Orang Ketiga, Pria Setia, dan Kekasih Buta
Oleh: Lily Rosella
Juara 2 Tantangan Lokit 7
Jangan bicara tentang halal dan haram pada orang-orang sekarat jika kau tak ingin disebut jalang surga. Mereka takkan menghambakan diri padamu, juga takkan mengagung-agungkanmu hanya karena kau merasa punya bata dari emas dan permata. Mereka hanya akan berpikir, kalau kau mati tentulah dicelup dulu ke neraka untuk membasuh mulutmu—yang hanya dipakai bermuslihat menebar kebaikan padahal tak melakukan sesuatu yang dikatakan.
Ini tahun keempat Orang Ketiga menggeluti dunia kelam sejak anaknya sakit. Ia tak punya pilihan selain bekerja menjadi orang ketiga. Ya, mungkin tak banyak yang tahu pekerjaan semacam ini, dan tak pula banyak yang tertarik untuk dikandaskan hubungannya. Tapi sejauh ini rezeki masih datang untuk Orang Ketiga dari pekerjaan yang tak pernah dipandangnya hina. Cara kerjanya pun sederhana, Orang Ketiga hanya perlu berada di antara pasangan-pasangan tak bahagia sampai waktu yang disepakati dan menerima upah untuk membiayai anaknya yang terkena leukimia.
Pekerjaan semacam ini pun tak selalu berjalan mulus, kadang kesepakatan hanya berdasarkan salah satu pasangan sehingga menimbulkan ketegangan di akhir cerita. Sama seperti di satu hari ketika seorang istri mengancamnya karena tak benar-benar tahu bahwa suaminya menyewa Orang Ketiga untuk dijadikan alasan bercerai. Wanita itu mengacung-acungkan pisau, bersiap menghunusnya ke jantung Orang Ketiga.
“Sandra, kamu gila?”
“Kamu yang gila, Mas. Kamu meninggalkanku untuk perempuan jalang seperti dia!”
Orang Ketiga tampak tenang memperhatikan keributan itu. Baginya ini bukan kali pertama, sehingga ia bisa membedakan mana yang akan bertindak nekat atau cuma menggeretak. Tapi itu kejadian 2 tahun lalu, kali ini kliennya berbeda. Orang Ketiga dibayar Pria Setia untuk berpura-pura menjadi kekasihnya. Hubungan Pria Setia dengan Kekasih Buta yang berbeda agama membuat orangtua Pria Setia tak merestui. Meski begitu, Pria Setia dan Orang Ketiga jugalah tak memiliki keyakinan yang sama tentang Tuhan. Namun, itu urusan belakangan, yang terpenting orangtua Pria Setia tidak tahu kalau anaknya masih menjalin hubungan dengan Kekasih Buta.
“Tenang saja, Pak. Paling putus lagi seperti kemarin,” respons ibu Pria Setia.
Bapaknya hanya mengangguk sepaham. “Setidaknya, sekarang seleranya sudah jauh lebih baik.”
Orang Ketiga tersenyum mendapati jawaban orangtua Pria Setia. Dari yang ia tahu, itu sudah menjadi awal ladang rezekinya. Apalagi Pria Setia berasal dari keluarga berada. Rumahnya yang bercat putih terdiri dari dua lantai. Halaman depan dan belakangnya luas, pun dipenuhi dengan tanaman hias yang lebih didominasi oleh bonsai. Ada kolom renang di bagian kanan belakang rumahnya, juga ada ruangan biliar dan kafe mini di samping ruang kerja Pria Setia. Untuk pergi ke luar rumah saja Pria Setia selalu mengenakan setelan atau pakaian-pakaian bermerek. Dari ujung kepala sampai ujung kaki, semuanya bernilai rupiah mulai dari seperkian juta.
Masih belum ada kesepakatan antara Orang Ketiga dan Pria Setia tentang seberapa lama kerja sama mereka berlangsung. Bisa sebulan, dua bulan, bahkan lebih. Dan itu tak pernah jadi masalah untuk Orang Ketiga karena bayarannya adalah per hari meski ia tak dibutuhkan setiap hari apalagi setiap waktu.
“Apa dia buta?” tanya Orang Ketiga saat pertama dipertemukan dengan Kekasih Buta.
Pria Setia mengangguk dan berkata, “Mungkin itu alasan kedua orangtuaku tak setuju dengan hubungan ini. Buktinya, mereka setuju jika aku menjalin hubungan denganmu, padahal kita juga berbeda agama. Benar-benar tidak adil.”
Orang Ketiga menyimak cerita Pria Setia, berusaha masuk pada kisah dua sejoli yang sama-sama didera patah hati. Pria Setia bisa saja nekat mengajak Kekasih Buta kawin lari, memboyongnya ke luar negeri, atau menyebunyikannya di tengah rimba sehingga tak ada seorang pun yang bisa memisahkannya mereka. Tapi, Kekasih Buta menolak. Restu orangtua Pria Setia benar-benar diharapkannya sebab Kekasih Buta tidak ingin meyatim piatu seumur hidup.
“Kau bekerja?”
Kekasih Buta tersenyum, senyum yang begitu indah menurut Orang Ketiga. Penuh ketulusan dan sangat menyejukkan. “Menjahit pakaian,” jawabnya singkat.
“Benarkah?”
“Iya.”
Orang Ketiga mengangguk, melirik Pria Setia yang sedang duduk di samping Kekasih Buta sambil menggenggam erat tangan kanan kekasihnya.
“Kau pernah menjahit pakaian untuknya?” tanya Orang Ketiga lagi.
“Sesekali.”
“Ah, sungguh sangat beruntung,” gumam Orang Ketiga sembari tersenyum kepada Pria Setia, begitu juga sebaliknya.
Rambut yang tersisir rapi, jas hitam, celana bahan warna senada, kemeja putih, serta sepatu kilap yang mungkin baru disemir tadi pagi, semua itu benar-benar berlawanan jika disandingkan dengan Kekasih Buta yang berpakaian ala kadarnya. Tapi, sepertinya ketulusan dan kelembutan Kekasih Buta-lah yang membuatnya teramat jatuh cinta.
***
Waktu terus berlalu dua bulan lamanya. Orang Ketiga, Pria Setia, dan Kekasih Buta sudah cukup dekat. Mereka sering bertemu. Kadang Orang Ketiga menghabiskan satu-dua malam hadir di acara-acara Pria Setia, mendampinginya dan diperkenalkan kepada sanak keluarga. Kadang juga Orang Ketiga menghabiskan sore sembari mendengar Kekasih Buta bercerita menunggu Pria Setia pulang bekerja.
Seperti sore ini, kala daun kering dari pohon mangga di samping rumah Kekasih Buta jatuh saat tangkainya yang rapuh disenggol angin sepoi-sepoi, mendarat tepat di pangkuan Orang Ketiga yang sedang duduk di bale-bale. Orang Ketiga dan Kekasih Buta seperti biasa menghabiskan sore dengan saling bercerita tentang masa kecil atau tentang bagaimana Kekasih Buta bisa mengenal dan jatuh cinta kepada Pria Setia. Dalam jedanya, Orang Ketiga juga sering menatap Kekasih Buta yang sibuk menerka-nerka seperti apa warna senja yang dikata orang sangat indah.
“Sepertinya dia terlambat,” keluh Kekasih Buta setelah azan magrib berkumandang.
Mereka tak beranjak dari sana. Tetap duduk dan memandang jalanan lengang yang terkadang dilewati satu-dua orang berbaju koko dan berkain sarung atau celana panjang. Jika suara deru kendaraan mendekat dari kejauhan 100 meter, maka Orang Ketiga segera menoleh ke arah suara itu berasal, tapi tidak dengan Kekasih Buta. Kekasih Buta sudah hafal suara mesin Pria Setia, aroma parfumnya, juga aroma tubuhnya.
“Dia tidak datang malam ini,” serunya dengan ekspresi yang dibuat-buat agar terlihat tenang.
Azan isya sudah berkumandang, mereka berdua masuk ke rumah Kekasih Buta yang berukuran 4×5 meter. Berbeda jauh dengan rumah Pria Setia, di rumah ini hanya terdapat satu kasur tanpa dipan, sebuah meja persegi yang dihimpit dua buah kursi kayu, meja yang terdapat mesin jahit dan menghadap ke jendela, serta kursi plastik berwarna hijau.
“Berapa umur anakmu?” tanya Kekasih Buta.
Orang Ketiga tak langsung menjawab. Diambilnya piring dan sendok untuk diletakkan di hadapan Kekasih Buta, kemudian menuangkan nasi dan gulai kambing yang sudah dibawanya sejak datang sore tadi.
“7 tahun,” jawab Orang Ketiga setelah Kekasih Buta menyuap sesendok nasi.
Kekasih Buta mengangguk. Meski hatinya sedikit tak rela harus berbagi Pria Setia, tapi memberikan pekerjaan semacam ini kepada Orang Ketiga bukanlah sesuatu yang perlu diributkan. Toh, mereka masih bisa menjalin hubungan secara diam-diam sampai kiranya orangtua Pria Setia dapat memberikan restunya.
“Boleh aku menjenguknya kapan-kapan?”
Orang Ketiga menghentikan langkahnya. Salah satu tangannya memegang rantang dan satunya lagi belum sempat memegang gagang pintu. Ditatapnya Kekasih Buta sejenak dan sebuah perasaan bersalah menjalar pada diri Orang Ketiga. Ditimbang-timbangnya jawaban sembari hati kecilnya bertanya, “Sepertinya akan lebih baik jika aku meninggalkan pekerjaan ini dan menikah. Mungkin pangeran kecilku tidak hanya ada yang membiayai berobat, tapi juga memiliki seorang ayah.”
“Apa kau keberatan? Sepertinya ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu,” tanya Kekasih Buta yang bisa merasakan atmosfir kesedihan dalam diri Orang Ketiga.
Orang Ketiga menggeleng. Berusaha meyakinkan hatinya sendiri bahwa perasaan yang muncul itu bukanlah cinta. Orang Ketiga tidak boleh mencintai kliennya sendiri dan itulah yang terus ia pegang teguh selama empat tahun. “Tidak. Kapan pun kau mau,” jawabnya.
***
Kesepakatan kerja telah berakhir di bulan keenam. Pria Setia duduk di samping anak Orang Ketiga, mengenakan setelan berwarna biru dongker. Orangtuanya berdiri tak jauh darinya dengan perasaan yang campur aduk, mereka tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
Tak banyak orang yang datang, hanya beberapa kawan juga dua orang keluarga Orang Ketiga yang memenuhi ruang rawat inap pangeran kecilnya. Dibalut gaun putih panjang dan rambut yang dihias serupa kembang, Orang Ketiga tersenyum kala ijab kabul selesai terucap. Meski ada sedikit perasaan bersalah, namun dipandangnya Kekasih Buta yang kini telah resmi menjadi suaminya.
“Selamat,” ucap Pria Setia yang masih setia sampai akhir, “mungkin aku akan mencari kekasih baru yang takkan meninggalkanku untuk seorang wanita.” (*)
Jakarta, 06 Oktober 2018
Lily Rosella, penulis amatir asal Jakarta.
Tantangan Lokit adalah lomba menulis yang diadakan di Grup KCLK
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata