Padang Hijau

Padang Hijau

Padang Hijau

Oleh: Ika Mulyani

 

Aku menegakkan telinga ketika mendengar Tuan memanggil namaku. Saat melihat sabit bertangkai panjang di tangannya, aku bergegas melangkah secepat keempat kakiku bisa membawa tubuh gemukku. Itu alat yang biasa Tuan pakai untuk menyabit rumput di Padang Hijau. Pasti Tuan akan pergi ke sana dengan mengajakku, seperti biasanya.

Padang Hijau adalah tempat yang menyenangkan; luas dan dipenuhi rumput segar sejauh mata memandang. Aku bisa bersantap sepuasnya, tanpa perlu berebut dengan yang lain dan tidak usah khawatir kehabisan. Jadi, meskipun berjalan menuju ke sana sedikit melelahkan, aku selalu bersemangat mengikuti langkah Tuan yang panjang-panjang.

Akan tetapi, mengapa Tuan mengajakku ke sana hari ini? Aku lihat persediaan makanan kami masih banyak. Biasanya, Tuan pergi saat rumput di kandang kami sudah benar-benar habis. Walaupun beberapa sudah ada yang mulai kering dan kecokelatan, rasanya masih lumayan. 

Ketika aku sudah berada di dekat Tuan yang sedang berdiri di tengah pintu gerbang, ia mengusap kepalaku dengan lembut, seperti kebiasaannya bila aku ada di dekatnya. Namun, di luar kebiasaannya, kali ini ia melakukannya sambil berjongkok dan menatapku lekat-lekat. Selain itu, Tuan mengusap kepalaku berkali-kali dan lama sekali sampai rasanya kulit kepalaku jadi kebas. Aku menggerakkan kepala sambil mengembik, menyatakan keherananku. Tuan tersenyum, lalu menghela napas panjang. Kemudian, ia berdiri dan memberi isyarat agar aku segera mengikuti langkahnya.

“Ayo, Cenil!” ucap Tuan dengan suara parau.

Aku pun melangkahkan keempat kakiku dengan penuh semangat sambil mengembik senang. Mungkin sekarang Tuan sudah mengerti kalau rumput segar itu rasanya jauh lebih nikmat daripada yang sudah berhari-hari disimpan di kandang. Rumput yang langsung aku santap dari tempatnya tumbuh terasa lezat sekali, seperti ada manis-manisnya.

“Cenil! Jangan jauh-jauh dariku!” Seruan Tuan membuatku menghentikan langkah.

Aneh! Sebentar saja Tuan sudah jauh tertinggal beberapa meter di belakangku. Padahal biasanya aku harus setengah berlari untuk mengimbangi langkah Tuan yang selalu cepat. Aku pun berbalik dan menghampiri Tuan.

“Anak pintar!” katanya sambil kembali mengusap kepalaku. “Pelan-pelan saja, Cenil!”

Kami pun melanjutkan perjalanan. Aku melangkah dengan tidak sabar. Apakah Tuan sedang tidak sehat? Kenapa langkahnya pelan sekali? Tapi aku tidak berani jauh-jauh dari Tuan. Sebuah kejadian mengerikan yang pernah kualami dulu sekali telah berhasil membuatku selalu berusaha untuk berhati-hati.

***

Tuan tidak pernah mengikat leherku dan membiarkan aku bebas berkeliaran di halaman rumahnya yang berpagar.

Dulu sekali, waktu aku masih kecil, Tuan pernah lupa menutup pintu pagar, mungkin ia sedang terburu-buru. Di masa-masa itu, aku selalu penasaran dengan apa yang ada di luar pagar kami. Pintu yang membuka lebar membuatku tergoda untuk menuntaskan rasa ingin tahu. Tanpa ragu-ragu, aku pun melangkah melewati pembatas halaman itu.

Setelah cukup lama aku berjalan sambil menikmati pemandangan yang menarik dan sangat berbeda dengan keadaan di rumah yang membosankan, tiba-tiba dari balik semak muncul makhluk serupa anjing milik Tuan, tapi dengan ukuran sedikit lebih besar dan bulu rambut yang lebih panjang. Binatang yang warna abu-abu bulunya cantik itu tersenyum ramah dan berkata dengan suara selembut suara Ibu, “Halo, Manis. Pemandangannya indah, ya?” Aku membalas senyumannya dan mengangguk. Si  Abu-abu berkata bahwa ia tahu banyak tempat yang bagus dan mengajakku untuk melihat-lihat. Aku mengiakan sambil membayangkan akan mendapatkan pengalaman jalan-jalan yang jauh lebih seru. Namun tiba-tiba, gonggongan anjing yang disusul dengan teriakan Tuan dan suara tembakan senapan membuat teman baruku itu berlari begitu saja meninggalkanku.

“Aduh, Cenil! Untung saja kami cepat menemukanmu!” ucap Tuan seraya meraup tubuhku ke dalam pelukannya. Sambil mengusap-usap kepalaku, ia bergegas kembali ke rumah.

“Dia serigala jahat, Cenil! Tidakkah ibumu memberitahu?” Si Anjing Penjaga menggonggong dengan nada kesal sekaligus cemas sementara ia setengah berlari di samping Tuan yang berjalan sangat cepat. “Untung ada si Oren yang pengadu, dan dia mengeong ribut sekali tadi.”

“Serigala?” Memang Ibu pernah memberitahu bahwa serigala adalah binatang jahat.

Si Anjing Penjaga menggonggong mengiakan. “Untung kami datang tepat waktu!” ucapnya masih dengan nada yang sama.

“Tapi serigala yang tadi baik sekali.” Aku mengembik tidak setuju.

Si Anjing Penjaga tertawa sumbang. “Tentu saja dia akan begitu. Kalau saja kami terlambat menyusulmu, leher kamu pasti sudah habis dicabik taringnya yang tajam sewaktu kamu lengah.”

Ternyata Ibu mengatakan hal yang sama ketika aku sudah sampai di rumah.

Tuan sempat mengikat leherku dan menambatkan talinya yang panjang pada batang pohon jambu di samping rumah Tuan selama beberapa hari. Aku baru bisa bebas ketika malam tiba dan kami semua tidur di dalam kandang yang dikunci. Satu kali Tuan lupa mengikat leherku, tapi tentu saja aku tidak berani keluar pagar, meskipun saat itu pintunya sedang terbuka lebar. Mungkin karena itu Tuan tidak pernah lagi merasa perlu untuk mengikat leherku.

***

“Kita sudah sampai, Cenil.” Suara Tuan membuyarkan lamunanku, dan aku terkejut melihat suasana Padang Hijau saat ini.

Mengapa ramai sekali? Di beberapa tempat terlihat kawan sebangsaku terikat tali yang ditambatkan pada pasak. Tali itu kebanyakan pendek sekali, membuat mereka tidak bebas bergerak dan berkali-kali mengembik dengan nada memilukan. Sungguh kasihan.

Tiba-tiba, Tuan memegang leherku dan menarikku mendekati seseorang yang sepertinya sudah menunggu kedatangan Tuan.

Aku tidak terlalu menyimak pembicaraan antara Tuan dan orang itu. Aku lebih tertarik untuk memperhatikan, mengapa aku tidak punya tanduk seindah domba-domba lain yang ada di sini? 

Tiba-tiba, orang yang berbicara dengan Tuan menarik kepalaku, lantas mengalungkan tali di leherku dan mengencangkannya. Aku terkejut dan mencoba memberontak.

Tuan lagi-lagi berjongkok dan terus mengelus kepalaku sambil menatapku lekat-lekat. Ia menggeleng-gelengkan kepala sampai aku bisa tenang. “Maaf,” katanya. Lalu ia pergi begitu saja, tidak menoleh lagi meski aku kembali meronta-ronta dan mengembik sekencang-kencangnya. []

Ciawi, 25 Juli 2023

Ika Mulyani, emak-emak yang tensinya selalu rendah, tapi tidak suka makan daging kambing yang katanya bisa bikin darting.

Leave a Reply