Orang-Orang di Frekuensi 87
Oleh : Ridwan Hasan Pantu
Terbaik ke-10 TL16
Poland, 1992.
Telah rata kuku jari tangan kanan yang sedari tadi kugigit. Menunggu. Entah sudah berapa lama aku duduk di tepi tempat tidur ini menunggu suara keluar dari radio seukuran kotak tisu itu. Kedua mataku lekat menatap radio berwarna cokelat kayu di atas meja, di bawah jendela yang tak pernah terbuka itu.
Tak sadar, kaki kiriku mengentak-entak lantai. Seperti gelisahnya calon ayah yang menanti kelahiran anaknya. Aku masih menunggu.
Sebelumnya, radio itu kuhidupkan hanya untuk mengusir sepi. Namun, setelah memutar tombol bulat pencari gelombang sinyal, aku tak mendengar apa-apa selain suara seperti hujan. Setelah memutar ke kiri lalu ke kanan, tepat di ujung garis penunjuk frekuensi, suara perempuan terdengar. Ia seperti mengoceh.
“Ada yang bisa mendengarku?” Suara di radio itu tertangkap telingaku.
Tombol gelombang itu kuputar perlahan untuk menyesuaikan suara yang tertangkap. Kali ini sudah lebih jelas. Tepat di bawah angka 87 MHz pada penunjuk frekuensi—seperti angka-angka pada mistar.
“Halo … ada yang bisa mendengarku?” Perempuan itu mengulang pertanyaan di radio itu.
“Ya … aku bisa mendengarmu, Nyonya, Bu, Adik, atau siapa saja dirimu!” balasku setengah teriak.
Mulut kudekatkan ke radio. Namun, tak dibalas. Perempuan di radio itu terus saja mengulang-ulang pertanyaan itu. Aku masih merespons dengan jawaban yang sama, seperti orang gila yang berbicara dengan radio. Sangat bodoh.
Bukankah kita hanya bisa mendengar satu arah di radio? Ah, tentu saja radio bukan telepon. Aku mengacak-acak rambut.
Tunggu, di samping radio, mataku menangkap sebuah kotak hitam dengan sebuah benda kecil yang memiliki kabel bergelombang di atasnya. Seperti yang pernah kulihat, orang berbicara dengan benda itu. Radio Transmiter orang menyebutnya.
Tentu saja aku bisa mengirim suara dengan alat itu. Setelah menghidupkan kotak itu, tanganku menyetel frekuensi yang sama dengan radio itu.
Tepat ketika suara perempuan itu terdengar kembali, aku membalasnya melalui alat seperti mik kecil di genggamanku.
“Ya … aku bisa mendengarmu … siapa kau?” kataku bersemangat, seperti seorang yang melepas kerinduan berat.
“Oh, syukurlah … aku Ev—” jawabnya terputus. Hanya itu akhir kalimat yang sempat kutangkap. Selebihnya hanya suara dengung dan gerimis.
“Sial.” Aku membuang napas.
Kini, aku menunggu di tubir kasur, masih menatap lekat radio transmiter itu di atas meja.
Jangan kau tanyakan, mengapa aku di sini, atau sejak kapan aku di sini. Aku pun tak tahu, atau tepatnya tidak ingat, mengapa dan sejak kapan ruangan ini mengurungku. Yang aku tahu, di atas tempat tidur ini, pertama kali aku terbangun.
Ruangan ini tidak terlalu kecil, tidak juga besar. Sebuah lemari kayu tak berisi; meja dengan sebuah radio dan transmiter di atasnya; juga sebuah pintu dan jendela yang tak bisa dibuka, yang menemaniku selama ini.
Kejadian ini mengingatkanku pada sebuah film favorit masa kecilku. Alice in Wonderland. Alice, si gadis kecil berkepang dua berhenti lalu turun dari ayunan di halaman belakang rumah, ketika seekor kelinci melintas kemudian berhenti tak jauh di depannya. Kelinci itu kemudian berlari menuju semak-semak ketika Alice mengejarnya. Kelinci itu masuk ke dalam lubang di bawah pohon oak. Alice yang penasaran juga masuk dan terjatuh ke dalam lubang yang dalam. Ia melayang berputar-putar seperti tersedot dalam lubang hitam. Kemudian, ia jatuh di atas tempat tidur dalam ruangan yang sempit.
Selanjutnya, Alice memulai petualangan seru dan aneh. Namun berbeda denganku, ruangan ini tak pernah melepasku. Aku masih terkurung di sini.
***
Suara lengkingan terdengar lagi. Itu pertanda aku akan mendengar suara perempuan itu di radio.
“Hai … aku Evelyn … kau bisa mendengarku?” kata perempuan itu berbisik. Seperti sengaja tak ingin diketahui.
“Ya … aku bisa mendengarmu.” Mulutku menjawab melalui mik sembari tanganku mengatur tombol frekuensi agar suara perempuan itu terdengar jelas.
“Tolong! Aku terjebak di ruangan ini bersama seorang perempuan yang sedang tak berdaya … kumohon. Pria gila itu telah mengurung kami beberapa hari … tolong hubungi polisi!” Suara perempuan itu terdengar sangat ketakutan. Seperti setiap detik, makhluk mengerikan akan menghabisi nyawanya.
“Okey … tenanglah, Evelyn … jelaskan di mana lokasimu.”
“Aku tak tahu ini di mana,” jawab gadis itu.
“Baiklah, gambarkan ruanganmu sekarang.”
“Aku tak bisa menggambar!” katanya dengan nada sedikit tinggi.
“Oh, Tuhan … gambarkan dengan kata-kata!” balasku setelah tangan ini menggebrak meja.
“Emm … entahlah … agak remang di sini … sebuah meja dan radio, jendela yang telah dipaku dengan beberapa lembar papan, beberapa foto gadis yang ditempel di dinding, sebuah pintu yang terkunci dari luar … dan bau anyir yang membuatku ingin muntah.” Gadis itu menjelaskan dengan suara yang cukup jelas. Walaupun masih tertangkap nada cemas dari getaran suaranya.
“Itu tidak cukup membantu.” Aku memijit dahi.
“Oh … jangan!” Tiba-tiba gadis itu bersuara.
Terdengar derit pintu yang terbuka. Kemudian suara seperti perempuan yang menjerit. Sepertinya seorang pria masuk ke ruangan itu. Lalu hening.
Terakhir aku mengetahui bahwa gadis yang bersama Evelyn di ruangan itu telah dibawa oleh penculik psikopat itu.
***
Hari-hari selanjutnya, kami semakin akrab bercerita melalui radio itu. Mungkin karena kami merasa tidak ada harapan untuk bebas dari ruangan ini.
Evelyn menceritakan tentang dirinya suatu hari. Evelyn, mahasiswi jurusan Psikologi yang harus membunuh cita-citanya menjadi seorang psikiater ketika ayahnya—satu-satunya keluarga yang ia miliki—meninggal. Kepergian Jacob—kekasihnya—yang menikahi sepupu Evelyn, membuat hatinya semakin remuk. Ia memutuskan untuk bekerja di sebuah pub malam. Pada saat pulang di malam dingin, Evelyn berjalan menyusuri lorong yang terimpit dua gedung. Seseorang menyekapnya dari belakang, dan menghantamnya dengan sebuah benda hingga tak sadarkan diri. Selanjutnya, ia terbangun dalam sebuah ruangan bersama seorang gadis yang penuh memar di badannya.
“Bagaimana dengan dirimu? Ceritakanlah!” pinta Evelyn dari radio itu.
Mik bulat itu kudekatkan ke mulut. “Entahlah … apa yang bisa kuceritakan tentang diriku selain: namaku Sammy.”
“Masa kecilmu? Kekasihmu, Sam?” balasnya.
“Tak ada yang spesial pada masa remajaku selain menjadi anak laki-laki yang aneh, pendiam, kadang-kadang mengoceh sendiri, sering mengkhayal di sisi jendela kelas, dan hobi menghabiskan waktu di perpustakaan kota.” Aku mendeskripsikan diriku di masa remaja yang memalukan itu.
“Oh, sepertinya kita bernasib sama saat remaja …. Apakah kau punya buku favorit?”
“Em … aku suka beberapa karya Enid Blyton, cerita petualangan seru Lima Sekawan, si anak bandel Oliver Twist … juga beberapa karya Sidney Sheldon,” jawabku.
“Wow! Selera kita sama … aku sangat menyukai serial Malory Towers karya Enid Blyton … sambil sesekali mendengarkan Mozart dari piringan hitam,” kata Evelyn dari radio itu. Aku seperti dapat melihat senyumnya terkembang sekarang.
Ah, tentu senyum Evelyn tak semanis Joanna. Gadis bermata safir dan berambut hitam kemerahan. Entah, apakah Joanna masih menantiku atau tidak.
Terakhir kali kami berpisah di Stasiun Krakow Glowny di akhir musim gugur. Aku harus berangkat ke selatan untuk mengikuti wajib militer.
Pada sore yang pucat di depan stasiun, Joanna memegang erat tanganku. Tak pernah ia lepaskan.
“Aku akan melamarmu sepulang dari wajib militer, Sayang,” kataku, diakhiri dengan kecupan di jari tangan putihnya yang dingin.
“Lima tahun, Sam … itu tidak sebentar. Bagaimana aku menanti selama itu?” Joanna semakin mengeratkan pegangan tangannya.
Air mata telah mengalir bagai anak sungai dari kelopak mata biru Joanna. Aku membisu. Angin dingin menampar wajah kami. Seolah-olah musim dingin telah jatuh dalam dada kami berdua.
“Berjanjilah, Joanna … aku akan kembali untukmu,” kataku. Kalung pemberian mendiang Ibu kulepaskan dari leher, lalu kuletakkan di tangan Joanna.
Suara sempritan petugas peron membuyarkan kebekuan kami. Tak lama lagi kereta akan berangkat. Suara riuh rendah terdengar menandakan penumpang berjejalan menaiki gerbong.
Wajah sendu Joanna perlahan lenyap seiring kereta membawaku menjauh. Sungguh, cinta sering hadir pada musim-musim yang salah. Pada musim kegetiran.
“Sam! Berdoalah untukku … terdengar kegaduhan di sebelah ruangan ini!” Suara Evelyn dari radio tiba-tiba menyadarkanku.
“Ada apa?”
“Sepertinya beberapa orang sedang menuju ke tempat ini,” kata Evelyn bergetar.
Tak lama kemudian, terdengar suara pintu didobrak. Samar terdengar suara Evelyn seperti mengucapkan terima kasih, juga suara beberapa pria bercakap-cakap. Dari percakapan itu, sepertinya mereka polisi yang datang untuk membebaskan Evelyn dan gadis lainnya.
Kemudian, tak ada suara yang terdengar. Hanya sepi.
“Evelyn! Apakah kau masih di sana? Apakah kau mendengarku?” kataku di mik radio transmiter yang kugenggam semakin erat ini.
Tak ada jawaban.
Entah, perasaan apa ini? Aku lega, Evelyn dan penyintas lainnya selamat dari penculik psikopat itu. Namun di sisi lain, aku merasa kehilangan.
Aku melempar radio itu ke sudut kamar. Suara seperti rintik hujan terdengar dari radio itu. Kemudian padam. Aku melangkah menuju pintu untuk mendobraknya. Sia-sia. Begitu juga dengan jendela, tak kuasa aku membukanya.
Selanjutnya, waktu-waktu yang panjang kulalui. Juga sepi yang tak pernah bisa kubunuh.
Entah sudah berapa lama aku menunggu, hingga suatu ketika, terdengar suara di radio.
“Sammy! Apakah kau masih di situ?” Suara Evelyn terdengar di radio seperti suara merdu bidadari. Oh, aku sangat merindukannya.
Bergegas aku meraih mik lalu menjawabnya. “Ya … aku masih di sini … bagaimana kabarmu, Evelyn?” jawabku sambil tanganku menyetel tombol pengatur sinyal radio.
“Aku baik-baik saja … sekarang aku berada di ruang kerjaku, di kantor polisi, sebagai asisten detektif untuk mencari orang hilang dalam kondisi hidup atau telah mati.” Suara Evelyn kini terdengar lebih dewasa.
“Jadi, artinya kita punya peluang untuk bertemu?”
“Dengar, Sammy … kami telah menemukanmu.” Suara Evelyn terdengar bergetar.
“Apa maksudmu, Evelyn?”
“Kami telah menemukanmu di sebuah gudang senjata bersama beberapa alat komunikasi di perbatasan Jerman. Samuel J. Pardy, masih dalam seragam angkatan lengkap dengan sebuah senjata revolver di tangan.”
Mik kuletakkan di atas meja.
“Tenanglah, Sammy … jasadmu telah kami bawa untuk dikebumikan di tanah kelahiranmu.”
Seketika pintu dan jendela terbuka. Di luar, tampak hamparan tak bertepi seolah memanggilku. Hamparan hijau berbatas biru. (*)
Serambi Madinah, 20 Agustus 2020
Penulis yang masih belajar merangkai kata ini mengajar Bahasa Inggris di salah satu SMP di Gorontalo. Membaca dan menulis adalah salah satu kegiatannya di waktu luang. Penulis merasa sangat senang jika ada yang ingin menambahkannya sebagai teman literasi di FB.
Tantangan Lokit adalah perlombaan menulis cerpen yang diselenggarakn di grup KCLK.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata