Orang-orang Pelindung Kehormatan
Oleh: Ray Eurus
Ia berderap meninggalkan tempat para korban dikumpulkan sebelum dilarikan ke balik benteng, kamp para kaum muslimin. Ia terus memacu langkah tanpa mengindahkan teriakan seseorang yang memperingatkannya untuk kembali, bersahutan dengan suara desingan peluru yang melesat di kejauhan. Malam ini, rudal-rudal kembali menghujani bumi para nabi. Ia beserta para pejuang lainnya segera menghambur, berpencar dalam beberapa kelompok untuk menemukan para warga yang menjadi korban. Tidak terkecuali para relawan.
Hatinya patah. Kendatipun tidak pantas dalam situasi seperti sekarang ia bertindak seemosional ini. Alih-alih demi persoalan pribadi semata.
“Kenapa antum tidak menceritakannya sejak awal, saat kembali ke mari?!” semburnya kepada lelaki berusia akhir kepala tiga—seorang relawan asal Indonesia—dengan bahasa Indonesia yang agak kaku.
“Bukankah kabar itu sudah sampai di rumah Cik Teuku? I thought you already know.”
Ah, sayangnya ia merasa seperti hanya dirinya seorang yang tidak mengetahui kabar duka tersebut. Ia merasa gagal, karena seharusnya seorang adik ikut berduka kala itu. Meskipun ia hanya adik angkatnya saja. Akan tetapi, mengapa keluarga Teuku tidak memberitahukannya?
Benarlah menjelang tahun terakhir studinya tuntas, ia lebih memilih untuk ikut menempati salah satu kamar pada flat yang disewa salah seorang kawan sejurusannya, daripada harus bolak-balik ke rumah orang tua asuhnya tersebut. Namun, ia tetap merasa ini tidak adil. Bagaimanapun kondisinya kala itu, ia berhak diberi tahu.
Aisyah, itulah namanya. Seorang gadis yatim piatu saat tubuh belianya diselamatkan oleh Rasyid, seorang pemuda asal Indonesia, dari balik puing-puing bangunan yang nyaris rata dengan tanah. Bersyukur saat tragedi tersebut ia bersembunyi di dalam lemari yang ajaibnya tidak turut hancur beserta rumah yang didiaminya tersebut.
Selepas itu, Aisyah dirawat pada kamp kaum muslimin beserta para korban selamat lainnya. Ia tumbuh dan belajar di sana. Ia pun bertemu dengan dokter Cut Malahayati, sekaligus sangat dekat layaknya kakak beradik, selama berada di sana. Dalam hatinya berikrar akan menjadi seperti dokter Cut yang hidupnya menolong para korban di negerinya sendiri.
“Pamanku akan menguruskan semuanya. Kau bisa menerima beasiswa sampai ke perguruan tinggi Al Azhar nanti. Saat ini, kau harus giat belajar di sana dan harus kembali sebagai dokter menemaniku di sini,” bujuk dokter Cut kala itu.
Tepat saat usianya enam belas tahun, ia bersama seorang sahabatnya bernama Sumayah dan seorang remaja lelaki sepantaran, diberangkatkan ke rumah keluarga Teuku di Kairo. Ada beberapa anak lainnya yang juga bersedia menerima beasiswa belajar di negeri piramida tersebut. Hanya saja tidak semuanya menjadi anak asuh keluarga Teuku, pamannya dokter Cut.
Hampir setiap hari Aisyah saling berkirim surel dengan Cut. Berbagai kisah mereka bagi. Mengenai hari-harinya belajar di rumah bersama Sumayah dan dibimbing oleh Umma, istrinya Cik Teuku, sampai masa awal-awal perkuliahannya. Cut pun selalu mengabarkan mengenai kondisi kamp dan semangat anak-anak di sana, yang sangat tertarik belajar bahasa Indonesia bersama para relawan asal kampung halaman Cut.
Sayangnya, rutinitas itu terjeda semenjak Cut harus segera kembali ke tanah air, karena orang tuanya sakit parah, ia terima. Bahkan benar-benar berhenti kala Umma mengabarkan bahwa Cut kini telah menikah. Sebenarnya itu berita membahagiakan. Ia pun turut berucap syukur kala itu. Pernikahan ialah hal yang diimpi-impikan oleh banyak wanita, begitu pun dirinya. Namun, kegembiraannya meluap begitu tahu bahwa Rasyid-lah lelaki yang meminang Cut.
Lelaki itu adalah matahari bagi Aisyah. Ia menganggapnya pahlawan yang tidak sekadar menyelamatkan dirinya, tetapi seluruh korban yang tersisa setiap ada serangan di Palestina. Lelaki tersebut pun yang sibuk mengajarkan banyak hal kepada anak-anak pengungsi kamp. Lelaki yang mengajarkannya bahasa Indonesia dan Inggris, serta mengaji. Ia sadar, tidak seharusnya membiarkan benih-benih harapan bertunas di dalam dada. Ia bahkan meyakini bahwa rasa di dalam sana ialah rasa seorang wanita kepada lelaki, bukan sekadar kagum belaka. Ia memimpikan berpasangan, berjuang bersama Rasyid di kamp penampungan.
Sebenarnya, Cut tidak pernah berhenti mengirim pesan kepada Aisyah. Hanya saja, ia tidak mau memberikan balasan atau sekadar membuka pesan setiap kali Cut mengirimkan surel. Pesan terakhirnya pun, hanya berupa doa keberkahan atas pernikahan Cut dan Rasyid. Setelah itu, nihil.
Sementara Cut merasa mafhum, mungkin saja adik angkatnya tersebut sangat sibuk. Wanita berdarah bangsawan Aceh tersebut pun, tidak surut mengirimkan pesan kepada Aisyah. Sampai pada suatu waktu, Aisyah yang merasa tidak pantas bermuram durja atas pernikahan Cut, memberikan balasan atas berpuluh-puluh pesan yang sudah masuk. Lebih tepatnya pengakuan, bukan balasan.
Setelah meminta maaf karena dengan sengaja mengacuhkan semua inbox dari Cut, ia pun membeberkan isi hati sebenarnya. Bahwa ia harusnya berbahagia, karena kakak tersayangnya menjadi separuh din lelaki yang ia cintai. Ia pun meminta agar Cut memberikan ruang buatnya untuk membenahi diri. Ia akan segera merampungkan studinya yang sempat tertunda karena telah larut dalam patah hati, dan berjanji akan segera mengabdi di negeri para nabi.
I’ll be waiting for you there, Dear. Ihrish ala maa yanfa’uka!¹
Hanya itu tanggapan Cut, pasca membaca surel masuk darinya. Ada satu beban yang terbang saat ia berhasil berdamai dengan diri sendiri, pun merobohkan tembok yang ia bangun untuk Cut. Ia kembali mengobarkan semangat untuk segera pulang dan menjadi seperti Cut yang membantu menyelamatkan setiap jiwa yang bertahan.
Gedoran dari balik dadanya kian bertalu-talu sepanjang ayunan langkah kaki yang belum memendek. Jawaban Sumayah di klinik darurat tadi, membuatnya tidak percaya.
“Dokter Cut tutup usia saat melahirkan anak pertamanya. Kabar duka itu sudah setahun yang lalu kami terima,” terang Sumayah, saat ia menanyakan mengapa Cut tidak ikut Rasyid menjadi relawan lagi.
Ia sempat memikirkan bahwa dokter berlesung pipi itu, sibuk mengurusi anak-anaknya saja. Sampai-sampai lupa dengan janji untuk menunggu kepulangannya kembali. Ia bahkan bersemangat menyiapkan syal yang ia rajut sendiri, sebagai oleh-oleh untuk Cut atas keberhasilannya merajut seperti yang pernah Cut ajarkan, di sela-sela kesibukan perkuliahannya. Nyatanya, justru kabar duka yang ia terima.
“Mungkin Umma sengaja menyimpan kabar itu sementara, supaya kamu fokus mengejar ketertinggalanmu,” pungkas Sumayah dalam bahasa Arab, “apalagi kamu lebih banyak menghabiskan waktu di kampus dan flat saja,” imbuhnya kemudian.
Sumayah yang lebih dulu menuntaskan gelar dokter dibanding dirinya, berusaha melemparkan kemungkinan lain agar ia tidak salah sangka. Wanita bermata biru tersebut, tidak ingin semangat sahabatnya yang baru beberapa hari kembali, menyusut dalam syak wasangka dan kesedihan mendalam.
Aisyah mengendurkan lilitan syal pada lehernya. Ia lalu menurunkan penutup wajah yang sudah basah sebagian oleh keringat dan air mata. Wajah putihnya diterpa dinginnya angin barat yang bertiup lebih kencang dari seharusnya. Aroma peperangan segera menghambur, berebut masuk pada setiap helaan napasnya. Ia terengah-engah dalam amarah yang bertambah-tambah.
Tangisnya pun pecah, pada sudut kota yang entah apakah masih laik disebut demikian. Sambil bertopang lutut, ia memukul-mukul dada sendiri. Berharap semua rasa segera sirna. Ia kemudian sadar, saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk mengedepankan kekecewaan. Ia menghela napas dalam, sebelum beristigfar dan menata pompaan jantung yang masih saling berkejaran.
Perhatiannya dicuri saat ia lamat-lamat mendengar teriakan dari suatu tempat yang tidak jauh dari tempatnya saat itu berada. Teriakan memohon pertolongan ditimpali gelak tawa beberapa suara berat, membuatnya menegakkan badan seketika. Matanya membulat, membayangkan kemungkinan yang terjadi. Tanpa pikir panjang ia kembali memacu langkah mencari asal suara.
Di antara puing-puing reruntuhan, di seberang sisa-sisa asap yang masih menguar tipis, seorang muslimah yang baru merekah tersudut dihadang oleh dua orang pria dewasa berseragam zionis. Penutup kepalanya telah ditarik paksa, menampakkan mahkota indah yang sebagian menutupi wajah pucat pasi gadis tersebut.
Kedua mata Aisyah membola menyaksikan perlakuan yang dihadapi sang gadis. Azkia, apa yang dia lakukan sampai di sini?
“Stop it!” lantang Aisyah berteriak, sembari berlari-lari kecil menyongsong musuh.
Tidak ada keraguan dalam setiap langkahnya, maju melemparkan batu-batu yang sempat ia raup dari sisa-sisa reruntuhan di sekitar ke muka para zionis yang menoleh sejurus pekikan jihad yang ia serukan. Serangan yang ia lancarkan berhasil membuat kedua bajingan yang nyaris memperkosa Azkia teralihkan. Mereka sibuk mengucak-ngucak mata yang terkena lemparan dari Aisyah. Ia pun segera mengambil kesempatan meraih tangan Azkia dan menarik gadis lima belas tahun itu untuk berlari.
Terseok-seok Aisyah menarik Azkia yang seolah-olah kehilangan tulang kaki. Gadis tersebut masih syok pada kejadian nahas yang nyaris menimpanya. Teriakan Aisyah tidak henti-henti, menyemangati Azkia agar segera bangkit. Mereka tidak akan bisa lepas dari kejaran musuh jika Azkia harus dibimbing dalam dekapan Aisyah yang sudah mulai kepayahan.
Cacian terlontar dari belakang punggung mereka berdua. Suara murka dari dua orang lelaki bertubuh besar tersebut, semakin mendekat. Aisyah mulai panik dan sesekali menengok ke belakang, lalu ke kanan, kemudian ke kiri. Puing-puing bangunan yang bertebaran di mana-mana makin menjeda langkah mereka untuk dapat lolos dari kejaran dua tentara tersebut.
Sempat putus asa, Aisyah berharap dalam hati semoga serangan peluru panas 9 mm Uzi milik tentara Israel itu menembus tubuhnya dan Azkia. Ia lebih memilih menjadi syuhada, daripada harus menderita di bawah kangkangan kedua paha bajingan tersebut. Bulu kuduknya meremang seketika, demi melayani pikirannya barusan.
“Hayya! Hayya, yaa Ukhti!”² Aisyah mengguncang tubuh Azkia yang saat ini kembali luruh ke bumi. Azkia hanya menangis gemetaran. Merasa tidak berdaya, akhirnya Aisyah melayangkan lepak tangannya ke salah satu pipi mulus Azkia.
Azkia tersentak. “Come on!” seru Aisyah mantap.
Malang tak boleh ditolak, mujur tak boleh diraih. Tepat saat Azkia sudah mampu menguasai diri dan bangkit di sebelah Aisyah, gadis bermata sendu itu jatuh terjengkang. Seorang tentara Israel berhasil menarik rambut panjangnya dari belakang. Sementara Aisyah yang ikut terkejut pun masuk dalam cekalan seorang tentara yang lain.
***
“Aisyah, kau sudah sadar?” samar Aisyah menangkap suara seseorang yang dikenalnya. “Beri aku isyarat jika kau mendengarku,” lanjut suara itu lagi.
Aisyah mencoba menggerakkan telunjuknya, yang kemudian disusul oleh instruksi suara yang sama kepada orang lain yang juga berada di ruangan tersebut.
Rasyid berhasil mendengar teriakan Aisyah dan Azkia semalam. Sambil berlari mencari asal suara, ia melakukan panggilan kepada pejuang lain untuk segera menyusulnya melalui walkie talkie. Alangkah mendidih darahnya ketika melihat pemandangan keji yang sedang berlangsung.
Dua tentara Israel sudah menindih tubuh tak berdaya saudari-saudari tersebut. Tanpa pikir panjang, ia arahkan AK-47 yang tersampir di punggungnya kepada salah seorang bajingan yang berusaha menggagahi saudarinya. Dari jarak yang tidak terlalu jauh, satu peluru panas berhasil bersarang pada tempurung kepala lelaki tersebut. Seorang yang lain sigap melompat dan meraih Uzi yang sempat ia letakkan di atas tanah.
Peluru saling berbalas, dua orang lelaki dibakar semangat saling menyerang. Rasyid tiarap ke atas tanah, berlindung dari serangan musuh. Ia berteriak kepada Aisyah agar segera berlindung. Sayangnya, wanita itu sudah jatuh pingsan akibat tertindih tubuh tidak bernyawa.
Sang tentara juga melakukan hal yang sama, tiarap lalu berguling mencari tempat yang jauh lebih aman. Lelaki berkulit kemerahan itu pun sempat meminta bantuan melalui handy talkie miliknya.
Tidak berselang lama, beberapa orang bantuan tentara musuh berdatangan. Rasyid mulai kewalahan, ditambah Azkia yang meringkuk gemetar pada sisi lawannya. Pasukan pejuang masih belum menampakkan batang hidungnya saat Rasyid berhasil ditaklukkan. Bersyukur para pasukan yang datang belakangan sempat menyelamatkan Azkia dan Aisyah. Pasukan musuh pun berhasil dipukul mundur dengan menewaskan beberapa tentara laknatullah ‘alaih.
***
“Kehormatan seorang muslimah yang dilecehkan oleh seorang pedagang Yahudi saat itu, lebih berharga dari nyawanya sendiri. Seorang muslim berani membelanya di tengah-tengah pasar kaum Yahudi. Ia membunuh pedagang hina tersebut. Dan kemudian ia pun syahid demi membela kehormatan saudarinya.” Aisyah menceritakan sejarah mengenai perjuangan Rasulullah saat menghadapi pasar dagang kaum kufar yang berlaku zalim kepada seorang muslimah, hingga menewaskan seorang muslim di sana. Peperangan pun nyaris pecah kala itu.
Selalu kisah yang sama, yang ia sampaikan kala mengisi waktu bersama pasien-pasien cilik yang ia rawat dalam bangsal-bangsal sederhana pengungsian. Dengan mata berkaca-kaca ia kisahkan betapa menakjubkan bagaimana saudara rela berdiri paling muka, demi melindungi saudaranya yang lain. Betapa ia malu. Tidaklah seujung kuku cintanya kepada Rasyid, dibandingkan besarnya cinta yang membakar amarah lelaki tersebut sampai menjemput uluran tangan Malaikat Maut.
Balikpapan, 16 Desember 2021.
Catatan kaki: ¹ Ihrish ala maa yanfa’uka, merupakan potongan salah satu hadis Rasulullah salallohu ‘alaihi wasalam yang berarti, ‘Bersemangatlah dalam melakukan hal yang bermanfaat untukmu ….’
² Hayya, yaa Ukhti, ialah bahasa Arab yang berarti: Ayo, saudariku.
Ray Eurus, nama pena seorang muslimah yang masih belajar menemukan rahasia besar kehidupan. Ray, dirangkai dari inisial nama aslinya. Sementara Eurus, berarti Dewi Cahaya Angin Timur. Kata tersebut berhasil mencuri perhatiannya, karena ia anggap bisa diselaraskan dengan petikan ayat Al-Qur’an, … minadzzulumati ilannuur …, yang juga menjadi inspirasi seorang Raden Ajeng Kartini menamai bukunya: Habis Gelap Terbitlah Terang. Silakan sapa penulis pada akun Fb: Ray Eurus.
Editor: Inu Yana