan bunyinya yang ritmis dan teratur yang menandakan ia masih baik-baik saja.

Dan, ternyata semua tidak baik-baik saja. Adik perempuan saya, satu-satunya anggota keluarga yang diperbolehkan menunggu di ruang tunggu rumah sakit mengatakan sesuatu yang sangat mengejutkan, “Kami harus banyak-banyak berdoa kepada Tuhan. Dengan nilai saturasi yang begitu buruk, apa pun bisa terjadi kepadanya.” Ah, saya pikir adik perempuan saya terlalu berlebihan. Sang pangeran tidur masih muda dan ia sama sekali tidak memiliki penyakit bawaan. Lagipula, banyak cerita tentang orang-orang yang mampu bertahan dan melewati masa-masa kritis dan kembali sembuh. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Semua akan baik-baik saja, ia akan kembali lagi ke dalam kehidupan kami.

Tidak ada yang lebih menyedihkan dari situasi yang penuh keterbatasan ini, situasi yang tidak normal. Saya merasa serba salah. Ada yang hilang. Kebiasaan menjenguk orang sakit yang dahulu sering saya sepelekan justru sekarang menjadi satu hal paling berharga dan yang paling saya inginkan. Sesuatu yang entah kapan bisa dikembalikan. Kami cuma bisa menatap ia yang sedang terbaring lemah dan terkurung dalam sebuah kepompong dingin yang bernama ruang perawatan intensif. Saya, dua adik lelaki saya, dan dua adik perempuan saya, dan mungkin juga semua orang, terkurung dalam satu sekat kasatmata yang bernama protokol kesehatan. Sesuatu yang harus dipatuhi demi keselamatan bersama. Satu-satunya yang bisa kami lakukan satu sama lain adalah menyapa dan bersentuhan lewat layar gawai. Kami tidak lagi bisa mengungkapkan kegelisahan dari hati ke hati dan berbagi kesedihan lewat pelukan yang menguatkan. Ini cara baru yang harus kami terima dengan lapang dada. Entahlah, kemarin saya juga bilang kepada adik saya yang lainnya, saya merasa menjadi sebuah robot yang tidak memiliki jiwa dan ia mengiakan ucapan saya, ia juga merasakan kehampaan yang sama tapi ia tidak tahu harus berbuat apa. Yang saya tahu, sekarang hampir setiap hari saya bergumul dengan pikiran saya sendiri.

Pekerjaan yang paling melelahkan adalah menunggu datangnya keajaiban dan mengusir pikiran-pikiran buruk yang terus mengganggu benak saya. Saya merasa begitu lelah dan tidak berdaya. Kesedihan dan kecemasan bergumul menjadi satu dan menghasilkan satu hal yang paling mengerikan buat saya, yaitu keputusasaan. Saya betul-betul pesimis.

Dua jam yang lalu, secangkir kopi panas yang dibuatkan istri saya, nyaris saja berubah menjadi sebuah kolam renang besar untuk lalat-lalat yang rakus sebab saya biarkan begitu saja dan menjadi dingin.

“Hush!” istri saya mengibas-ngibaskan tangannya dan lalat-lalat itu pun terbang kocar-kacir.

“Saya adalah tipe manusia yang selalu optimis dalam segala hal, tapi mengapa kali ini saya begitu pesimis?” saya mengungkapkan kegelisahan saya ketika ia duduk di samping saya.

“Maksudmu, kamu menyerah dan mengikhlaskan dia pergi? tanya istri saya.

“Bukan itu,” sanggah saya.

Saya berhenti sebentar, rongga dada saya terasa sesak.

“Delapan belas tahun menikah, tetapi mereka belum juga dikaruniai anak. Terakhir, setahun lalu ketika mereka bertengkar hebat dan hampir bercerai, saya begitu terkejut dan hampir terpukul. Betapa menyedihkan bila itu betul-betul terjadi. Saya takut. Apakah esok hari akan menjadi jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang saya simpan selama ini wahai rahasia hidup?”

“Berdoalah, dan berharap semua akan baik-baik saja.” Ia memeluk saya. Sejenak saya mendapat kekuatan lewat pelukannya. Saya mulai merasa tenang.

Jam tujuh lewat tiga puluh, bunyi alarm yang menjerit-jerit membuka paksa mata saya. Seperti kemarin, tidur saya tidak lelap. Saya berusaha keras untuk bangun dan turun dari atas ranjang tapi rasa malas masih mengganduli kedua kaki saya. Lantas saya duduk sebentar sebelum turun ke lantai bawah. “Pagi adalah harapan,” ucapan almarhumah Ibu lantas terngiang-ngiang di kuping saya. Lalu saya bergegas membuka rolling door penutup ruko meski sesekali menguap dan lupa mencuci muka. Saya segera bersiap-siap menerima cucian pelanggan pertama yang datang. Tak lama ada yang datang, tetapi kali ini bukan pelanggan pertama yang menyapa dan menaruh sekantong cucian. Adik ipar saya bersama anak-anaknya datang berkunjung dan membawa sebungkus roti tawar dan stoples kecil selai cokelat untuk sarapan kami bersama.

Kedua keponakan saya kemudian datang memeluk saya, lalu buru-buru naik ke lantai atas, menemui kedua anak saya yang masih tertidur dan langsung mengajak mereka bermain bersama.

Kami bertiga mulai berbicara, tentang sang pangeran tidur dan bagaimana kondisi terakhirnya, tentang istrinya yang juga sedang dirawat di rumah sakit yang sama, juga tentang kesedihan kami. Pagi ini kami merasa bebas, setidaknya hari ini kami tidak lagi menjadi robot-robot yang tidak pernah bicara.

Dan tiba-tiba sebuah panggilan telepon berbunyi, dan obrolan kami langsung berhenti.

“Ia baru saja pergi. Ia telah pulang,” suara lirih yang keluar dari pelantang gawai menjelaskan segalanya.

Kami diam, seketika keheningan yang beku menyelimuti kami bertiga selama beberapa detik. Lalu seperti gelembung-gelembung sabun yang rapuh yang menunggu waktu untuk meletus, akhirnya tangis kami pecah.

Ia masih tertidur lelap seperti kemarin, seperti seorang pangeran yang baru saja pulang dari pengembaraannya di suatu negeri yang jauh. Dari layar gawai, lagi-lagi kami cuma bisa menatap, meratapi dan menangisi kepergiannya. Tidak ada upacara perpisahan yang kelak akan kami kenang seumur hidup. Tidak akan ada pelukan terakhir seperti dahulu kami pernah melepas kepergian kedua orang tua kami. Namun, kali ini saya tidak lagi seperti robot-robot kemarin yang tak memiliki jiwa. Tiba-tiba penglihatan saya menjadi kabur dan satu-satu yang saya lihat berubah menjadi buram dan kemudian berubah menjadi gelap.

Sayup-sayup saya terdengar suara istri saya yang terus memanggil-manggil dan mengguncang-mengguncang tubuh saya tanpa henti. Akan tetapi semua hanya ada gelap.

Editor: Erlyna

Sumber gambar: https://pin.it/48HEDaH

Leave a Reply