Pada Rindu yang Dibayar Lunas

Pada Rindu yang Dibayar Lunas

Pada Rindu yang Dibayar Lunas
Oleh: Karna Jaya Tarigan

Perempuan itu membawakan sepotong hati miliknya dan menyodorkan kepadamu. Sepotong hati berwarna jingga.

“Ini untukmu. Kusimpan sejak sepuluh tahun yang lalu.”

Kamu melengos, seolah tak ingin mendengarnya.

“Aku tak sanggup  lebih lama lagi menyimpannya. Sepotong hati ini terus mengganggu dan menghantui pikiranku selama bertahun-tahun. Bahkan pada malam-malam indah, saat aku sedang melenguh bersama suamiku, hanya wajahmu yang terbayang.”

“Pergilah!” katamu tanpa ekspresi. Tergambar jelas di wajahmu, bahwa kamu tak tersentuh saat mendengar cerita tersebut.

“Ambil saja, mungkin kamu akan hidup bahagia bersama ini.” Perempuan itu memaksa, dengan menaruhnya ke dalam genggaman tanganmu.

Kamu diam tanpa sedikit pun memandang pada seraut wajah di depanmu, tak ada kebencian yang  terlihat dari sorot matamu. Lalu kamu berdiri dan membuang sepotong hati milik perempuan itu dan melemparkannya ke tepi jalan. Sementara itu, seekor anjing tua yang tak sengaja lewat menyantapnya dengan lahap.

“Kamu lihat kan! Sepotong hati milikmu telah aku lemparkan ….”

Sesuatu terjadi, anjing tua itu berubah menjadi lebih muda. Beberapa helai ubannya yang panjang menghilang. Anjing itu menggonggong lebih keras dan bergerak lebih cepat, kemudian bergegas pergi.

Kamu dan perempuan itu terpana tanpa suara. Dan di keesokan harinya perempuan itu masih saja terus mencari dirimu. Entah perihal apa yang dipikirkan olehnya. Padahal sepotong hati miliknya telah disantap seekor anjing dan ia menyaksikan dengan mata-kepalanya sendiri. Namun kamu menyakiskan secara sembunyi kalau berkali-kali ia hadir di saat senja datang, menunggumu.

Ia berdiri di samping batang pohon flamboyan tua, tanpa lelah menunggu hingga malam yang redup mulai menaungi tubuhnya. Ia terlihat menggigil saat malam semakin larut dan jalanan terlihat lebih lenggang. Kedua pokok kakinya tak bergeming menanti. Rinai gerimis yang jatuh pun, tak mampu mengguncang kesabarannya. Ia tetap menunggumu dengan teguh.

***

Kamu melihat perempuan itu dari kejauhan. Perempuan yang telah menyiksamu selama bertahun-tahun dengan kerinduan yang selalu terlihat di matamu. Tahun-tahun yang berlalu begitu mengenaskan, saat perempuan itu  pamit dan mengucapkan janji padamu di bawah pohon flamboyan tadi, bahwa ia akan kembali menemuimu beberapa hari lagi: untuk mengikat janji.

Pohon flamboyan tua itu telah beberapa musim menjatuhkan serpihan  bunga-bunganya yang berwarna merah.  Kamu tetap menunggu di bawah rantingnya yang kukuh, seperti seekor anjing kecil yang sedang menanti  tuannya. Janji-janji yang tidak pernah dipenuhi. Alih-alih menemuimu, perempuan itu hanya menitipkan selembar surat melalui seorang bocah kecil: “Maaf, jangan menungguku. Kisah kita adalah sebuah kisah yang tak mungkin. Aku perempuan yang tak beruntung!”

Setelah membaca surat itu, kamu membuang kesedihanmu dengan melemparkan kertas surat itu ke awan. Raut mukamu berubah mendung, seperti langit di sore itu.

***

Baru beberapa langkah saat kaki perempuan itu akan meninggalkan pohon flamboyan tua. Wajahnya yang menyiratkan keputusanasaan membuatmu cemas. Lalu kamu datang menjemputnya. Perempuan itu terperangah tak percaya. Matanya yang redup tiba-tiba berbinar. Ia memeluk tubuhmu begitu rapat dan erat,  sampai satu sorot cahaya yang menyilaukan mata membuat kalian jengah dan saling melepas pelukan. Kamu kemudian mengajak perempuan itu berjalan sambil menggandeng tangannya pergi menuju ke satu bukit yang tinggi. Kalian terlihat seperti sepasang kekasih yang sedang menyimpan rindu. Di sana kamu membuka kemejamu, dan menunjukan sepotong hati yang juga telah hilang. Perempuan itu terperangah dan tak menduga. Ia menangis dengan sedu-sedan yang dalam. Kemudian ia menciumi dadamu yang kurus seperti sebilah papan, sebagai sebuah bentuk penyesalan dan mengulang pelukannya kembali. Lebih erat, sangat erat, dan sedemikian erat, saat bibir perempuan itu memagut bibirmu dan melumatnya penuh kehangatan. Kalian adalah sepasang kekasih yang mencinta. Kalian terus berciuman, tidak menghiraukan angin malam yang menderu keras, awan kelabu yang bergulung-gulung menurunkan hujan, dan kilatan petir yang menyilaukan wajah. Kamu dan dia malah saling menautkan lidah, menjilati langit-langit mulut dengan kerinduan yang berapi-api kala mentari pagi menampakkan diri dengan pancaran genitnya. Dan kalian tak sadar hingga kalian bermetamorfosa  menjadi sepasang kupu-kupu yang terbang lincah menyusuri ilalang, semak-belukar, padang savana yang luas terbentang, lalu terbang tinggi melewati kumpulan awan. Menuju satu tempat yang tak terjangkau oleh mata. Suatu tempat yang bernama rindu ….

 

Karna Jaya Tarigan, seorang Penulis pemula yang terdampar di Facebook untuk berkarya.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply