Of The Wishing Balloons, Egoistic Dreams, and Freedom of Choice

Of The Wishing Balloons, Egoistic Dreams, and Freedom of Choice

Of The Wishing Balloons, Egoistic Dreams, and Freedom of Choice
Oleh: Devin Elysia Dhywinanda

Tidak ada seorang pun yang berpikiran untuk berhenti di tempat ini—kami salah satunya. Menjelang dewasa, lumrahnya para orang tua bakal membebaskan anaknya membuat balon harapan mereka sendiri. Saat fase itu terjadi, helium bakal menjadi bahan bakar paling dicari, sedangkan Kursus Merakit Balon Harapan seketika menjadi tempat paling ramai dikunjungi. Akan ada bulatan warna warni di segala penjuru, persis seperti bola permen, dan jalanan bakal dipenuhi para pemimpi yang asyik merancang masa depan mereka. Akan ada kebisingan massal sampai-sampai malam tidak lagi berarti bagi dunia ini.

Ribuan bahkan jutaan—tidak ada yang menghitung jumlah pastinya; kami hanya mengira-ngira—balon terbang setelah anak-anak menuntaskan sesuatu yang biasa disebut “sekolah”. Ada yang terbang secara individu. Ada yang lebih suka berkelompok. Untuk waktu penerbangan sendiri, masyarakat sebenarnya tidak punya kesepakatan absolut. Namun, karena mayoritas anak memilih menerbangkan balon mereka di bulan tersebut, maka publik pun menyebutnya Bulan Harapan. Kami sendiri juga memutuskan untuk terbang pada bulan tersebut, secara berkelompok, sesuai janji kami beberapa tahun silam.

“Ini akan menjadi mudah bila kita lakukan bersama-sama! Aku pintar membaca arah angin; Ei sangat telaten dan teliti mengurus amunisi kita; Phi juga cekatan dalam memperbaiki sesuatu yang rusak! Dan lagi, kita punya mimpi yang sama, ‘kan?” kata Bi kala itu. Kami—aku dan Phi—mendengarkan dan mengiyakan perkataannya dengan ogah-ogahan. Itu cuma omongan anak kecil, kami bilang, dan mengejutkan menyadari kami akhirnya terbang dalam satu Balon Harapan.

“Bukankah ini sangat menakjubkan? Kita bisa melihat apa pun dari ketinggian ini: rumah kita yang mirip noktah, pusat pemerintahan, bahkan danau kecil di barat kota!” Bi tergelak sambil merangkul kami. Phi berusaha melepaskan diri, sedangkan aku diam saja, menikmati cakrawala dunia ini sembari mendengarkan perkataan Bi selanjutnya, “Tapi, ini tidak seberapa. Ketika sampai di Puncak Impian, pasti … kita akan melihat sesuatu yang lebih menakjubkan.”

Untuk sesaat, suasana menjadi melankolis—aku memejamkan mata, membayangkan pemandangan puncak, sedangkan Bi dan Phi bergeming cukup lama—hingga Phi menyalak seraya menjauhkan diri, “Sudah! Bukan saatnya untuk santai, ‘kan?”

Tidak banyak hal yang kami pikirkan saat itu, kecuali keinginan untuk segera mencapai Puncak Impian. Sesuai namanya, Puncak Impian serupa dengan dataran yang amat menonjol—terlalu menonjol, malah—daripada dataran lain. Bentuknya seperti kue jeli yang dipangkas sedemikian rupa menjadi amat langsing. Tiap daerah punya Puncak Impian tersendiri dan untuk mencapainya, kami mesti berhadapan dengan dahan-dahan beraneka bentuk, tanah yang acap kali longsor, serta cuaca yang kadang tidak bersahabat. Ini kadang menyenangkan, kadang tidak, tetapi Bi selalu punya cara agar kami terus bergerak alih-alih menyerah dan akhirnya terjun bebas.

Entah bagaimana, ia selalu berhasil mencari alternatif agar kami terhindar badai atau mencari amunisi tambahan dari tempat isi ulang helium yang ada sepanjang Puncak Impian. Bahkan, Bi selalu dapat membalas cemoohan para pengendara Balon Harapan lain hingga skakmat, sampai-sampai Phi tergelak sambil mengumpat kesenangan. Aku sendiri tersenyum kecil melihatnya, kembali mengecek amunisi, memperkirakan bahan bakar yang diperlukan untuk mencapai Puncak Impian. Lantas aku menengadah, berpikir bahwa perjalanan ini tidak terlalu buruk … bila dilakukan bersama-sama.

Tapi, aku mestinya ingat bahwa untuk sampai ke Puncak Impian, kami harus melewati banyak hal … sesuatu yang memuakkan.

***

Orangtua Bi selalu berkata bahwa Bi punya semangat tinggi untuk merajai Puncak Impian pilihannya. Mereka senantiasa membicarakannya tiap bercengkerama dengan orang tuaku atau Phi: bagaimana Bi berkeras merancang jalur penerbangannya sendiri kendati berkali-kali diperingati betapa sukar pilihan tersebut atau bagaimana dengan pandangan yakin ia berargumentasi perihal kebebasan memilih masa depan. “Dia bahkan memilih sendiri dan mengikuti Kursus Merakit Balon Harapan secara diam-diam. Dia melakukan apa saja, mempersiapkan segalanya, agar dapat menghadapi semua halangan ketika ia terbang. Jadi, apa yang bisa kami lakukan untuk menghentikan impiannya?” ungkap mereka sambil tertawa dan aku—yang kala itu menguping dari balik pintu ruang tamu—merasa amat kagum akan keberanian serta keteguhan Bi muda.

Bi sendiri hanya tertawa ketika bertemu dengan aku dan Phi di salah satu acara bersama. Ia berkata bahwa memperjuangkan mimpi adalah hal yang amat logis. Kamu tidak akan sempurna hidup kalau tidak melakukan hal itu. Kala itu, sejatinya kami bertiga punya tujuan serupa—hanya, aku terlampau takut mengutarakannya, sedangkan Phi kentara ogah-ogahan berusaha. Akan tetapi, percakapan magis kami dengan Bi serupa efek kupu-kupu yang menggariskan takdir kami sedemikian rekat.

“Apa yang membuatmu bersikeras pergi ke puncak itu?” tanyaku, memandangnya fokus.

“Pemandangannya,” jawab Bi dengan mata berbinar, “sebenarnya, bahkan tidak masalah kalau kau hidup di bawah sini, atau di pertengahan Puncak Impian, atau di seperduabelasnya, atau yang lain. Tapi, semua tempat itu tidak akan bisa menandingi pemandangan di atas sana, kau dekat dengan langit, dan yang paling penting, kau bebas, seperti burung yang terbang di angkasa.” Bi memamerkan giginya yang tidak rata. “Itu adalah kebanggaan tertinggi bagi para pemimpi, seperti kita ini.”

Hari itu, aku merapal tiap kalimat Bi dalam memoriku. Hari itu, kami bertiga menjadi dekat dengan cara yang aneh. Hari itu, meski keraguan masih bercokol dalam diriku serta Phi, lamat-lamat kami mulai merancang jalur penerbangan kami. Bersama-sama.

“Aku akan melakukan apa saja. Apa pun, asal itu sampai di titik tertinggi tempat ini.”

Pada saat itu, baik aku maupun Phi belum betul-betul memahami perkataan Bi. Kami menganggapnya sebagai remaja naif yang sketsa mimpi dalam kepalanya penuh sesak. Namun, setelah Balon Harapan kami tersangkut di dahan pohon berukuran cukup besar; usai banyak Balon Harapan lain melewati kami yang sibuk menambal lubang di karet warna-warni tersebut; saat akhirnya menyadari bahwa kami benar-benar tersangkut di tempat itu, aku akhirnya mengerti kata-katanya kala itu.

***

Phi bukan seseorang yang observatif. Ia jarang memperhatikan kondisi di sekitar dan lebih terfokus untuk mengerjakan tugasnya—terlebih, ia adalah teknisi utama dalam perjalanan panjang ini. Namun, setelah insiden Balon Harapan yang entah kenapa sukar ditambal setelah tersangkut di dahan besar, Phi berkata padaku bahwa Bi menjadi lebih gelisah. Ia tidak berhenti berputar, mencari segala benda yang dapat menambal balon kami, sambil sesekali menghela napas dengan kepala menengadah. Aku sendiri menghibur Phi, berkata bahwa itu adalah respons normal dari seorang pemimpin yang khawatir, dan, toh, kami sendiri tahu karakter kuat dari Bi.

“Yah, dia bukan tipe yang mudah menyerah. Kita tahu itu. Dan, aku juga lebih suka mempercayai bahwa Bi “baik-baik” saja. Tapi, aku berpikir ini lebih dari sekadar keputusasaan,” tanggapnya kala itu, yang membuatku termangu, melirik Bi dengan pandangan bertanya-tanya.

Setelah tersangkut amat lama, kami akhirnya dapat meneruskan perjalanan. Sayangnya, balon kami tidak lagi terbang seperti dulu. Kami beberapa kali mesti mengisi helium, membaca arah angin sebaik mungkin, sambil sesekali mendorongnya agar tetap bergerak sesuai jalur. Beberapa kali penerbang muda melewati dan mencemooh kami yang tidak lekas berada di Puncak Impian kendati lepas landas amat lama—yang lagi-lagi berhasil didebat oleh Bi. Namun, keadaan menjadi amat berbeda ketimbang saat awal kami lepas landas, dan kendati bersikap baik-baik saja, aku tahu kegelisahan Bi kian parah.

“Ei, tempat ini pasti banyak berubah, begitu juga pemandangan dari atas sana. Ah, aku jadi tidak sabar untuk berdiri di Puncak Impian!” Aku tertawa kecil ketika Bi mengucapkan hal itu saat pagi berkabut. Tidak berapa lama, ia mendongak, tersenyum samar. “Ei, kita akan ke sana, apa pun yang terjadi. Kau mengerti, ‘kan? Kita punya mimpi yang sama, tujuan yang sama … jadi, apa pun yang kulakukan, kalian pasti dapat memahaminya sebagai usaha untuk mewujudkan semua itu, ‘kan?”

Vokal Bi mantap, tetapi sangat pelan, dan aku tahu itu punya maksud lain.

Enam hari kemudian, balon kami kembali tersangkut, dan itu parah. Kami mesti susah payah keluar dari balon yang mengempis, kemudian lamat-lamat jatuh ke bawah. Beruntung, insiden itu terjadi di dekat pemberhentian Puncak Impian sehingga kami dapat berlindung ke sana. Akan tetapi, balon kami telah rusak dan menurut informasi dari penerbang yang berhenti di tempat tersebut, kami bisa menemukan Balon Harapan baru di pemberhentian selanjutnya—dengan memanjat tangga besi yang membujur mulai dari sana.

“Namun, itu bukan permasalahan gampang. Kalian harus memanjat tanpa henti sampai sana. Kalian harus melewati cuaca buruk, tanah longsor, dan halangan lain, seperti yang kalian alami saat berada dalam Balon Harapan. Bukannya meremehkan, tetapi untuk sampai ke sini dengan mengendarai balon pun rasanya sudah setengah mati, ‘kan?”

Yang kuingat, kala itu aku menunduk, memandang kakiku yang tidak dapat berfungsi normal, lantas melirik Ei yang mengenakan earphone-nya setelah menghela napas panjang—lakonnya abai—tetapi aku tahu jiwanya terguncang. Bi berdiri tidak jauh dari kami. Tangannya terkepal. Ia menengadah lama. Amat lama.

“Ei, bagaimana menurutmu? Apa kau bisa bertahan sampai sana?”

Aku tersentak, sedangkan Phi menyalak, “Apa maksudmu?”

Rahang Phi mengeras ketika Bi membalas, “Kita bisa sampai di sini bukan hanya karena kebetulan, tapi karena kita mampu melakukannya. Sekarang, kita hanya perlu berusaha lebih keras untuk mendapatkan balon kita kembali. Kita sudah terbiasa berjuang dan aku tahu kita bisa sampai ke atas sana. Kita sudah sepakat untuk mencapai Puncak Impian, apa pun yang terjadi, ‘kan?”

“Sialan! Lalu, bagaimana dengan Ei?” Aku lekas menunduk begitu Phi melafalkan namaku keras. “Dia hampir mati untuk mencapai tempat ini! Aku bahkan mesti menggendongnya supaya bisa menyamai langkahmu! Dan, sekarang kau berkata mau memanjat tangga besi itu ke pemberhentian selanjutnya? Ke mana logikamu, Bi?”

“Kita akan membantunya. Aku akan menggendongnya,” balas Bi yakin. “Ada banyak dahan yang biasa digunakan untuk beristirahat. Kita akan bergantian membantu Ei untuk sampai ke sana. Kita sudah berjanji untuk bersama-sama menuju Puncak Impian, ‘kan?”

Suasana seketika memanas. Aku mati-matian menengahi perdebatan Bi dan Phi. Bi sendiri berusaha mengontrol intonasinya untuk tidak memancing kemarahan Phi. Akan tetapi, kami tahu bahwa ini bisa saja berakhir lebih buruk dari insiden tersangkut waktu itu.

“Tidak, tidak!” Phi akhirnya menggeleng frustrasi. “Bi, itu bukan demi kami, itu demi dirimu sendiri!” Phi mengacungkan telunjuknya. “Kau hanya mau ke Puncak Impian, apa pun yang terjadi! Secepatnya! Kau bahkan mungkin tidak peduli bila kami sungguhan tidak dapat bertahan di tangga itu!”

Bi mengernyitkan dahi, kemudian memiringkan kepalanya, memandang Phi tajam.

“Pada dasarnya kau memang memanfaatkan kami, ‘kan?”

“Tutup mulutmu, Sialan!”

Phi dan Bi berkelahi hari itu—wajah mereka memerah, lalu membiru—dan baru berhenti setelah aku terjatuh, menerjang, serta menyumpahi Bi lantaran nyaris menjatuhkan Phi dari tepi pemberhentian. Phi meludah darah, lantas memojokkan diri, sedangkan Bi memandangku kosong. Kami duduk amat lama—tidak berbicara satu sama lain—hingga Bi menengadah dengan mata sayu, menyadarkanku akan sesuatu.

Bi punya impian, begitu pula aku dan Phi. Namun, setiap melihat Bi yang menengadah dengan mata berbinar, aku tahu bahwa impian yang ia miliki berpendar lebih terang ketimbang punyaku atau pun Phi. Kenyataan itu memukulku dalam diam sehingga aku pun menghela napas, berkata, “Kau akan melakukan apa saja. Apa pun, asal itu sampai di titik tertinggi tempat ini, ‘kan?”

***

Sebelum bertemu Phi, apalagi Bi, aku sekadar anak yang sehari-harinya menengadah, menatap Balon Harapan yang terbang dari berbagai sudut tanah ini, memendam keinginan untuk melafalkan impianku atau mengikuti Kursus Merakit Balon Harapan seperti anak-anak lain. Itu tentu hal wajar. Orang tuaku bahkan memintaku untuk berada dalam jangkauan mereka dan mencari alternatif lain agar dapat bahagia meski berada di permukaan.

“Tidak apa-apa meski kamu tidak berada di Puncak Impian, sebab pada dasarnya, kalau kamu dapat menerima semua yang ada, semua tempat ini adalah Puncak Impian.”

Namun, setelah bertemu Bi, aku mulai merasa bahwa setiap orang betul-betul berhak bermimpi. Aku merasa aku dapat berbuat sesuatu yang lebih ketimbang memandang langit yang dipenuhi Balon Harapan. Aku dapat memanfaatkan pengetahuanku saat berada di Kursus Merakit Balon Harapan untuk mencapai Puncak Impian. Aku bisa keluar sangkar, memamerkan pada orang tuaku bahwa aku sama normalnya dengan anak-anak lain, tidak peduli pada senyum tidak ikhlas mereka ketika melepaskanku pergi ke Puncak Impian.

Mungkin, aku sama egoisnya dengan Bi. Mungkin, setiap orang dapat menjadi egois bila berhubungan dengan impian. Mungkin, sikap kukuh Bi untuk memanjat tangga besi adalah sesuatu yang dapat kuterima, tanpa kusadari.

Pikiran itu terngiang berhari-hari. Aku bertanya pada diriku, masih inginkah aku pergi ke Puncak Impian? Beranikah aku memanjat tangga besi itu? Lebih lanjut, aku memperkirakan berbagai hal yang terjadi bila bersikeras mengekor pada Bi: apakah Phi akan luluh dan mau mengikuti keputusanku? Apakah ia tidak akan menyalahkan dan menuduh Bi telah menghasutku? Apakah kami betulan akan sampai ke pemberhentian selanjutnya bersama-sama? Apakah aku betulan tidak akan menjadi beban Bi atau Phi?

Kala itu, aku berhenti di tepi pemberhentian, memandang Balon Harapan baru yang lamat-lamat naik ke Puncak Impian; melihat betapa berbedanya pemandangan permukaan kini; menyadari bahwa meski tidak berada di bagian teratas, aku masih sedekat itu dengan awan dan langit.

Malamnya, aku menemui Bi yang tiba-tiba selayu bunga yang tidak disiram selama beberapa hari. Aku mendekat ke sampingnya, bertanya, “Apa kau benar-benar mau menumbalkan kami?”

Bi terdiam.

Aku menarik napas. “Apa kau memanfaatkan kami selama ini? Atau, memang keadaan yang membuatmu berubah? Apa kau takut tidak bisa mencapai Puncak Impian gara-gara kami? Atau, kau takut mencapainya saat tidak lagi di usiamu sekarang? Sebegitu inginnyakah kau pergi ke Puncak Impian?”

Bi memandangku, hendak menjawab, tetapi aku lekas menyela, “Apa pun yang terjadi, apa pun keputusan kami, apa pun yang kukatakan, kau tetap akan pergi, ‘kan?”

Irisnya bergerak lagi sebelum ia menjawab, “Ya.”

Aku menengadah.

“Aku … ingin sekali ke Puncak Impian. Aku ingin sekali melihat pemandangan yang kauceritakan selama ini. Tapi, aku memikirkan banyak risiko dan, ya, mau tidak mau aku menanamkan dalam diriku bahwa di mana pun aku berada, kalau aku memang nyaman, itu sama saja mencapai Puncak Impian. Tapi, kau berbeda denganku, atau Phi, ‘kan?”

“Aku … berapa kali pun berusaha mengatakan hal yang sama, tidak bisa menyangkal kalau aku ingin melihat pemandangan di Puncak impian itu, Ei. Kupikir, ini akan mudah jika kita bersama-sama, tetapi sepertinya keinginanku terlalu kuat untuk berhenti di tempat ini.” Bi memainkan jemarinya. “Aku benar-benar mau kalian percaya bahwa kita bisa merakit Balon Harapan yang baru di atas sana. Aku benar-benar ingin secepatnya ada di Puncak Impian.”

“Kalau begitu, itulah pilihanmu.”

Kami sama-sama diam.

Aku mengingat pertemuan pertama kami serta awal perjalanan kami di Bulan Harapan, kemudian bertanya, “Bi, kami temanmu, ‘kan?”

Bi tertawa canggung. “Tentu saja. Kenapa kau jadi terbawa omongan Phi waktu itu?”

Aku tersenyum. Memejamkan mata.

***

Hari itu, Bi betulan memanjat untuk mendapatkan Balon Harapan baru. Aku tertatih mengantar kepergiannya, berkata bahwa ia punya parasut kecil yang menolongnya bila terpeleset atau menyerah, dan ia hanya tersenyum lebar, memamerkan giginya yang tidak rata, berkata bahwa ia tidak akan kalah. Phi sendiri memilih menyingkir dengan dalih membangun mimpi barunya. Tidak ada yang protes dengan keadaan itu.

Aku menghibur diri, merelakan apa yang telah terjadi, sambil melambaikan tangan ke arah Bi yang menundukkan kepala sejenak sebelum berteriak, “Pokoknya, jaga Phi, ya! Perhatikan dia baik-baik!”

Aku tertawa canggung.

Setelah itu, aku menemui Phi yang mengenakan earphone-nya sambil melihat Balon Harapan yang bermunculan dari bawah.

“Kau tidak perlu mengatakan apa pun. Memang sudah pilihannya untuk mengejar mimpi egois itu.”

“Dan, kita juga egois karena memilih berhenti di sini.”

Phi melirikku, lalu membalas dengan ketus. “Memang dasarnya manusia itu egois, ‘kan? Apalagi kalau berkaitan dengan mimpi. Itu hal wajar. Aku juga tidak akan peduli kalau dia sampai di puncak lalu meneriaki kita sebagai pihak yang egois.”

Aku tertawa, lalu menengadah. Menerka keadaan Bi saat ini: berapa anak tangga yang sudah ia lewati; cuaca buruk apa yang sudah ia alami; sedekat apa ia dengan impian; apakah ia kelak akan menjatuhkan diri karena menyerah dengan impiannya selama ini. Namun, aku tahu itu semua adalah hal yang percuma, jadi aku menanggapi perkataan Phi, “Tidak usah peduli. Toh, kita memang dibebaskan memilih impian kita sendiri-sendiri, ‘kan?” (*)

 

Devin Elysia Dhywinanda adalah gadis AB hasil hibridisasi dunia Wibu dan Koriya yang lahir di Ponorogo, 10 Agustus 2001.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata