Onggo-Inggi (Terbaik ke-18 TL 20)

Onggo-Inggi (Terbaik ke-18 TL 20)

Terbaik Ke-18 TL 20
Genre Folklore
Onggo-Inggi
Oleh: Reza Agustin

 

Siang itu agak geger. Langit cerah tanpa setitik awan mendadak dipenuhi gerombolan mega kelabu. Tidak berselang lama, hujan mengguyur. Untari dan Simbok buru-buru mengamankan gabah yang dijemur di halaman. Simbok duduk-duduk di teras mengipasi badannya, Untari keluar membawa sebotol air mineral dingin dari kulkas. Simbok menolak.

“Orang masih panas jangan dikasih air dingin. Nanti mati.” Kelakar Simbok.

“Simbok terlalu mudah menyebut kematian. Padahal Simbok sehat-sehat saja.”

“Kamu pasti belum tahu kalau hujan tadi adalah pertanda dari langit.”

Jejak hujan yang masih basah tidak bertahan lama. Matahari muncul dari balik awan. Hujan pada puncak musim kemarau diyakini dari generasi ke generasi menjadi sebuah pertanda buruk, lebih tepatnya kematian. Kali yang telah menghidupi sawah-sawah tadah hujan meminta imbalan atas kemurahan hatinya. Ia ingin tumbal manusia. Penguasa kali—onggo-inggi—telah memberikan tanda. Hanya menunggu waktu saja.

“Bapakmu dulu juga mati dibawa onggo-inggi. Hawanya seperti ini juga. Lama tidak turun hujan, tahu-tahu saja hujan deras sehari. Kali dipenuhi ikan-ikan mati. Bapakmu pamit hendak menjala mereka, tapi kembalinya berhari-hari kemudian jadi mayat.”

Simbok akan menceritakan kematian Bapak tiap kali hujan sehari tiba. Kali ini bukan hujan sehari, malah tidak bertahan sampai setengah jam. Jalan yang semula dipenuhi titik-titik air telah mengering.

Berbicara tentang mendiang Bapak, tidak ada yang mengalahkan kerja kerasnya. Juga tangan dinginnya. Keluarga mereka jauh dari kata kaya. Untuk makan sehari-hari mengandalkan upah buruh dan hasil berjualan kebun  yang tidak seberapa. Kalau betul-betul tidak ada lauk, Bapak akan turun ke kali mencari ikan. Ia lebih takut kelima anak dan istrinya kelaparan daripada mati dibawa onggo-inggi. Maka Bapak berangkat ke kali pada keesokan hari setelah hujan itu turun.

Sebelum ayam jago berkokok, ia pamit menjala ikan. Mengabaikan rintihan Simbok yang menahan-nahan kepergiannya. Untari masih ingat betul pada subuh itu pipi Simbok memerah sehabis ditampar Bapak. “Perempuan tak boleh mengatur laki-laki! Harusnya kamu tahu itu!”

Pada dasarnya sifat pekerja keras Bapak berasal dari caranya memperlakukan orang lain. Simbok bukan sekali dua kali diperlakukan seperti itu kalau Bapak sedang marah. Untari selalu berdoa agar ia dijauhkan dari pria sekeras Bapak. 

“Tari … sampai sekarang pun, Simbok tak pernah tahu bagaimana rupa bapakmu ketika ia mati. Tubuhnya kembali saja sudah sebuah anugerah. Onggo-inggi sering kali menyembunyikan jasad manusia. Di lubang-lubang kecil dalam sungai yang tak satu pun orang dapat memasukinya. Maka dari itu tubuhnya menghilang selama berhari-hari.”

Onggo-inggi adalah eksistensi yang dipercaya menguasai kali. Mudahnya penunggu kali. Ada yang menyebutnya menyerupai ular atau ikan besar. Beberapa orang meyakini juga onggo-inggi berwujud manusia atau kepalanya saja. Sampai sekarang, tidak seorang pun tahu bagaimana rupa aslinya. Soal bagaimana ia memasukkan jasad manusia ke dalam lubang-lubang kecil itu, bukan hal yang bisa dijelaskan dengan nalar. Memercayai hal-hal klenik semacam onggo-inggi pada dasarnya tidak memerlukan intelegensi tinggi. Asalkan percaya saja.

“Supaya tubuh bapakmu bisa naik ke permukaan, perlu diadakan ruwatan kecil. Ingat ayam jago yang harusnya dijual untuk bayar SPP sekolahmu dulu? Itu ayam kesayanganmu. Ayam warna-warni kamu beli di pasar. Padahal sudah kamu rawat sampai besar. Tapi ayam itu malah disembelih sebagai bagian dari sesajen. Tubuh bapakmu naik ke permukaan pada esok harinya. Tubuhnya tidak bisa lagi dikenali sebagai manusia. Yang buat Simbok percaya kalau itu jasad bapakmu, ya … dari bajunya.”

Untari sendiri tidak punya kebesaran hati melihat wujud Bapak untuk terakhir kali, sama seperti Simbok. Pada hari pemakaman Bapak pun, ia lebih banyak menyembunyikan diri di ketiak Simbok. Mulai hari itu, Simbok bebas dari tangan dingin Bapak. Tidak ada lagi tendangan, tamparan, dan pukulan lagi.

“Bilang sama suamimu nanti jangan cari ikan dulu. Dia sama ngeyelnya kayak bapakmu. Heran aja kenapa kamu malah dapat suami yang ngeyelan kayak dia.”

Untari memang sangat apes. Pria yang dikenalkan padanya tidak sebaik pada pertemuan pertama. Suaminya memang pekerja keras, sama persis dengan Bapak. Sejak awal berkenalan selalu menunjukkan kesan baik sebagai calon mantu. Lagi pula, mana ada pria yang akan mengungkapkan bobroknya di pertemuan pertama? Simbok mewariskan Untari dan suaminya beberapa petak sawah di pinggiran kali untuk ditanami. Dekat dengan tempat bapaknya dulu hanyut dan hilang. Semenjak mendapatkan sawah itulah perilaku suaminya berubah. Suaminya telah menjelma menjadi Bapak.

Kendati sangat rajin berdoa. Dari musala kampung, masjid besar, pesantren tempatnya dulu menimba ilmu, pengajian akbar, hingga doa-doa yang tidak jemu dilantunkan tiap malam, doanya tetap tidak terkabul. Suaminya sama saja, sama buruknya seperti Bapak. Dengan kuantitas doa yang lebih banyak pun, kelakuan suaminya tidak kunjung berubah.

“Onggo-inggi bukan sesuatu yang harus ditakuti, Mbok. Kita udah diajarkan enggak takut sama setan, jin, dan sebangsanya, ‘kan?”

Simbok mendelik. Matanya memindai sang putri dari atas ke bawah. Gamis hitam dan kerudung hitam lebar membungkus dari kepala sampai kaki. Kaus kaki warna kulit juga menutupi telapak kaki hingga betis. Tidak ada kulit yang ditunjukkan selain wajah dan telapak tangan. Itu pun sebagian sudah ditutupi juga dengan handsock. Simbok memang belum terbiasa dengan cara berpakaian Untari.

“Hus, jangan ngomong sembarangan. Nyatanya yang seperti itu juga masih ada sampai sekarang, ‘kan? Sekarang juga masih banyak orang-orang yang meminta sesuatu ke kali. Entah itu onggo-inggi atau apa pun, mereka selalu melarung sesajen ke sana. Orang-orang dulu masih percaya dengan hal-hal seperti itu. Sampai sekarang pun masih percaya. Itulah kenapa sesajen selalu diletakkan di sekitar kali dan ladang, juga dilarung tiap ada hari-hari besar.”

Untari juga pernah melihat sesajen dilarung ke kali. Awalnya ia tidak peduli. Tapi jumlah sesajen itu makin bertambah seiring hari. Apakah meminta kepada Tuhan saja tidak cukup? Padahal itu sudah masuk dosa besar. Untari menyimpan pertanyaan itu untuk dirinya sendiri. Jika obrolan makin melebar, ia akan terlambat pulang ke rumahnya sendiri. Ia tidak meminta izin pada suaminya untuk mampir ke rumah Simbok. Anak-anaknya mungkin belum kembali dari sekolah. Suaminya juga sedang sibuk di ladang. Belakangan ini ia uring-uringan karena sawah mereka semakin terendam.

Kalau sudah begitu, Untari harus bersiap. Entah bagian tubuh mana lagi yang akan dijadikan sasaran tangan dingin suaminya. Untari pamit pulang. Anak-anaknya belum pulang, tetapi suaminya sudah lebih dulu mencegat di ambang pintu. Tatapan bengisnya mengiris dada Untari. Kali ini apa lagi? Lauk yang tidak enak, teh sudah dingin, sawah yang terendam banjir, atau masalah lain? Untari diam saja. Suaminya sudah lebih dulu menjenggut kerudung dan menariknya masuk ke dalam rumah. Kali ini, ia harus berdoa seperti apa lagi untuk mengubah suaminya? Kepada siapa ia meminta perlindungan?

*** 

Pada hari kedua setelah hujan sehari itu, pelataran rumah Untari dipenuhi orang-orang berbaju hitam. Simbok menangis sesenggukan memeluk Untari. Suami Untari dikabarkan menghilang ketika menjala ikan. Cerita yang sama seperti mendiang Bapak. Bangkai-bangkai ikanlah penyebabnya. Para pria berseragam oranye tak kunjung menemukan jasadnya.

“Sembelihlah ayam dan buat sedikit ruwatan. Larung sesajen ke kali, biarkan alam yang bekerja sendiri.”

Untari dan Simbok pergi belakang rumah, hendak menyembelih seekor ayam jantan. Saat itulah Simbok mendapati bekas luka keunguan pada betis Untari yang tidak tertutup kaus kaki. Untari meyakinkan bahwa ia tidak apa-apa. Ia pergi ke dapur, mengambil sebilah pisau yang lebih tajam. Tangannya tidak sengaja menjatuhkan keranjang berisikan kembang tujuh rupa yang telah layu. Untari tercenung, haruskah ia meminta onggo-inggi mengembalikan jasad suaminya? Padahal ia sendiri yang melarung sesajen dua hari lalu, meminta agar suaminya disembunyikan saja. Di bawah lubang-lubang kecil yang tidak bisa dimasuki kuasa manusia.***

Wonogiri, 25 Maret 2023

 

Reza Agustin, INFP pencinta kucing dan pria gepeng. Kpop dan pria gepeng adalah pelarian dari dunia nyata. Kucing adalah hierarki tertinggi di atas umat manusia.

 

Komentar juri:

Kalian percaya hantu?

Memercayai hal-hal klenik terkadang membuat seseorang menjadi lupa diri dan kehilangan akal sehat. Seperti kisah Untari dan Simbok yang memercayai sosok onggo-inggi, yang entah seperti apa sosoknya, sebagai bentuk pembalasan dari hal-hal buruk yang menimpa mereka.

Sosok penguasa kali yang dipercaya masyarakat itu awalnya tidak dipercaya oleh Untari, hingga akhirnya ia mengalami hal buruk dari perlakuan suaminya seperti yang dialami Simbok, sampai akhirnya ia yang begitu alim dan religius percaya dengan sosok hantu tersebut. Sikap yang awalnya terkesan kontradiksi, tetapi justru menjadi sangat realistis. Sayangnya, beberapa detail yang menunjang justru memiliki kesalahan, membuat cerpen ini menghasilkan logika yang lemah. Seperti misalnya ayam warna-warni (boiler) yang digunakan sebagai sesajen. Dalam sesajen, hal-hal yang digunakan memiliki arti tertentu dan tidak bisa sembarangan.

—Erlyna

Leave a Reply