Pada Waktu yang Menjadi Saksi
Oleh: Triandira
Dari yang sering kudengar, cinta pertama adalah saat untuk pertama kalinya kita jatuh hati kepada seseorang. Namun bagiku, cinta pertama adalah ia yang paling ingin kupertahankan dalam hidup. Hingga akhir nanti ….
***
Lima belas menit perjalanan yang kutempuh akhirnya berbuah manis. Seorang wanita berusia lima puluh tahunan tengah duduk di salah satu kursi sambil tersenyum hangat dan melambaikan tangannya ke arahku. Ia tampak begitu cantik dengan balutan dress merah berlengan panjang yang bagian bawahnya selutut, lengkap dengan kalung mutiara yang melingkar manis di lehernya. Meski tak lagi muda, penampilannya cukup menarik perhatian para pengunjung restoran bernama “The Lounge” itu, termasuk aku.
“Apa aku tiba terlalu cepat?” sapaku sambil memeluk wanita tersebut. Di sebelah kirinya, seorang lelaki berwajah mirip denganku tengah menatap dingin ke arah kami. Tak jauh berbeda dengan ekspresi beruang kutub pada lukisan yang terpampang indah di dinding kamarku. “Apa kabarmu, Ibu?”
“Diam kau.”
Dari suaranya yang bergetar aku tahu bahwa ia sedang menahan tangis. Mungkin selama ini ia sama menderitanya sepertiku. Setahun tak bertemu membuat kami begitu rindu.
“Sudah cukup lama, dan apa kau pikir ibumu ini masih bisa tersenyum bahagia?”
Aku melepaskan pelukan, lalu mengusap lembut pipinya. “Aku sudah di sini sekarang.”
“Itu setelah kami memaksamu untuk datang,” sahut Ayah menyindirku. Lelaki yang sejak tadi sibuk dengan ponselnya itu ikut bersuara. Mungkin ia sudah tak sabar untuk mendengarku meminta maaf padanya, perihal kejadian tiga tahun silam. Saat aku memutuskan untuk pergi dari rumah mewah yang kami huni sejak aku kecil dulu. Namun sayang, kata maaf tersebut tak jua terucap dari mulutku. Jujur saja, apa yang pernah Ayah lakukan terhadap Priska belum sepenuhnya bisa kulupakan.
Bukan karena aku tak ingin berdamai dengannya, tapi perilaku Ayah yang menjauhkanku dari Priska begitu menyakitkan. Jadi wajar bukan jika aku marah? Terlebih sejak awal pernikahan, Priska tak pernah disambut baik sebagai seorang menantu di keluarga kami. Ia memang gadis yang sederhana. Bukanlah tipe istri yang ideal untukku, lebih tepatnya di mata Ayah dan Ibu.
“Sebenarnya apa yang ingin Ayah katakan?” tanyaku setelah duduk berhadapan dengannya.
“Ayah akan menjelaskannya nanti.”
“Kenapa tidak sekarang saja?”
“Karena ada tamu yang harus kita sambut terlebih dahulu.”
“Apa?”
Tanpa memedulikan aku yang masih memasang wajah kebingungan, lelaki berjas hitam itu beranjak bangun dari tempat duduknya. Diikuti Ibu yang menghela napas panjang.
Ayah menatapku, lalu tak lama kemudian pandangannya beralih ke pintu masuk restoran. Di sana tengah berjalan seorang gadis bersama lelaki dan wanita yang seumuran dengan orangtuaku.
Gaun biru dengan pita kecil di bagian pinggang, riasan make-up natural, dan sepasang high heels yang gadis itu kenakan semakin membuat Julia terlihat cantik. Ia mendekat, lantas menyalami tangan Ayah dan Ibu seperti yang kulakukan kepada orangtuanya. Mereka adalah rekan kerja Ayah sekaligus sahabat baiknya.
Kami bertegur sapa sebentar, lantas duduk bersama-sama di tempat yang sudah Ayah pesan sebelum kedatanganku tadi.
“Aku harap kami tidak menganggu waktu berharga kalian,” Ayah mengawali perbincangan yang bagiku terasa membosankan. Sepertinya hanya aku di ruangan ini yang tidak bisa menikmati suasana. Pun berbagai hidangan yang tersaji hangat di atas meja. Grilled chicken with soy sauce, drunken noodles, dan rib eye steak yang biasanya menjadi menu favoritku ketika makan di sebuah restoran, bahkan tak menggugah seleraku untuk menyantapnya.
“Jangan cemaskan soal itu. Kami masih punya banyak waktu untuk membicarakan pertunangan ini,” Om Harry menimpali perkataan Ayah, wajahnya tak kalah semringah dari Julia yang kini sedang tersenyum menatapku.
“Apa maksudnya dengan pertunangan?”
Aku menoleh ke samping.
“Ibu mohon tenanglah.”
“Tidak, Bu. Bagaimana aku bisa tenang jika ….” Ibu langsung menggenggam cepat lenganku, berharap putra tampannya ini tak meninggalkan mereka semua begitu saja. Tapi bukannya kembali duduk, aku malah menyulut kemarahan Ayah. “Sebaiknya aku pulang sekarang. Priska pasti sudah menungguku di rumah.”
“Hentikan itu! Apa kau pikir Ayah belum mengetahui semuanya?” tegasnya menghentikan langkahku sejenak. Tanpa menoleh lagi ke belakang, aku menghilang dari hadapan mereka dengan mata berkaca-kaca.
“Maaf.”
***
Entah apa yang terjadi pada hubungan mereka setelah pertemuanku dengan keluarga Julia tempo hari. Namun yang jelas, ada kelegaan di hatiku sebab terhindar dari perjodohan gila itu. Sudah kuduga, Ayah dan Ibu tak sungguh-sungguh ingin memperbaiki hubungan di antara kami. Tapi Julia … ah, tidakkah itu keterlaluan. Priska masih berstatus sebagai istriku, lantas bagaimana bisa mereka berencana menikahkanku dengan Julia.
Bisnis? Tentu saja. Mungkin hanya itu yang ada di benak mereka saat ini. Sejak dulu Ayah memang ingin menjadikan Om Harry sebagai besannya.
“Permisi, Pak,” ucap seseorang membuyarkan lamunanku. Ia membawa nampan berisi makanan dan minuman yang hendak diberikan kepada Priska.
“Biar aku saja yang menyuapinya.”
Wanita berambut sebahu itu mengangguk, kemudian meninggalkanku berdua dengan orang yang kucintai.
“Lihatlah, apa yang kubawakan untukmu.”
Istriku itu bergeming. Ia masih duduk bersedekap di atas ranjang dengan mata yang memandang ke luar jendela, tak berkedip sedikit pun. Mungkin ia marah karena seharian kemarin aku terlalu sibuk dengan urusan pekerjaan. Aku pun tak menepati janji untuk menghabiskan akhir pekan bersama.
“Ayo, Sayang. Makanlah,” bujukku mencoba menyuapinya.
Aku tahu ia sangat menyukai bunga, dan karena itulah kubiarkan ia menikmati pemandangan di luar sana sepuas hati. Tentu saja dari dalam kamar tempat kami berada saat ini.
“Sayang …,” bujukku sekali lagi yang justru menimbulkan respons tak terduga darinya.
Prang!
Priska melempar semangkuk bubur yang kupegang, membuatnya tumpah berceceran di atas lantai.
“Pris, apa yang kau lakukan?” tanyaku yang lebih terdengar seperti bentakan baginya. Priska terkejut, lalu ia membalas dengan teriakan yang lebih kencang.
“Pergi, sana! Pergi!” usirnya berulang kali.
“Tapi, Pris ….”
“Pergi!” jeritnya lagi. Dengan tangis yang semakin keras, aku mendekap erat tubuhnya. Tak peduli ia terus memberontak dengan perkataan yang tak kumengerti, itu karena suara sesenggukannya yang lebih dominan.
“A—apa kau marah karena aku datang terlambat?”
Kuusap pelan rambutnya yang masih hitam legam seperti dulu—ketika ia masih duduk di bangku SMA, dan berhasil membuatku jatuh cinta untuk pertama kalinya.
Ia adalah seseorang yang pernah menghilang dari kehidupanku. Beberapa bulan setelah kelulusannya dari sebuah universitas barulah kami berjumpa lagi. Aku bahkan masih ingat bagaimana gadis itu terlihat gugup ketika aku mengutarakan perasanku terhadapnya. Di malam pergantian tahun yang menjadi saksi bisu terjalinnya cinta di antara kami.
“Ssttt … tenanglah, Pris. Kumohon jangan seperti ini.”
Tak kuasa menahan tangis, aku tersungkur di atas lantai dengan tangan yang masih memeluk tubuhnya.
“Apa dia akan baik-baik saja?” tanyaku lemah kepada wanita yang menghampiri kami. Beberapa saat usai ia menyuntikkan jarum ke lengan istriku.
“Maafkan saya, Pak. Tapi sebaiknya Anda keluar sekarang juga.”
Melihat Priska yang terkulai lemas di atas ranjang membuatku tak tega untuk meninggalkannya lagi. Tapi aku tak punya pilihan selain menuruti perintah suster yang merawatnya itu. Bagaimanapun juga, Priska butuh waktu untuk menenangkan diri sendiri.
“Tolong, jaga dia dengan baik,” pesanku sebelum pergi.
“Tentu saja, Anda tidak perlu khawatir soal itu.”
Meski jeritan istriku tak lagi terdengar, namun cairan bening di pelupuk mataku kembali menetes.
“Seandy …,” lirih Priska sebelum ia tertidur karena efek obat bius. Mendengarnya menyebut nama itu hatiku kembali remuk. Aku tidak tahu siapa yang ia maksudkan tadi. Apakah aku suaminya, atau buah hati kami yang namanya sama sepertiku dan telah meninggal dunia. Penyebab utama Priska menjadi salah satu pasien di rumah sakit jiwa.(*)
Tentang Penulis:
Triandira, penyuka fiksi yang belum bisa move on dari mi ayam dan durian. Jika ingin menghubunginya bisa melalui akun FB dengan nama Triandira, email: wahyutriandira1@gmail.com
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata