Onna-Bugeisha
Oleh: Ksitihanna
Bunga sakura bermekaran di negara Wa. Sementara pasukan Permaisuri Jingu tak kenal mati menyerang Silla dengan membabi buta. Mereka mengangkat samurai tinggi-tinggi, berperang untuk menaklukkan. Banyak prajurit yang berguguran seakan kontras dengan mekarnya sakura saat musim semi
“Seraaang!” suara nyaring Permaisuri Jingu membangkitkan semangat pasukannya.
Aku merupakan salah satu dari pasukan Silla, secara gerilya mengangkat mayat-mayat yang bergelimpangan saat bintang-bintang bercahaya. Dengan rasa was-was, aku membersihkan medan perang, meski bau busuk dari mayat tersebut membuat mual, aku bisa apa? Hanya itu yang bisa aku lakukan untuk mencari nafkah saat perang.
Kondisi Silla sudah memprihatinkan. Hampir tiga tahun lamanya penyerangan Permaisuri Jingu meluluhlantakkan kota kerajaan. Membuat rakyat Silla kelaparan. Keluargaku juga tinggal di desa dekat perbatasan kota dalam kondisi yang sama. Menunggu untuk sesuap nasi yang kubawa sekadar mengisi perut yang kosong.
Akan tetapi, nasib buruk belumlah berakhir bagi Silla. Aku yang memang bertugas untuk mengangkat mayat-mayat di daerah peperangan. Tak peduli siapa lawan atau kawan, semua aku seret ke tepi, lalu dikuburkan massal. Aku membersihkan medan hingga batas wilayah di mana prajurit dari Permaisuri Jingu berada.
Aku tertangkap, diduga mata-mata oleh pihak musuh. Lalu, aku dihadapkan kepada pemimpin mereka. Ia baru saja menjadi kaisar perempuan bernama Jingu yang digelari permaisuri, istri Kaisar Chuai yang telah wafat. Permaisuri bermata sipit itu menatapku lekat. “Katakan, apa yang kau lakukan di sekitar sini?”
“Aku hanya pengutip mayat di medan perang, Yang Mulia,” jawabku, terdengar gemetar bahkan oleh diri sendiri.
“Hanya pengutip mayat!” kedua mata sang permaisuri dengan samurai di punggungnya menelisik ke kedalaman mataku. Mencari tahu apakah aku berbohong atau tidak?
Aku bergeming. Tangan dan kakiku terikat. Meski gentar, aku takboleh memperlihatkan rasa takut ini di hadapan musuh negara. Aku harus bungkam.
“Katakan apa yang kau tahu tentang Silla?” tanya sang permaisuri, “Aku mungkin bisa mengampunimu. Apa kelemahan prajurit mereka?”
“Kau wanita busuk, pembunuh rakyat jelata tak bersalah!” aku meneriakinya, lalu meludah tepat di wajahnya yang dipenuhi pupur putih. “Kau seperti Geisha! Kau menganggap dirimu kaisar?”
“Aku memang kaisar, Negara Wa zaman Yayoi memulai masa berdirinya pemerintahanku!”
Aku menggeram, menatap matanya yang seperti celah hitam pada wajah setan di kuil.
“Jadi, ada yang ingin kau katakan? Aku akan memberimu uang, kekuasaan di Silla. Kau juga tak harus mengutip mayat-mayat itu lagi.”
Amarahku menguap. Aku menunduk, memikirkan kesempatan yang bisa diambil dari membocorkan rahasia. Kemudian, aku kembali menatap mata si permaisuri. “Aku akan memberitahukan kepadamu, tapi secepatnya kalian menghentikan perang!”
“Baik, katakanlah,” permaisuri tersenyum.
“Raja bersembunyi di Utara, tangkap dia kalau kau ingin menaklukkan Silla.”
“Di mana tepatnya rajamu yang pengecut itu?”
“Di dalam hutan.”
Permaisuri Jingu langsung mengirim pasukan ke sana. Ia sendiri duduk di kursi kebesarannya sambil meminta penjaga membuka ikatan yang membelengguku. Kemudian, beberapa geisha berpupur putih tebal dengan bibir merah menyala, masuk ke tenda tersebut. Mereka menghidangkan aneka makanan, lalu beberapa lainnya melayaniku bak raja.
Permaisuri Jingu mempersilakan aku untuk menikmati hidangan dan wanita. Tampak indah memang dan aku terjerat. Aku mabuk oleh sake, atau kami menyebutnya arak beras. Nikmat tiada tara. Seketika itu juga kehancuran untuk Silla, maupun untukku.
Bukannya menghentikan perang, permaisuri dengan samurai itu justru memenjarakan aku. Mereka menangkap raja kami, para pejabat dan bangsawan dieksekusi. Hal paling memilukan bagiku, tatkala mereka membawa istri dan anak perempuanku sebagai budak para prajurit yang gila syahwat. Mereka bahkan mempertontonkannya di hadapan para tawanan.
Aku mengepalkan tangan. Sumpah serapah keluar dari bibir ini agar wanita sialan itu mati. Namun, aku salah. Bagi kami bangsa Silla, Permaisuri Jingu merupakan seorang tiran, tapi bagi kerajaan Wa, ia merupakan pahlawan bangsanya. Samurai wanita dengan kekuatan tempur yang hebat. Hal itu menyakiti hatiku.
Rasanya memalukan. Aku hanya bisa jadi pengecut dengan menjadi pengkhianat bangsa sendiri. Dibandingkan Permaisuri Jingu, aku hanya lelaki sampah.
Ketika hukuman bagi raja kami tiba, rakyat jelata sepertiku dijual. Aku dikirim ke negeri paling timur, Negara Wa. Negara yang menyembah matahari di mana Permaisuri Jingu sebagai kaisar.
Selama di Wa, aku tak melihat lagi keberadaan istri dan anak perempuanku. Hidup mereka hancur gara-gara aku. Seumur hidup aku akan menyesalinya. Aku membiarkan saja perlakuan mereka yang semena-mena agar utang pengkhianatan ini bisa terbayarkan, meski harus mencurahkan darahku yang kotor sebagai tumbalnya.
Gunung Tilu, 19 Juli 2023
Ksitihanna, pencinta fantasi. Belajar menulis sejak 2019. Mengikuti berbagai event juga nulis bersama di berbagai grup kepenulisan. Berharap menjadi penulis fantasi Indonesia.