Om Jin
Oleh: Uzwah Anna
Anna duduk termenung di kursi panjang berwarna cokelat alami. Semilir angin menggerakkan dedaunan yang sedari tadi menaunginya. Rambut hitam sebahu yang tergerai ikut melambai terembus semilir angin. Berkilat sebab diterpa cahaya senja. Meski terlihat melamun, tetapi sebenarnya otak terus memikirkan sebuah cara agar segera mendapatkan apa yang dia mau tanpa bersusah payah.
“Ah, benar juga!” desisnya.
Secepat kilat dia meninggalkan bangku menuju dapur. Membuka lemari, rak, serta laci. Mencari sesuatu. Entah apa. Krusak-krusuk, mengacak perkakas dapur. Tak ubahnya semacam maling. Dalam sekejap dapur seperti kapal pecah. Seluruh perkakas meloncat dari tempatnya.
“Nah, ketemu kau, ya.” Matanya berbinar melihat benda di tangannya. Sebuah gerabah tempat air minum, kendi.
“Meski tak serupa dengan milik Aladin, setidaknya benda ini memiliki sebuah kemiripan, sama-sama sebagai tempat penyimpan air. “Semoga usahaku kali ini tak sia-sia,” ucapnya penuh harap.
Dia lantas menggosok-gosok kendi itu seraya berkata, “Om Jin, datanglah, datanglah. Aku membutuhkanmu, Om Jin, datanglang ….”
Asap keluar dari lubang kendi. Tipis saja awalnya. Namun semakin lama semakin menebal, membentuk sebuah bayangan disertai gelak tawa menggelegar.
“Hwa ha ha ha … ha … ha ha ha ….”
Makhluk itu berwajah layaknya manusia. Rambut dikuncir kuda. Juga memiliki berewok tipis. Dia memakai rompi tanpa baju. Jadi lengan dan dadanya yang berotot tampak jelas. Perutnya berbentuk seperti roti sobek, six pack. Namun dia tak memiliki kaki. Dia bersendakap. Melayang-layang di udara, ringan.
Ann terkejut. Segera dia menjauhkan diri dari kendi itu. Meringkuk mendekap kedua lutut. Matanya terbelalak. “Casper?” desisnya tanpa melepas pandang.
Mendengar hal itu, makhluk tak berkaki di hadapan Ann langsung mengubah mimik muka, garang! Sekejap saja dia telah berada persis di depan hidung gadis pesek itu.
“Siapa yang kau sebut Casper, huh?” suaranya berat.
Takut-takut, Ann mengarahkan telunjuknya pada pada makhluk itu.
“Kenapa?”
“Ka—karena kau tak memiliki kaki,” Ann tergagap, “melayang-layang seperti Casper. Tapi wajamu tak seimut makhluk itu. Kau lebih garang.” Dia berusaha jujur.
“Em … begitu rupanya.” Dia menjauhkan kepalanya dari gadis yang tengah gugup itu. Mendekapkan kedua tangannya di depan dada, manggut-manggut.
“Sekali lagi kau memanggilku Casper, maka kau yang kuubah menjadi hantu seperti dia, paham?” Matanya melotot, mengerikan.
Ann mengangguk.
Makhluk itu kembali melayang. Terbang ke atas, ke bawah, mengitari seluruh isi ruangan.
“Ok, karena kau telah mengeluarkanku dari gerabah sialan itu, maka saat ini kau adalah tuanku. Kuberi kau tiga permintaan.”
“Boleh lima, Om Jin?” Ann meminta lebihan. Matanya berbinar, kedua bibirnya ditarik ke samping kanan kiri. Menampilkan jajaran gigi yang berantakan, gingsul sana-sini, berwarna kuning. Dia berusaha menampilkan senyum semenawan mungkin. Bahkan jika bisa, mengalahkan manisnya madu. Kedua telapak tangan membekap di depan dada. Berharap agar makhluk itu menerima tawarannya.
“Nawar? Kau kira aku dagang ikan, huh? Seenaknya saja. Hanya tiga permintaan.” Om Jin menegakkan telunjuk, jari tengah, dan jari manis. “Tak mau, ya sudah.”
Kembali dia melayang. Membuang pandang dari Ann. Ternyata bangsa jin tak mengenal negosiasi.
“Mau!” Gadis itu menjawab seketika. Tak ingin kesempatannya hilang begitu saja.
“Sebutkan keinginanmu.”
Gadis itu berpikir cepat. “Aku mau uang delapan puluh juta,” Ann menyebutkan permintaan pertamanya.
Om Jin segera menoleh kepadanya. Tatapannya menyelidik, mengintimidasi lebih tepatnya. “Kau mau digerebek polisi, lantas membuat heboh satu negara, huh?”
Pemilik tahi lalat di leher itu mundur selangkah, menggeleng.
“Khusus yang itu sampai kapan pun aku takkan menurutinya. Sebutkan permintaan lain,” dengus Om Jin.
Ann terdiam. Menepuk-nepukkan telunjuk ke dagu, berpikir. “Aku mau tinggal di istina mewah yang semuanya serba dilayani.” Belia berbadan pendek itu mengikrarkan permintaan pertamanya.
“Permintaanmu kukabulkan.”
Ting!
Asap membumbul di sekitar tubuh mungil berkulit eksotis itu. Lamat-lamat menipis, sehingga pandangan Ann yang mulanya samar menjadi jelas. Tangannya masih mengibas-ngibaskan kabut putih yang mengelilingi wajah.
Wow! Matanya terbelalak ketika mendapati dirinya berada di ruangan besar serba berwarna keemasan. Lantainya seperti terbuat dari kaca. Licin berkilat-kilat saat diterpa cahaya. Meja makan panjang yang di atasnya dipenuhi berbagai kudapan lezat nan menggiurkan, membuat cacing di perut meraung seketika. Ann menyapukan lidah pada bibirnya.
“Hem … yummy,” pekiknya.
Di sekeliling meja makan terdapat beberapa kursi yang anggun dengan bantalan busa berwarna merah, tampak sangat elegan. Di atasnya tergantung lampu antik berwarna keemasan yang dapat ditempati beberapa lilin.
Ann seperti berada di alam mimpi. Dia menepuk-nepuk pipi beberapa kali. Lantas mencubit lengannya sendiri. “Au, sakit …,” desisnya seraya meringis. Dia menyadari bahwa semuanya nyata. Gadis itu tersenyum bahagia.
Tiba-tiba ada sesosok makhluk berbadan manusia berkepala kambing lengkap dengan tanduk dan jenggot yang panjang hingga dada. Bulunya hitam kelam dan bermata tajam. Dia mendekati Ann.
“Si—siapa kau?” suara gadis itu tercekat. Dia diliputi ketakutan yang teramat sangat.
“Aku pemilik istana ini,” jawab makluk itu dengan suara tegas. Sesekali dia mengembik.
Ann bingung musti berbuat apa. Dia hanya berdiri di tempat dengan badan menggigil dicekam ketakutan.
“Karena kau telah masuk ke istina ini, Nona, maka kau harus menjadi permaisuriku.”
Gadis itu menyilangkan kedua tangan di depan wajah. Seraya terpejam dia berteriak, “Om Jin … keluarkan aku dari sini …!”
Ting!
Kabut kembali menebal. Ketika membuka mata, dia telah berteleportasi ke tempat semula, di dapur.
“Om Jin, kenapa kau mengirimku ke sana?” ucap gadis itu, kesal.
Om jin terbang tinggi, berputar-putar di udara lantas menukik tajam tepat di depannya. Ann tak mampu berkedip karena makhluk itu sedang berhadapan dengan wajahnya.
“Hei, Nona, kau sendiri yang memintaku untuk mengirimmu ke istana. Apa sependek itu ingatanmu, huh?”
Dia kembali melayang-layang. Sedikit menjauhkan diri dari posisi Ann berdiri.
“Tapi kan mauku cuma tinggal di istana. Bukan menjadi permaisuri manusia berkepala kambing!” Mulut Ann manyun sekian senti.
“Sudahlah. Hal itu telah terjadi. Jangan mengajakku berdebat. Aku sedang tidak mood. Sebutkan satu lagi permintaamu, maka aku akan menjadi jin yang merdeka.” Senyumnya menyeringai. Om Jin menyipitkan mata. Tangan kirinnya masih bersendekap di depan perut. Dia menjetik-jentikkan jemari kanannya. Seperti seorang perempuan cantik, manja sekali.
“Huh? Kok tinggal satu,” Ann heran, “aku baru minta satu permintaan, Om Jin. Harusnya masih sisa dua dong.” Ann tak terima.
“Aku sudah mengabulkan dua permintaanmu, Nona.”
“Kapan?”
“Huft … begilah hal yang membuatku malas berurusan dengan manusia. Menganggap dirinya paling pintar, tapi sebenarnya amnesia akut.”
Om Jin kembali meniup kuku-kukunya. “Dengar, Nona. Pertama, kau memintaku mengirimu ke istana.”
Dia berseliweran di depan gadis dengan wajah bingung.
“Kedua kau memintaku mengembalikanmu ke sini. Jadi kesempatanmu tinggal sekali lagi.” Dia mengacungkan telunjuknya yang tiba-tiba menjadi lentik.
“Om Jin curang!” Ann mendengus kesal. Ekor matanya mengikuti gerakan makhluk yang tak bisa anteng itu.
“Tadi aku kan sedang di posisi berbahaya. Harusnya itu tak masuk hitungan, dong. Tak adil. Sama sekali tak adil!” Ann menghentakkan kaki.
“Berbicaralah sesukamu, Nona.”
Tiba-tiba angin berembus di ruangan tertutup itu diiringi kemunculan kabut. Om Jin menghilang.
***
Berhari-hari Ann memikirkan hal ini, permintaan terakhir. Dia tak boleh gegabah mengambil keputusan.
Berkali-kali Om Jin datang dan pergi. Berharap agar gadis itu segera mengikrarkan permintaan ketiganya. Karena dengan begitu dia akan terbebas dari perbudakan manusia.
Kadang dia mengetuk pintu kamar Ann dengan sangat sopan, kadang juga menggedor seperti pria-pria bertenaga algojo. Brutal sekali! Sering pula Om Jin tiba-tiba muncul di hadapan gadis berambut hitam ikal itu. Membawa beberapa makanan dan barang kesukaan tuannya dengan wajah semringah, sedih, memelas, bahkan sampai garang. Namun gadis itu tak sebodoh yang diperkirakan. Sama sekali tak tergiur oleh bujuk rayu makhluk yang tiba-tiba saja menjadi budaknya itu. Dia bergeming.
***
Setelah hampir sebulan diikuti diikuti oleh budaknya, ke mana pun dia pergi, akhirnya terbesit keusilan dipikiran Ann. Dia menyuruh—bukan meminta—makhluk tak berkaki itu untuk membereskan seluruh pekerjaannya. Mulai pagi buta hingga larut malam.
Dengan begitu kau takkan menggangguku, pikir Ann.
Tentu saja hal itu bukanlah pekerjaan sulit bagi Om Jin. Sekali jentikan jari saja semuanya sudah beres. Justru si nona yang dibuat kewalahan karena budaknya itu selalu memintanya memberi tugas. Dia ketagiahan.
***
Sore.
Sepulang dari kegiatan belajar Ann langsung menggebrak pintu kamar. Dia membanting diri di atas ranjang, tengkurap. Menangis.
Gadis pendek berhidung pesek itu sakit hati sebab lelaki yang sejak lama disukainya lebih memilih perempuan lain. Dia merasa buruk rupa. Makanya dia selalu kalah.
“Om Jin. Om Jin. Om Jin …!” teriaknya.
Ting! Kabut mengebul. Sosok makhluk tanpa kaki tiba-tiba di sampingnya. Membawa wajan dan spatula. Sepertinya pekerjaan dapur belum beres.
“Berhentilah berteriak, Nona. Telingaku masih berfungsi dengan baik.”
Ann melepaskan wajahnya dari bantal. Dia menoleh pada budaknya.
Om Jin kaget. Tiba-tiba wajan dan spatula beserta celemek menghilang begitu saja. Dia mendekatkan diri pada tuannya, Ann.
“Kenapa, Nona? Ada apa? Kenapa kau menangis?” Wajahnya memelas. “Apa ada yang menyakitimu, huh?”
Ann diam saja. Tak mampu berucap. Air mata terus meleleh.
“Siapa bajingan itu? Katakan padaku, Nona? Biar kuhabisi dia.”
Om Jin mengeratkan genggamannya. Lantas menepuk-nepukan kedua kepalannya. Seperti orang yang akan melaju ke ring tinju. Dia tak terima majikannya diperlakukan semena-mena.
“Sudahlah, Om Jin. Aku tak butuh kau membalasnya. Tak penting. Saat ini aku hanya ingin secantik Angelina Joly atau Anne Gatheway. Ubah aku secantik mereka, Om Jin.”
Daun telinga Om Jin melebar. Mata membelalak. Raut wajahnya menampilkan kesan tak percaya. “Kau serius, Nona?”
Ann mengangguk.
“Ini adalah permintaan terakhirmu.”
“Sudahlah, Om Jin. Jangan banyak tanya. Segeralah kau ubah wujudku.”
Om Jin melayang-layang ke sana kemari. Dia terkekeh. Sebab apa yang diharapkannya selama ini akan terjadi. Berputar-putar dan tiba-tiba mengerem mendadak.
“Om Jin! Pelankan suaramu. Membuatku pusing saja. Segera lakukan tugasmu, sekarang!”
Hampir saja makhluk itu menabrak tembok akibat lengkingan suara Ann. Dia mengelus dada, kaget!
“Siap, Nona.”
Ting! Kabut mengepul.
Ann telah terbaring di sebuah ranjang medis. Di sisi kanan kirinya berjajar berbagai macam benda tajam. Putih berkilat-kilat. Lantas botol-botol kecil berisi beraneka ragam cairan. Tepat di atas wajahnya terdapat lampu yang sangat terang. Sinarnya menyilaukan mata. Ruangan itu lekat sekali dengan bau alkohol dan berbagai macam obat-obatan.
Tiba-tiba dari suatu sudut datanglah beberapa orang yang berpakaian serba hijau. Menggunakan sarung tangan dan wajahnya ditutupi masker. Lantas segerombolan orang itu masing-masing memegang suntikan, gunting, dan benda tajam lainnya.
“Kalian mau apa?” Ann membelalak ketakutan.
“Om Jin … Om Jin … tolong …?”
Ting.
Om Jin datang dengan sepotong es krim yang hampir meleleh di tangannya. Lantas dia menjilatinya. Nikmat sekali. Kepalanya bertutup topi jerami, seperti tokoh manusia karet dalam film animasi One Peace. Sepertinya dia tengah berlibur di pantai. Melapas seluruh penat selama menjadi budak Ann. Sebuah kacamata hitam menutupi sepasang penglihatannya.
“Apa lagi?”
Menggunakan telujuk kiri dia sedikit menurunkan kacamatanya. Sehingga terlihatlah kedua mata hitamnya.
“Aku kan minta Om Jin buat mengubahku secantik Angelina Jolly. Kenapa sekarang aku berada di ruang operasi?”
Menarik napas panjang, Om Jin mendesah. “Nona satu-satunya cara cantik secara instan, ya … operasi plastik.”
Makhluk itu berbalik akan pergi. Namun tiba-tiba berhenti. “Ah, satu lagi. Karena aku sudah mengabulkan tiga permintaanmu, maka mulai saat ini aku bukan budakmu lagi. Aku adalah jin yang merdeka. Selamat menjadi cantik, Nona ….”
Om Jin tersenyum lantas menghilang.
Uzwah Anna. Lahir di sebuah desa di pelosok kota Malang. Pecinta bakso dan soto. Karena lahir, tumbuh dan, besar di kampung, maka sudah sangat akrab dengan bertani. Selain hobi corat-coret juga gemar berkebun. Tanaman yang paling disukai adalah buah dan bunga. Apalagi bunga mawar merah, beuh … cinta beud.
Hitam, biru, dan hijau merupakan warna terfavorit. Jika ketiga warna itu berkumpul menjadi satu, penulis seolah-olah berteduh di bawah rindang pohon di pinggir pantai. Menatap laut dan langit yang keduanya sama-sama berwarna biru. Sejuk dan menyenangkan.
Lah, perumpamaan hitamnya mana? Hitamnya cukup melihat kulitku yang eksotis. Senyum maksa
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata