Omed-omedan
Oleh : Niluh
Sukerti duduk gelisah, matanya memandang baju putih yang tergantung di pintu kamar bertuliskan “Omed-omedan Tahun Saka 1941″.
Besok siang dia akan menjadi lakon dalam acara omed-omedan tersebut. Hatinya bimbang. Dia kembali mengingat puluhan pesan yang masuk ke WhatsApp-nya dari pagi hingga malam ini.
[Aku tidak mau kau ikut dalam acara itu. Aku tidak sudi pacarku dicium lelaki lain.]
[Ini terakhir kalinya aku mengirim pesan. Jika kau ikut pada acara itu, kita putus!]
Sukerti yakin Agus menulis ini bukan hanya bercanda semata, tapi ancaman yang akan benar-benar dia lakukan—jika Sukerti tidak melakukan apa yang dikatakan Agus.
Sukerti dan Agus baru tujuh bulan merenda asmara. Sukerti sangat mencintai Agus, lelaki yang begitu menghormati keputusan Sukerti untuk menjaga kehormatannya sampai mereka resmi menikah, beda dengan gaya pacaran teman-teman Sukerti yang sudah seperti suami-istri.
Apa pun keputusan yang Sukerti ambil mempunyai risikonya masing-masing. Diputus Agus atau mendapat sanksi, baik materi atau sosial, jika tidak melakukan tradisi yang sudah turun-temurun dari nenek moyang.
Meme dan Bape* seolah mengerti kegelisahan hati Sukerti. Siang tadi Meme mendatangi Sukerti yang duduk termenung di pinggir kolam ikan di rumahnya.
“Meme tahu kamu gelisah, tapi ini adalah bagian dari cara kita mengucap syukur karena para leluhur telah menjaga keharmonisan hubungan kita, warga Banjar Kaja. Dulu Meme juga menjadi sepertimu. Lakon omed-omedan. Toh akhirnya Bape menerima bahkan tidak mempermasalahkan hal itu,” tutur Meme.
“Semua orang yang lahir di Banjar Kaja melakukan hal ini dan semuanya berjalan baik-baik saja. Jadi tidak usah ketakutan begitu. Bersenang-senanglah,” lanjutnya.
“Me, tyang* takut dicium oleh lelaki,” aku Sukerti.
“Tidak apa-apa. Toh cuman sekali dan setelah itu selesai,” ucap Meme dengan tangannya mengusap rambut Sukerti.
Sukerti makin bimbang. Dia memutuskan untuk keluar dan duduk di teras depan kamarnya. Aroma wangi dupa masih tercium dari sanggah tempatnya tadi melakukan puja Trisandia, tapi tetap saja tidak bisa membuat pikirannya tenang.
Sukerti seorang gadis berusia sembilan belas tahun yang lahir di Desa Sesetan, Bali, diharuskan untuk mengikuti sebuah tradisi yang dilakukan tepat sehari setelah Nyepi: omed-omedan atau tarik menarik.
Menurut cerita yang selalu dia dengar, omed-omedan bertujuan untuk mempererat rasa asah, asih, asuh antara pemuda-pemudi Banjar Kaja.
Dahulu Raja Puri Oka mengalami sakit keras, kemudian Raja keluar karena mendengar kegaduhan yang disebabkan permainan omed-omedan. Setelah selesai menonton sang Raja menjadi sembuh. Semenjak itu acara omed-omedan terus dilaksanakan dari tahun ke tahun.
“Me, apa yang terjadi jika acara itu tidak dilakukan? Apa kita akan mendapat hukuman?” tanya Sukerti.
“Dulu sempat acara itu ditiadakan dan keesokan harinya ada kegaduhan yang terjadi. Dua ekor babi saling berkelahi di depan pelataran pura, dan itu berlangsung sampai tiga hari,” jelas Meme.
Jam sudah menunjukkan dua belas malam, semua penghuni rumah telah tidur, sementara Sukerti masih sibuk dengan pikirannya sendiri. Tubuh Sukerti merinding ketakutan membayangkan adegan yang harus dia lakukan besok. Dadanya berdetak cepat dan keringat dingin mengucur di dahinya. Jika diperbolehkan memilih dia tidak ingin dilahirkan di tempat yang memiliki tradisi ini.
Kejadian beberapa tahun silam masih terbayang dalam pikirannya. Kejadian yang dia pendam sendiri. Kepala Sukerti sakit mengingat kembali kejadian beberapa tahun silam.
Dia masuk dan mengambil beberapa tablet obat sakit kepala. Semenjak namanya terdaftar sebagai lakon, setiap malam Sukerti mengalami sakit kepala yang luar biasa.
***
Sukerti menatap dirinya di depan kaca. Dia berusaha menghilangkan tanda merah tua yang membekas di lehernya.
“Sial!” teriaknya, dan dia makin keras menggosokkan handuk di tanda itu.
***
“Dasar perempuan murahan! Sok suci. Saat aku ingin menciummu kau tidak memperbolehkan dengan alasan ingin menjaga kehormatanmu. Kehormatan? Lihat sekarang. Kau dicium oleh lelaki yang bukan pasanganmu,” cecar Agus.
“Kita putus! Aku tidak sudi memiliki bekas orang! Aku jijik melihatmu!” kata Agus kemudian berlalu meninggalkan Sukerti dalam tubuh basah kuyup. Hatinya hancur mendengar kata-kata Agus setelah selesai menonton omed-omedan itu.
***
Pukul dua belas siang Sukerti dijemput pemuda-pemudi Banjar Kaja. Dengan langkah lemas Sukerti mengikuti mereka ke Banjar. Sampai di Banjar para lakok melakukan persembahyangan di pura, meminta perlindungan pada Tuhan dan leluhur. Setelah itu ada pertunjukan, kemudian mereka diberi gelang tridatu* dan penampilan Barong Bangkung sebagai pembuka acara.
Setelahnya para lakon omed-omedan keluar dari Banjar dan disambut sorak-sorai penonton. Acara ini tidak hanya dapat dilihat masyarakat luas tapi juga diliput media massa. Selama kegiatan berlangsung ruas sebagian jalan ditutup.
Semua mata memandang mereka penuh selidik—melihat apa ada teman mereka yang menjadi lakon kali ini. Saat itulah Sukerti melihat Agus yang menjadi salah satu penonton. Matanya memancarkan bara amarah yang mampu membuat tubuh Sukerti hancur. Sukerti hanya menunduk lesu. Pilihan telah dia pilih dengan segala risikonya.
Meski jiwanya menjadi pertaruhannya.
Omed-omedan saling kedengin, saling gelutin
Diman-diman
Omed-omedan besik ngelutin, ne len ngedengin
Diman-diman
Setelah lirik lagu yang diiringi gamelan selesai, kedua kelompok ini mendekat. Peserta terdepan dari masing-masing kelompok akan saling gelut* kemudian diam, lalu disiram dan peserta lainnya tarik menarik. Begitu berulang-ulang.
Meski ada aturan tidak boleh mencium tapi hal itu sering kali dilanggar oleh para peserta lelaki.
Sukerti berada di barisan perempuan dan tiba saatnya dia yang mendapat giliran berada di depan. Matanya langsung membeku dan wajahnya memucat begitu tahu siapa lelaki yang akan berhadapan dengannya. Lelaki itu tersenyum memperlihatkan taringnya yang ompong. Tanpa sempat menghindar, para peserta perempuan mulai mendorong tubuh Sukerti dan tubuh lelaki itu langsung memeluknya dengan erat dan mencium leher Sukerti seperti binatang buas yang beringas begitu melihat mangsa.
Sukerti seketika lemas—semuanya terlihat gelap dan hanya suara-suara riuh gelak tawa yang dia dengar.
***
Dua tahun yang lalu
Sukerti baru saja pulang dari kerja kelompok di rumah temannya, ketika tubuhnya dipeluk oleh seseorang dari belakang. Gang yang Sukerti lewati memang sedikit remang-remang. Tangan kiri lelaki itu mendekap mulut Sukerti dan tangan kanannya meraba-raba payudaranya. Dia berusaha untuk menendang dan memukul lelaki itu, namun belum sempat dia melakukannya lelaki itu mencium leher dan mulutnya. Tanpa berpikir banyak Sukerti menendang selangkangan lelaki itu hingga kesakitan.
Yang Sukerti ingat gigi taring lelaki itu ompong—terlihat saat dia tersenyum.
***
Semenjak kejadian omed-omedan itu Sukerti memiliki kebiasaan baru: menggosokkan tubuhnya dengan batu kali dan menghabiskan satu botol sabun setiap kali mandi. (*)
Niluh, seorang perempuan yang lahir di Bali dan saat ini sedang melakukan pelayanan di bidang anak di sebuah kota kecil di bawah kaki Gunung Merbabu.
Editor : Fitri Fatimah
Catatan :
*Omed-omedan : tarik menarik
*Gelut : peluk
*Diman : cium
*Kedengin : ditarik
*Ngedengin: menarik
*Meme : ibu
*Bape : bapak
*Tyang : saya
*Tridatu : benang merah, hitam, dan kuning yang digulung menjadi satu dan dijadikan gelang.
*Puja Trisandia : mantra saat melakukam pe
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata