Orang-Orang yang Saling Bicara
Oleh: Diah Estu Asih
Para orang-orang itu saling berbicara sendiri.
Ketika aku tiba di tempat ini, belum ada satu pun orang yang datang. Bermenit-menit kemudian aku menghabiskan waktu dengan membaca tulisan-tulisan yang muncul dengan sendirinya di hadapanku sambil menunggu orang-orang itu datang. Ketika seorang perempuan pertama sudah datang, ia menyapaku dengan senyum ramahnya, dan tulisan-tulisan yang tadi kubaca sudah hilang. Aku bertanya siapa namanya, ia menjawab Margareth. Kutanya lagi dari mana asalnya, dan katanya dari tempat yang jauh di seberang sana.
Aku tidak begitu pandai bicara, maka setelah aku bertanya asalnya, aku tidak tahu lagi harus berkata apa. Ia pun, sepertinya tidak berinisiatif untuk menanyaiku. Beruntungnya tak lama kemudian seorang pemuda datang lagi. Ia begitu gagah, otot-ototnya tampak dari pakaian yang ia kenakan. Kemudian ia duduk dan menyapaku serta Margareth. Setelah kutanyai, aku tahu bahwa namanya adalah Alex dengan penegasan huruf “x” di akhir, berasal dari utara sana. Kemudian ia duduk tegak dan tak berkata apa pun lagi.
Para orang-orang mulai datang dan mereka menyapa di awal kedatangannya, tapi setelah itu tak ada lagi yang bersuara. Aku pun kebingungan, tak tahu harus mengajak bicara siapa. Mereka sangat bermacam-macam. Aku ingin mengajak bicara seorang yang selalu tersenyum ramah, tetapi baru melihat senyumnya mendadak aku langsung sungkan dan membatalkan niat. Aku ingin mengajak bicara yang di atas kepalanya ada buku-buku bertumpuk, kupikir aku dan ia akan bisa bertukar pikiran, tetapi baru membuka mulut aku langsung minder, dan membatalkan niat. Aku ingin mengajak bicara orang yang berotot besar dan bertanya tips olahraga teratur, tetapi mendadak aku takut jika ia menyenggol tubuhku maka aku akan langsung tumbang.
Aku memperhatikan betul-betul orang-orang itu. Mereka datang dengan ciri khas masing-masing. Sementara aku justru seperti makhluk asing yang sangat tak layak berada di tengah-tengah mereka. Di atas kepala-kepala mereka itu, aku bisa melihat benda-benda yang kutebak adalah penggambaran diri mereka. Mungkin saja buku menunjukkan bahwa ia adalah seorang yang sangat suka membaca, alat-alat melukis itu adalah bagi ia yang suka melukis, komputer adalah bagi ia seorang programming, dan banyak lagi. Benda-benda itu muncul pada sebuah awan putih seperti balon-balon kata di komik strip.
Tiba-tiba aku menengok ke atas kepalaku sendiri, tetapi tidak ada apa pun di atas sana.
Waktu terlewati begitu saja dengan keadaan yang hening. Mendadak aku mendengar orang sedang bercakap-cakap. Aku langsung menoleh ke kanan dan orang itu memang sedang berbicara. Awalnya seorang saja, tapi ada dua jenis suara. Lalu kulihat jadi dua orang yang sedang berbicara, tapi suaranya bukan hanya dua orang. Lalu semakin lama semakin banyak suara dan aku melihat semua orang di sini sedang berbicara, tetapi suaranya sangat ramai. Seperti pasar prepekan menjelang Lebaran, bersahut-sahutan tapi tak saling berkaitan.
Saat aku perhatikan betul-betul, tiba-tiba muncul awan-awan baru di atas kepala mereka. Ada yang satu saja, ada yang dua, tiga, empat, dan banyak. Tapi awan-awan itu bukan berisi benda-benda, melainkan berisi orang-orang yang sedang berbicara. Aku kira awan-awan itu hanya ilusi, tetapi semakin mengedipkan mata semakin tampak jelas bahwa mereka itu sungguh ada.
Aku perhatikan baik-baik mereka semua. Ada yang tertawa bahagia sekali, tawanya sangat keras dan menggelegar sampai memekakkan telinga. Ada pula yang menangis tersedu-sedu, tapi ia tidak guling-guling seperti bayi, orang-orang di atas kepalanya juga tidak turun memberi pelukan, tetapi ia terus saja bicara dan semakin menangis. Ada yang hanya bincang-bincang ringan saja, ada yang bermain teka-teki, berbicara politik, dan lain-lain.
Mendadak aku merasa tidak nyaman diam sendirian saat mereka semua sedang berbicara. Aku tinggalkan tempat itu dan mendadak aku sampai pada tempat yang sangat sepi. Tidak ada siapa pun di tempat ini. Tulisan-tulisan yang tadi sempat kubaca muncul lagi di udara, dan aku mulai membacanya lagi. Entah berapa lama kemudian, mendadak pula aku merasa sangat bosan dan jenuh. Aku berjalan lagi dan sampai di tempat yang sangat ramai. Orang-orang di sini saling berdiri dan berbicara satu sama lain. Mereka membentuk kelompok dan jumlah kelompoknya sangat banyak. Aku memperhatikan mereka baik-baik, dan rasanya menyenangkan. Aku hampiri salah satu kelompok mereka, tapi seperti ada dinding yang menahan langkahku. Aku hampiri kelompok lain, rupanya masih sama, dan kucoba memasuki semua kelompok yang ada di sana, tapi masih sama saja.
Aku putus asa dan duduk di rerumputan. Saat aku memperhatikan orang-orang dalam kelompok itu, mereka juga tidak pernah bersentuhan satu sama lain. Rupanya saat aku melihat secara jeli, ada batas tak kasatmata yang membuat mereka tidak bisa bersinggungan. Kemudian ada batas lagi yang jauh lebih besar melingkupi mereka.
Aku merasa bosan lagi dan memutuskan pergi. Kali ini tidak ada tulisan yang muncul di udara. Tapi, ada gelembung-gelembung aneh yang muncul di atas kepalaku, ternyata itu adalah awan. Kemudian seperti sebuah lukisan, muncul gambar seorang perempuan di sana, tapi ia bisa bergerak, tersenyum, dan melambaikan tangan. Ia menyapaku dengan sangat baik. Aku pun balik menyapanya.
“Perkenalkan aku Emily. Aku dari tempat sana,” katanya. Aku pun menyebutkan nama dan asalku.
Emily memperkenalkan aku dengan beberapa orang lain. Aku tidak tahu sudah berapa lama saling bercakap-cakap dengan mereka. Kami saling berbagi cerita, diskusi, dan bermain teka-teki. Kami berhenti hanya pada saat ingin tidur. Lalu tiba-tiba awan-awan yang berisi gambar teman-temanku itu bergerak turun dan kami bisa saling melihat tubuh secara utuh, tapi tak bisa saling bersentuhan. Ada batas tak kasatmata di antara kami. Saat aku tersadar, kami juga sudah dilingkupi oleh batas tak kasatmata yang lebih besar sehingga tak ada orang yang bisa menembus masuk. (*)
26/11/2020
Diah Estu Asih, seorang perempuan yang menyukai keheningan.
Editor: Fitri Fatimah