Open Ending (Terbaik 3, TL 22)

Open Ending (Terbaik 3, TL 22)

Tantangan Loker Kata 22

Naskah Terbaik 3

Open Ending

Oleh: Ann Soul

 

Windy duduk selonjoran di  kursi panjang, dengan sebuah buku yang melekat sepanjang malam di genggaman, sembari sesekali menyeruput kopi arabika yang telah dingin. Matanya belum lelah memindai rangkaian kata demi kata yang dengan kecepatan kilat ia ubah ke  bentuk visual di dalam otaknya. Ia seakan-akan melihat secara langsung sebuah adegan di mana seorang wanita tengah diburu oleh sekelompok orang-orang bersenjata. Wanita itu terus berlari meski kaki dan paru-parunya ingin menyerah.  Di tengah kemungkinan hidup yang makin menurun, dengan kejam Tuhannya menciptakan jurang di hadapan wanita itu.

“Sialan! Dengan sisa seperdelapan halaman, ia bisa apa? Terbang? Author kampret!” keluh Windy sambil menutup kuat-kuat bukunya. Lalu ia melempar buku itu ke meja bundar di sampingnya. Ia tidak sampai hati membuangnya ke lantai. Bagaimanapun, ia harus menghargai uang seratus ribu yang telah ia tukar dengan sebuah kisah romansa berpadu aksi kejar-kejaran.

Demi menghargai uang seratus ribu itu pula, Windy bersedia melanjutkan membaca akhir kisah wanita dalam buku, meski ia yakin hanya akan menemukan akhir yang buntu. Benar saja,  dada Windy seketika sesak tatkala tokoh wanita hanya bisa terengah-engah di bibir jurang, sambil menatap pasrah beberapa laki-laki yang tengah mengacungkan senjata api.

“Tamaaat!” seru Windy dengan penekanan. Buku telah selesai dibaca, tapi sesak di dadanya belum pergi. Tidak hanya dada, kepalanya pun dijejali pertanyaan, apakah akan ada lanjutannya? Kalau iya, harus menunggu berapa lama wanita itu terengah-engah di bibir jurang?

Lalu secara tiba-tiba, sebuah ide muncul, sekaligus menjadi solusi atas segala pertanyaan yang  mengganggu pikiran Windy.

Dengan terburu-buru, Windy meneguk habis kopinya. Ia sempat mengernyit tatkala ampas kopi turut tertelan. Namun, bukannya berhenti, ia malah menelan habis seluruh isi cangkir tanpa sisa.

Windy meraih pena yang kebetulan ada di meja. Lalu ia menggeser tubuhnya ke lantai. Kemudian ia menggoreskan penanya di halaman terakhir buku sembari terkekeh.

***

Marin tahu betul bahwa ia telah sampai di ujung cerita. Jurang yang sedang bersiap menelannya, terhalang dinding tak kasat mata. Ia tidak akan terjatuh meskipun ia mau. Begitu pula dengan pria-pria yang memburunya. Mereka tidak bisa melakukan apa pun kecuali berputar balik.

“Menyerahlah! Lebih baik kita kembali,” ucap salah satu laki-laki yang memburunya, dengan lantang.

“Kita? Kau mengajakku? Ke mana? Matt? Kantor polisi?”

“Kembali, atau kupecahkan kepalamu!” Lelaki itu mulai gusar.

Marin tersenyum sambil berkacak pinggang. Lalu ia merentangkan kedua tangannya. “Tembaklah!”

“Jalang keparat!”

Angin hangat beraroma kopi berembus, membuat perhatian Marin tertuju ke langit yang tampak mulai redup. “Dia masih di sini rupanya.”

Lalu bumi bergetar. Getaran itu menciptakan retakan di dinding tak kasat mata, yang langsung mengingatkan Marin pada hari di mana ia berusaha menerobos ke dalam rumahnya sendiri melalui jendela. Tidak hanya jendela, hatinya pun  pecah berkeping-keping saat itu.

Sontak Marin menjauh dari dinding, melihat retakan yang makin meluas. Namun, dugaan Marin salah. Garis-garis rambat yang sempat terlihat berkilau itu perlahan memudar, lalu menghilang. Segala yang ada di hadapannya kini terlihat lebih jernih.

Marin melangkah, melihat ke bawah jurang. Ada sungai yang mengalir di bawah sana. Ia lantas tersenyum tipis tatkala melihat akar-akar pohon yang menjulur di dinding jurang. “Jalan keluar?”

“Diam di tempat!”

Marin bersiap untuk menjalankan rencananya. Namun, ketika ia melangkah, kakinya malah tersandung. Ia terpeleset, lalu meluncur, terbawa arus gravitasi.

Mata Marin membelalak ketika tubuhnya menembus udara yang dingin. Anehnya, hanya itu yang ia rasakan. Debar jantung, napas, aliran darah, semuanya  normal. Bahkan ketika Marin membentur air, ia langsung bisa berenang dengan mudah, lalu menepi, mencari tempat yang tepat untuk memikirkan hal yang baru saja dialaminya.

Marin memilih duduk bersandar di bawah pohon yang daunnya mulai berguguran. Ia memeluk lututnya sembari bergumam, “Mengapa dia membuatku tersandung? Sangat tidak keren!”

“Terlalu cepat, terlalu hambar, terlalu mudah. Tentu saja itu bukan kau, Lily.”

Semilir aroma kopi kembali tercium oleh hidung Marin yang bangir. Kali ini aromanya sedikit lebih kuat. Lantas ia bangkit, lalu menyusuri jalan setapak, mengikuti jejak aroma kopi. Makin ia melangkah, pohon-pohon di kiri dan kanannya makin berkurang, berganti dengan rumah-rumah yang berderet di sepanjang jalan, di bawah langit yang telah pekat sempurna.

***

Waktu pada jam dinding menunjukkan pukul lima tepat. Windy telah menyiapkan secangkir kopi yang kedua. Ia memutuskan untuk mengabaikan waktu tidurnya demi bisa mengejar bus angkutan karyawan pukul enam pagi.

Windy duduk bersila di lantai. Ia membuka kembali halaman terakhir buku yang baru selesai ia otak-atik. Ia tertawa puas melihat guratan penanya berhasil membentuk dua paragraf baru.

“Aku cukup berbakat ternyata.” Ia menyeruput kopi yang masih berasap sambil memejamkan mata dalam-dalam. Ia ingin menikmati waktu senggangnya yang tinggal sedikit, sebelum pergi mandi. Namun, setelah mendengar suara pintu yang diketuk, ia tahu bahwa ia tidak bisa bersantai lebih lama.

“Orang gilak!” umpat Windy sembari beranjak, melangkah hingga depan pintu, lalu menyingkap gorden, melihat siapa yang datang pagi-pagi buta.

“Kampret!” Windy tersentak melihat sesosok wajah pucat yang mengintip dari balik jendela. Akan tetapi, dengan cepat ia bisa menguasai diri. Dilihatnya lekat-lekat sosok itu. Jejak udara yang tertinggal di permukaan jendela membuktikan bahwa sosok itu bukanlah hantu.  Windy pun membuka pintu dengan amarah yang tertahan di dada.

Pintu belum terbuka lebar, tapi  orang itu sudah menerobos masuk, membuat Windy makin geram. “Lancang!”

Wanita itu menghentikan langkahnya secara mendadak. Ia meliarkan pandangannya sembari mengendus-endus udara di dalam rumah. Kemudian ia menyeringai tatkala melihat secangkir kopi dan sebuah buku berjudul, Something That I Already Know, di atas meja bundar. Ia mengambil buku itu, membuka bagian akhir, lalu mengembuskan napas kasar. Ia berbalik, menatap Windy seraya menunjuk-nunjuk, “Itu kau, kan?”

“Kau, kan, yang membuatku tersandung di tepi jurang?”

Dahi Windy mengerut. Ia tidak terima diperlakukan seperti tersangka atas sesuatu yang ia sendiri tidak mengerti. Terlebih, itu dilakukan oleh seorang penyusup. Namun, Windy belum ada niat untuk membela diri. Melihat keberanian si wanita menerobos masuk ke rumah, lalu postur tubuhnya yang lebih tinggi dan besar, membuat Windy memutuskan untuk tetap waspada.

“Padahal aku bisa menuruni jurang  melalui akar-akar pohon. Tapi kau malah membuatku terpeleset. Kau telah menghancurkan gambaran seorang wanita keren. Kau bahkan tidak ….”

“Aku tidak mengenalmu!” Akhirnya Windy mampu menyelanya.

“Benarkah? Kau yakin?” tanya wanita itu sambil membuka kedua tangannya.

Lantas Windy mengamati si wanita dari ujung rambut hingga kaki. Rambut berwarna cokelat melebihi bahu, lalu mata hijau-kebiruan, mengingatkan Windy pada seseorang. Namun, ingatan itu masih samar. Begitu pula dengan sifon hijau yang membungkus tubuh wanita itu dengan anggun, terasa tidak asing, tapi sama sekali tidak memberikan petunjuk. Windy pun menggeleng.

“Marin, tokoh wanita dalam buku yang kau baca.” Wanita itu menyodorkan tangannya. Windy menggeleng sambil memelotot.

“Kamu sangat memenuhi kriteria orang Spanyol. Tapi jelas-jelas kamu tidak berbahasa Spanyol.”

“Hei, aku sudah diterjemahkan.”

Windy memijat kepalanya sembari meringis.

Lalu wanita itu mengeluarkan sesuatu dari dalam saku bajunya, yang seketika membuat Windy membekap mulutnya sendiri. Ia bermaksud memperkecil pekikan yang sulit  ia cegah.

“Berlian Biru Harapan yang dicuri dari Matt?” Mata Windy memantulkan cahaya biru.

“Percaya?”

“Belum! Kita cek dulu di toko perhiasan. Sepulang kerja, kita ke pasar sama-sama. Setuju?”

Wanita itu mengusap wajahnya kuat-kuat. “Aku tidak punya waktu untuk hal konyol seperti itu. Aku hanya ingin kau bertanggung jawab atas apa yang kau lakukan padaku. Kau bahkan membiarkanku jatuh dari ketinggian tanpa emosi sedikit pun. Apa kau tahu rasanya terpeleset? Apakah jantungmu akan baik-baik saja ketika seseorang tiba-tiba mendorongmu? Ah, kau sangat berbeda dengan Lily.”

“Lily? Siapa lagi?” Windy menggaruk kepalanya.

Wanita itu mendengkus. Ia mengambil buku di atas meja, lalu menunjuk bagian bawah sampul buku yang dihiasi huruf-huruf yang membentuk sebuah nama, ‘Lily Turner’. Windy hanya bisa menelan ludah.

Lalu suara ketukan pintu terdengar kembali. Windy berdecap kesal. Namun, seperti yang sudah-sudah, ia tetap menghampiri pintu, menyingkap gorden untuk melihat siapa yang datang. Di luar, ada lima laki-laki bertubuh kekar yang sedang menunggu Windy membukakan pintu.

“Mereka di sini.” Wanita itu merunduk, menyelidik dari balik punggung Windy.

“Orang-orang suruhan Matt?”***

Lampung, 14 Desember 2025

Ann Soul, seorang ibu rumah tangga yang sehari-harinya di rumah saja.

Komentar Juri, Imas Hanifah N: 

Salah satu kelebihan yang dimiliki cerpen Open Ending karya Ann ini adalah karena ceritanya terasa begitu dekat. Coba pikirkan, sudah berapa kali kita membaca sebuah novel atau mungkin menonton sebuah film dengan ending yang terbuka dan diserahkan pembaca? Rasanya kadang-kadang  kesal, bukan? Saya paham apa yang Windy rasakan, sehingga ia pun mencoba mengubah akhir cerita yang dibacanya. 

Kelebihan lainnya tentu saja adalah cerpen Open Ending ini memiliki kekayaan subteks yang sangat menarik. Tokoh Marin keluar dari cerita dan mempertanyakan keputusan Windy yang mengubah takdirnya dengan keputusan yang menurut Marin, kurang bagus. Bukan karena ia tidak ingin selamat, tapi karena cara jatuhnya dan kondisi setelah ia jatuh yang seakan-akan tidak diberi emosi. Windy berbeda dengan Lily, si penulis asli. Windy hanya seorang pembaca yang mengubah takdir Marin sesuai keinginannya tanpa pertimbangan apa pun, sedangkan Lily tentu saja memandang Marin sebagai tokoh yang tindak-tanduknya harus berterima. Karena kelebihan-kelebihan inilah, cerpen Open Ending layak mendapatkan juara 3.