Om Rigel
Oleh: Uzwah Anna
Aku mencium bau duda: Om Rigel!
Benar, tak salah lagi. Bau ini adalah aroma khas parfumnya. Tuhan …. Sudah terlalu lama aku tak bertatap muka dengan pria itu. Jika tak salah, telah lewat beberapa hitungan tahun. Selama itu pula aku menyimpan kerinduan ini dengan hati-hati, agar tak koyak oleh gombalan setiap buaya yang datang dan pergi.
Pernah suatu ketika datang padaku seorang lelaki yang 80% mirip dengannya. Mulai dari bentuk tubuh, gaya rambut, cambang tipis, hingga semua tingkahnya sama. Aku yakin, bahkan ibunya pun di surga tak akan bisa membedakan mana yang asli dan palsu. Nyaris sempurna. Namun, sayang ada yang cacat. Dia salah menyebutkan bunga kesukaanku. Padahal dari sekian banyak barang yang menjadi favoritku, hanya mawar yang paling melekat diingatan Om Rigel.
Sejak saat itu aku mulai curiga. Diam-diam mencari tahu siapa sebenarnya lelaki itu. Setelah mengumpulkan berbagai informasi dari sana sini, aku paham bahwa dia telah menggunakan segala cara untuk mengubah diri menjadi seperti idolanya. Dia terobsesi menjadi Om Rigel. Makanya, sejak berita hilangnya duda kaya berkulit eksotis itu menyeruak di media massa, penipu sialan itu segera melancarkan aksi untuk menjadi Om Rigel.
Jika dia tak melakukan sebuah kesalahan, nyaris saja aku menjadi gadis milik bajingan itu. Untung Tuhan masih membuka mataku, sehingga bisa membongkar penipuannya.
Berpendar, bola mataku memutar, menatap dengan saksama setiap pria yang datang ke kedai teh ini. Ada yang bertubuh atletis, tetapi suaranya cempreng, itu bukan Om Rigel. Duda itu memiliki suara bariton, berat dan berkarisma. Ada pula yang bercambang tipis, tetapi badannya kurus. Dia juga bukan orang yang kuharapkan.
Namun, entah kenapa aroma parfumnya semakin kuat. Seakan tak mau hilang dari indra penciumanku.
Tak salah lagi! Aroma parfum ini ….
Aku kembali menyebar pandang. Melacak setiap sudut di ruangan ini. Bahkan, sempat ke luar dari kedai. Mungkin saja Om Rigel sedang berdiri di sana. Namun, nihil.
Aku mulai kesal dengan diriku sendiri. Bagaimana bisa orang berpendidikan tinggi semacam diriku dikuasai oleh halusinasi. Dasar bodoh!
Bodoh!
Kusentil-sentil cangkir teh yang cairannya mulai dingin. Wajahku ada di atas permukaan teh hijau itu. Kusut masai. Kata sebagian orang teh hijau sangat baik untuk kesehatan. Adakah teh yang bisa menyembuhkan luka batin sebab dikhianati oleh orang tersayang? Teh apa itu? Di mana aku bisa mendapatkan teh penyembuh luka batin itu?
Someone, help me, please ….
Angin berembus masuk ke dalam kedai teh yang pintu dan jendelanya sengaja dibiarkan terbuka. Aroma itu kembali hinggap di depanku. Seakan ingin mempermainkan perasaan yang sudah tercabik-cabik.
Jika benar begitu, selamat kau sukses!
“Ann, aku datang. Maaf telat.”
Suara itu? Om Rigel ….
Aku segera membalik badan. Menyikut cangkir teh, cairannya tumpah.
“Ann sudah lama menunggu? Maaf ya ….”
Ah, ternyata perempuan yang duduk di belakangku juga bernama Ann. Sial, suara pria itu sama persis dengan Om Rigel.
Bosan, hampir seharian duduk di kedai, aku beranjak ke kasir menyerahkan beberapa lembar uang, lantas pergi. Udara dingin langsung menampar wajahku. Kurapikan syal dan mantel. Tak lupa merogoh sarung tangan di saku mantel. Aku akan kembali ke rumah. Mungkin aku butuh cukup istirahat agar berhenti berhalusinasi.
Sengaja berjalan kaki, kususuri lorong sempit di antara gedung tinggi. Membuang semua sesak pengusa dada, membahara di jiwa.
“Ann ….”
Langkahku terhenti.
Suara itu?
“Ann ….”
Oh, Lord … please. I feel crazy.
Menggunakan kedua tangan, kututup rapat telinga. Aku yakin, ini hanya halusinasi.
“Ann ….”
Ok, aku akan berbalik. Hanya untuk memastikan, sekali lagi, hanya memastikan bahwa aku masih waras.
“Ann … how are you?”
Aku mengerjap-ngerjap.
Really? Ah … what the heal? What happen with me?
Tetiba tubuh terasa oleng.
Berulang kali mengucek-ngucek mata. Mungkin saja pandanganku sedikit bermasalah. Kulihat lagi orang itu. Benar, dia adalah orang yang selama ini dicari banyak pihak: Om Rigel!
“Ann … are you still remember me?”
Sial! Ternyata dia masih hidup.
Padahal tujuh tahun lalu sudah berkali-kali kutikam jantungnya. Bahkan tanpa rasa kemanusian, kukebiri. Aku tak terima dia lebih memilih perempuan lain.
Uzwah Anna lahir di Malang. Pecinta Bakso, soto dan tape goreng. Hitam, biru dan hijau merupakan warna favorit. Motto: don’t dead before you death!
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata