Pagi Ini

Pagi Ini

Pagi Ini

Oleh : Cokelat

 

Pagi ini, gadis itu datang lagi. Pemandangan yang sudah hampir empat puluh hari ini aku saksikan. Bangku taman di seberang jalan tempatku berdiri adalah pilihannya. Setiap hari dia datang, duduk selama dua atau tiga jam, lalu pergi. Selama itu, dia hanya duduk diam sambil sesekali mengusap pipinya. Ya, kadang-kadang dia menangis dalam diamnya. Secarik kertas di tangannya, entah apa isi kertas itu. Dia memegangnya hampir setiap kali datang ke sini.

Pagi ini, gadis itu datang lagi. Seperti biasa, pemuda yang berdiri di sampingku, hanya menatapnya dari kejauhan. Sejak gadis itu datang setiap hari, pemuda itu pun diam-diam memperhatikannya dari kejauhan. Beberapa kali dia membersihkan hidung dan mengusap matanya. Ketika gadis itu berdiri untuk pergi, kertas yang biasa digenggamannya jatuh dari pangkuan. Astaga, dia pasti tak menyadarinya. Kertas itu terbang tertiup angin dan mendarat tepat di depanku dan si pemuda. Kertas itu tergeletak di tanah dalam keadaan terbuka. Aku bisa membacanya.

 

“Sayangku, aku tak bisa membiarkanmu dinikahkan dengan lelaki itu

Mari kita pergi bersama, meninggalkan semuanya.

Aku akan menunggumu di bangku taman kota, tempat pertama kali kita bertemu.

Datanglah.”

 

Pagi ini akhirnya aku mengerti, ternyata gadis itu datang setiap hari karena menunggu kekasihnya—kekasih yang berjanji untuk mengajaknya pergi bersama. Beberapa baris tersisa di kertas lusuh itu, tetapi tak terbaca lagi olehku. Aku kasihan padanya. Dia setia datang dan menunggu setiap hari, tapi kekasihnya justru tak menepati janji. Pasti kekasihnya itu seorang lelaki brengsek. Dasar lelaki penipu! Huh! Mengapa aku yang terbawa emosi seperti ini?

Pagi ini akhirnya aku mengerti, pengaruh cinta itu begitu dahsyat. Beberapa saat setelah gadis itu tiba lalu duduk di bangku taman seberang jalan, sepasang laki-laki dan perempuan datang menyusulnya. Kedua orang yang mulai berumur itu terlihat membujuknya. Salah seorang dari mereka bahkan menarik lengan gadis itu untuk memaksanya berdiri, tetapi si gadis segera menepisnya.  “Jangan memaksaku menikah dengannya, Pak! Apa Bapak ingin melihatku mati?” Gadis itu berlinang air mata.

Pagi ini akhirnya aku mengerti, pengaruh cinta itu begitu dahsyat. Kedua orang yang ternyata orang tua gadis itu akhirnya ikut menangis sambil memeluk anak mereka. Sepertinya mereka mengalah dengan keinginan gadis itu. Aku menyaksikan semuanya dari tempatku berdiri. Lagi-lagi, aku tak sendiri. Pemuda yang setiap pagi datang dan berdiri di sampingku ikut terisak. Dasar cengeng! Kami berdua hanya bisa melihat gadis itu dan kedua orang tuanya yang sedang bertangis-tangisan dari seberang jalan.

Pagi ini, gadis itu datang lagi. Seperti hari-hari sebelumnya, matanya terlihat bengkak.  Ya ampun, aku rasa gadis ini sudah menyia-nyiakan waktu dan perasaannya untuk orang yang tidak tepat. Mengapa dia begitu bodoh? Ah, cinta memang bodoh. Dia duduk bersandar pada bangku taman. Hari ini, rambutnya yang biasa dibiarkan terurai, dikucir satu dengan pita merah. Leher jenjangnya yang berkalung perak terlihat jelas.

Pagi ini, gadis itu datang lagi. Seperti hari-hari sebelumnya, setelah duduk selama berjam-jam, dia berdiri. Anehnya, kali ini, dia tidak langsung berjalan lurus ke arah kanan dari bangku yang biasa didudukinya, tetapi malah menyeberangi jalan yang mengantarai kami selama ini. Dia berjalan sambil menunduk. Dua kancing kemeja paling atas gadis itu terbuka. Semakin dekat dia ke arahku, aku bisa melihat bandul bulat besar berwarna keperakan menggantung di lehernya. Hei, di mana aku pernah melihat bandul itu?

Pagi ini, gadis itu datang lagi. Sayangnya, ini mungkin akan jadi pagi terakhir baginya. Saat gadis itu menyebrang jalan, tiba-tiba sebuah sepeda motor melaju dengan kencang dari arah kananku. Pengendara motor itu tak bisa menghindar di jalanan taman yang sempit. Motor itu menabrak sang gadis sehingga terpental beberapa meter dan mendarat tepat di depanku. Pemuda yang setiap hari berdiri di sampingku dan memperhatikan gadis itu berteriak-teriak histeris.

Pagi ini, gadis itu tak datang. Ini hari ketujuh aku tak melihatnya datang dan duduk di bangku taman di seberang jalan. Apakah dia tidak selamat? Pikiranku kembali pada hari saat kecelakaan itu terjadi. Gadis itu tergeletak cukup lama di rerumputan sampai beberapa pengunjung taman melihatnya dan segera membawanya pergi. Dia tak sadarkan diri, darah segar mengalir dari kepalanya. Sayangnya, aku dan pemuda yang selalu berdiri di sampingku hanya bisa memandangnya dengan frustrasi, tak bisa berbuat apa-apa.

Pagi ini, gadis itu tiba-tiba datang. Syukurlah, dia selamat. Mungkinkah dia mengalami koma selama dua puluh hari ini? Mengapa dia baru datang sekarang? Entahlah. Dia sedang duduk di bangku taman sambil meremas-remas tangannya. Saat pandangannya mengarah pada kami—aku dan pemuda yang berdiri di sampingku—dia berdiri dan berlari sangat kencang mengarah pada kami. Hei, apakah dia lupa kalau dia baru saja mengalami kecelakaan?

Pagi ini, gadis itu tiba-tiba datang. Setelah berhadapan dengan pemuda yang biasa berdiri di sampingku, dia langsung menangis keras. Tunggu … dia bisa melihat pemuda itu? Pemuda itu mengusap air mata si gadis lalu mereka berpelukan. Aku masih bingung dengan semua yang terjadi. Ada apa ini? Setelah lama berpelukan, pemuda yang selalu berdiri di sampingku menarik tangan si gadis dan mengajaknya bersandar padaku. Dan sekarang aku ingat, di mana pernah melihat bandul kalung yang mirip dengan milik gadis itu. Pemuda itu sedang memakainya, mereka memiliki bandul kalung yang sama.

Pagi ini, aku merasa sendiri. Sunyi. Setelah pertemuan mereka, gadis itu dan pemuda yang biasa berdiri di sampingku, tak pernah datang lagi. Ternyata aku merindukan mereka. Aku ingat kata-kata terakhir pemuda itu sebelum pergi. “Seandainya kita berdua masih hidup, aku pasti akan mengukir nama kita di dahan pohon ini. Pohon yang menjadi saksi perjalanan cinta kita.” Dia lalu mengelus-elusku dengan lembut, sebelum membawa kekasihnya pergi. (*)

Kamar Cokelat, 31 Juni 2021

 

Cokelat, jatuh cinta pada cokelat dan semua turunannya.

Editor : Nuke Soeprijono

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply