Orang Baik
Oleh : Imas Hanifah N.
Pagi yang tidak seperti biasanya. Aku masuk kantor pukul delapan lewat. Itu artinya kesiangan. Akan tetapi, aku tidak mendapat teguran apa pun dari bos.
“Tidak apa-apa, langsung kerjakan saja pekerjaan kamu yang belum selesai.”
“Tapi, Pak. Saya ….”
“Sudah, kerja saja.”
Itu bukan hal yang mengherankan sebenarnya. Ini sudah kali ke sekian, bos bersikap baik padaku dan rekan kerjaku yang lain juga tak mempermasalahkan hal tersebut.
“Rudi, kamu orangnya baik sih, makanya bos suka.”
“Duh, Rudi, kamu itu baik sekali. Terima kasih sudah membantu.”
“Ah, mana mau Rudi datang ke tempat karoke. Dia kan orangnya baik.”
Kalimat-kalimat semacam itu, selalu ditujukan padaku hampir setiap hari. Padahal, aku memang melakukan hal-hal yang seharusnya dilakukan. Bagiku, semuanya biasa saja. Tak ada yang istimewa. Mereka yang berlebihan menganggapku ‘orang baik’.
“Rud, bisa tolong ambilkan minum?” seorang rekan kerja bernama Fahmi bertanya padaku. Aku mengangguk dan segera mengambil air minum.
“Makasih ya, Rud. Kamu baik.”
“Iya, sama-sama.”
Aku kembali membuka berkas tentang proyek wisata kemarin. Perusahan tempatku bekerja memang sedang mengadakan proyek mengenai paket wisata murah. Objek wisatanya tentu bertujuan mengangkat wisata lokal. Salah satunya adalah, tempat ziarah wisata di Plangon, Cirebon.
Tempat ziarah yang unik dan tentunya sangat menarik. Apalagi cerita mengenai monyet-monyetnya yang berjumlah ratusan. Banyak yang bilang, bahwa jika pengunjung membawa salah monyet itu ke rumah, maka akan mendapat kemalangan. Versi lain cerita tentang monyet di Plangon adalah bahwa monyet-monyet tersebut adalah prajurit yang dikutuk.
“Rud, bisa tolong benerin hapeku? Ini kok eror, ya?” Karina menghampiri mejaku dan menyodorkan ponselnya. Aku memeriksanya sebentar dan langsung menemukan masalahnya.
“Sepertinya, ini harus dibersihkan lewat komputer. Ada virus di hapemu.”
“Oh ya? Bisa tolong kamu bersihkan?”
“Oke, aku bersihkan. Kamu balik aja dulu.”
“Ih makasih, Rud. Kamu baik banget.”
Aku hanya mengacungkan jempol. Sambil menyambungkan kabel data dan ponsel Karina, aku mulai memikirkan proyekku lagi.
Tempat wisata di Plangon itu, tidak terlalu terkenal secara nasional. Ya, hanya sekitaran daerah Cirebon dan Jawa Barat saja yang tahu. Maka dari itu, aku haruslah membuat iklan yang fenomenal untuk meraih banyak wisatawan.
“Rud, maaf ….”
“Eh, apa?” tanyaku kaget ketika melihat Fahmi menyodorkan uang lima puluh ribu. Ada apa ini?
“Bisa tolong belikan cemilan? Aku benar-benar banyak pekerjaan.”
“Ah, oke. Aku akan belikan. Sekalian aku juga mau beli.”
Fahmi berlalu dengan riang. Aku beranjak menuju kantin.
“Rud, mau ke kantin? Aku titip batagor ya?”
Aku mengangguk setelah menerima uang dari Karina.
“Rud, sekalian belikan aku batagor juga,” ucap Susi ketika aku lewat di depan mejanya.
Aku hanya mengangguk dan menerima uang darinya. Kemudian, mulai mengingat pesanan teman-teman.
***
Jam kantor sudah usai. Namun tidak dengan pekerjaanku. Masih banyak yang harus diurus dan entah mengapa, aku lebih suka mengerjakannya di rumah daripada di kantor.
“Rud, kamu mau ikut?” tanya Susi.
Rombongan rekan kerhaku seketika berhenti berjalan.
“Loh, Rudi gak mungkin ikut. Dia pasti banyak kerjaan,” ucap Fahmi.
“Iya, Rudi orangnya rajin dan baik. Dia pasti gak akan mau ikut kita. Buang-buang waktu saja, kan, Rud?”
“Hehe, aku memang tidak bisa ikut. Ada banyak pekerjaan.”
“Nah kan, apa kubilang ….” Fahmi terlihat merasa menang. Karena jawabanku, mempertegas pernyataannya.
“Ya sudah, aku pergi dulu ya,” ucapku pada mereka. Lebih cepat sampai ke rumah, lebih baik. Itu berarti, aku bisa tidur lebih cepat. Jangan sampai, besok kembali kesiangan.
***
Pagi yang lumayan baik. Aku tidak kesiangan. Akan tetapi ….
“Rud, kamu bisa tolong handle kerjaan aku, nggak?” tanya Fahmi tiba-tiba.
“Lho, memangnya kamu kenapa? Aku takut salah, takut gak sesuai sama apa yang kamu biasa kerjakan.”
“Terserah, Rud. Pokoknya aku gak bisa kerjakan sekarang. Mataku berat. Semalam itu, aku karoke sampai jam dua.”
Aku menghela napas. “Oke. Mudah-mudahan aku bisa, ya.”
“Nah, gitu dong. Makasih ya, kamu emang baik, Rud.”
Menerima berkas dari Rudi, sepertinya aku harus menunda pekerjaanku dulu. Pekerjaan Rudi harus kuselesaikan secepatnya. Agar aku bisa menyelesaikan proyekku dengan lebih leluasa.
“Rud, hapeku eror lagi, lho.”
Baru saja membuka beberapa halaman, Karina menghampiriku.
“Oke. Biar kuperbaiki.”
“Makasih ya, Rud. Kamu emang baik, deh.”
Aku hany mengangguk dan mengacungkan jempol tanda tak masalah. Sepertinya, pekerjaannku harus ditunda.
“Rud, tolong dong ….”
Suara Susi membuatku berhenti menyelesaikan pekerjaan Fahmi.
“Ada apa?”
“Tolong cek lagi berkas ini. Mau? Aku sakit perut nih.”
Aku menoleh ke arah berkasnya. Berkas Fahmi dan ponsel Karina masih harus diperiksa. Sekarang, tambah satu lagi?
“Gimana, Rud? Kamu bisa?”
“Ehm, oke kalau gitu. Sini, nanti aku periksa.”
“Makasih ya, Rud. Kamu baik sekali.”
Aku mengangguk.
Aku kembali berkutat dengan tumpukan pekerjaan. Bahkan, aku sampai melewatkan jam istirahat. Selesai jam kantor, pekerjaan Fahmi, ponsel Karina dan berkas Susi akhirnya selesai. Yang tersisa hanyalah pekerjaanku. Proyek wisata lokal yang harus kuselesaikan secepatnya.
Namun, sesampainya di rumah, aku malas mengerjakan. Lebih tepatnya, aku sudah lelah sekali, sampai-sampai, ketiduran.
Pukul dua dini hari, aku terbangun. Melihat pekerjaanku yang belum juga selesai, aku jadi stres sendiri. Setelah dipikir-pikir, ini semua karena Fahmi, Karina, dan Susi. Mereka bertiga selalu menyuruhku melakukan banyak hal ketika di kantor. Setelah dipikir lagi, permintaan mereka, semakin lama, semakin berani.
Fahmi dan Susi yang awalnya selalu meminta diambilkan minum atau membelikan cemilan, kini beranjak menyuruhku mengerjakan pekerjaan mereka. Karina juga. Bukankah, ia tahu aku sedang sibuk? Tapi ia tetap menyuruhku memperbaiki ponselnya? Mereka semua penyebabnya.
Aku melihat jam dinding. Pukul dua lewat lima belas. Jujur saja, aku masih sangat mengantuk. Namun, pekerjaanku menahan mata ini untuk kembali terpejam.
Mungkin, besok, aku harus melakukan sesuatu yang tidak biasanya. Aku tidak bisa begini terus.
***
“Rud, boleh minta tolong?” tanya Fahmi ketika aku hampir menyelesaikan proyek wisata yang belum juga final dari kemarin-kemarin.
“Maaf, aku gak bisa. Aku sedang banyak kerjaan.”
Aku tak menyangka. Satu kalimat itu bisa meluncur dari mulutku begitu mudah dan membuat Fahmi tak bisa berkutik. Ia langsung pergi tanpa mengatakan apa pun. Ah, masa bodoh. Terpenting sekarang, pekerjaanku harus segera selesai.
Sama halnya dengan Karin dan Susi. Aku merespons permintaan mereka dengan kalimat penolakan. Mereka terlihat kecewa, tapi aku lega karena dengan begitu, pekerjaanku pun menemui kata selesai.
Melihat mereka begitu murung karena tak mendapat bantuan dariku, aku merasa tidak enak. Tenang saja, besok, aku akan bersikap seperti biasa. Membantu mereka lagi.
Ah, kadang-kadang, aku kesal jadi orang baik.
2019
Imas Hanifah Nurhasanah. Wanita kelahiran 22 tahun silam ini bercita-cita menjadi penulis sejak kecil. Ia juga menyukai jus alpukat, kucing dan kelinci. Keinginannya menulis berawal dari kebiasaan sang ibu yang terus memberinya buku bacaan ketika masih di Taman Kanak-kanak. Majalah Bobo, Mangle dan bacaan lainnya.
Ia bisa dihubungi via sosial media di facebook: Imas Hanifah N atau Ig: @hanifah_bidam.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata