Paceklik
Oleh: Elly ND
Akhir tahun 1980-an, desa kami mengalami kekurangan bahan makanan. Paceklik, begitulah para orang tua menyebutnya. Masa paceklik itu menyebabkan tanah-tanah menjadi kering dan banyak debu beterbangan tertiup angin.
Sore itu, di teras rumah kami, berkumpul beberapa warga. Mereka berdiskusi mencari solusi tentang masalah yang sedang terjadi. Aku yang baru pulang usai mengaji di langgar, mendapat tugas untuk mengantar minuman.
“Haduh … gimana ya kita ini, Pak Syam, bisa-bisa gagal panen kita, Pak.” Terdengar suara keluhan Pak Salim, tetangga depan rumah.
“Aku juga kurang tahu, Lim. Ya, mau gimana lagi, pas paceklik gini,” sahut Bapak.
“Atau kita merantau aja?” usul Mas Aziz yang sore itu memakai baju hijau.
Mendengar usul itu, aku yang sedang menaruh gelas berisi kopi dan sepiring singkong goreng, mendongak menatap Bapak. Ingin mendengar bagaimana pendapat beliau.
“Nah, gimana pendapat bapak-bapak yang lain?” tanya Bapak. “Kalau aku, sih, terserah kalian aja. Kalian yang tahu gimana kondisi di rumah masing-masing,” lanjut Bapak sambil menatap warga yang hadir.
“Aku setuju dengan usul Mas Aziz, tapi benar kata Pak Syam, semua balik ke diri kita masing-masing.”
Tidak ingin dianggap kurang sopan karena ikut terlibat obrolan para orang tua, usai semua gelas tersaji, aku kembali menemui Ibu. Di dapur, Ibu sedang memasak untuk makan malam kami. Sedangkan Marni, tampak bermain cilukba bersama Ayu, adikku yang baru berumur satu tahun.
Dari dapur, sayup-sayup terdengar percakapan para bapak. Menjelang senja, para warga barulah pulang. Tersisa Bapak dan kedua adikku, Imam dan Edi. Keduanya berebut singkong goreng yang tinggal sepotong.
“Bapak setuju ikut bapak-bapak yang lain merantau?” tanya Ibu. Sementara aku hanya mendengarkan sambil membantu Ibu mengumpulkan gelas-gelas kotor.
“Kayaknya iya, Bu. Soalnya pas bapak lihat, persediaan gabah kita sudah semakin berkurang.”
Dan ternyata benar perkiraan Bapak. Tanaman padi yang sudah ditanam beberapa bulan sebelumnya, gagal untuk kami panen. Begitu pun dengan tanaman padi milik tetangga kami.
Sementara padi yang Bapak simpan hasil dari panen terakhir, hanya tersisa beberapa karung saja. Hal yang mengharuskan Bapak untuk merantau ke kota.
Di pagi hari setelah sarapan bersama dan bertepatan dengan keberangkatan Bapak ke kota, kami mengobrol bertiga. Aku, Ibu, dan Bapak.
“Nduk, gimana sekolah kamu?” tanya Ibu, membuka percakapan.
“Alhamdulillah lancar, Bu.”
“Alhamdulillah kalau gitu, ibu seneng dengarnya.”
“Nduk, kamu tahu kan, kalau hari ini Bapak mau merantau? Nah, ibu dan bapak ada satu permintaan,” lanjut Bapak.
“Tapi sebelumnya ibu dan bapak mau minta maaf, kalau permintaan kami nanti nyakitin kamu, Nduk.”
“Kalau kamu nggak keberatan, tolong bantu ibu dan bapak kerja, ya. Toh kamu ‘kan perempuan, untuk apa sekolah ujung-ujungnya juga ngelayani suami sama ngurus rumah.”
Deg. Mendengar permintaan Ibu, aku yang sedang menunduk, sontak mengangkat kepala. Kutatap wajah Ibu dan Bapak bergantian, mencari kesungguhan tentang permintaan beliau. Dan yang kutemukan adalah tatapan penuh harap dari keduanya.
Sebagai anak sulung, aku yang saat itu berumur dua belas tahun dan sedang duduk di bangku kelas enam sekolah dasar tentu merasa kesal. Tidakkah Ibu dan Bapak tahu, bahwa aku sedang menikmati serunya belajar bersama teman-teman. Berbagai cara sudah coba kulakukan untuk ukuran anak kecil, agar bisa membantu orangtua tetapi sekolah tetap bisa lanjut. Salah satunya dengan membantu di sawah sepulang sekolah.
Rupanya, semua usaha yang kulakukan belum bisa memenuhi kebutuhan dapur yang semakin besar. Hal itulah yang membuatku akhirnya manut untuk putus sekolah. Keputusan yang mungkin akan kusesali saat aku semakin dewasa.
Sementara Bapak bersama beberapa laki-laki di desa yang memutuskan untuk merantau ke kota telah berangkat beberapa pekan lalu. Segala pekerjaan yang bisa dilakukan tanpa perlu menunjukkan ijazah, dilakoninya demi keluarga tercinta. Aku mendengar cerita tentang pekerjaan Bapak di kota, saat beliau pulang ke rumah. Dua bulan sekali bahkan bisa satu bulan sekali bila pekerjaan sedang sepi, beliau akan pulang. Tas ransel berisi beberapa potong baju dan celana serta sarung menjadi ciri khas dari Bapak setiap akan bepergian.
“Mbak, aku lapar,” rengek Marni–adik ketigaku–menyadarkan aku yang tadi sempat melamun.
“Marni tunggu sebentar, ya. Ini mbak masih matengin sayurnya dulu.”
“Iya, Mbak.”
Kembali kuaduk sayur daun singkong di atas tungku untuk menu makan siang kami. Ya, pada akhirnya kami harus melalui masa paceklik itu dengan berhemat.
Beras yang tersisa, kumasak untuk makan keempat adikku. Sementara aku dan ibu makan singkong rebus. Terkadang bila bosan dengan singkong rebus, kami olah singkong itu menjadi tiwul. Ikan asin, sayur daun singkong dan terasi bakar, kami gilir sebagai pelengkap makanan. []
Kota Cantik, 15 September 2021
Elly ND, perempuan berzodiak scorpio.
Editor: Imas Hanifah N
Gambar: pixabay