Obsesi
Oleh : Diah Estu Asih
“Hanya orang gila yang mau masuk fisika.”
Kalimat itu yang selanjutnya kuingat-ingat hingga hampir lulus kuliah. Aku membatasi diri agar tidak terhanyut dengan kegilaan fisika. Mengerjakan tugas semampunya, mencari tahu sewajarnya. Kungkungan rasa takut menjadi gila bila mendalami ilmu ini menghantui selama bertahun-tahun.
Awalnya, di semester satu. Aku mengajaknya berkenalan, melebarkan senyum ramah. Tapi balasan yang dia berikan justru tersenyum kikuk. Tak ingin berpikir panjang, aku lanjutkan ke teman yang lain. Mereka membalas senyumku, beberapa memberikan rangkulan. Setelah selesai, aku berdiri di barisan kedua, tepat di belakangnya. Dia yang kemudian menarik perhatian banyak orang karena menunjukkan sikap tak biasa. Berjabat tangan kaku, tersenyum kikuk. Gerak tubuhnya tidak menentu. Meski pelan, semua menyadari gerak ke kanan-kiri, kepala menoleh ke belakang, ke depan lagi yang dia lakukan. Terus diulang hingga acara temu jurusan itu selesai.
Keesokan harinya, saat pembagian kelompok, dia bersamaku dan empat orang lainnya. Nama kelompok kami harus menggunakan nama ilmuan fisika. Satu per satu dari kami mengajukan nama yang kami kenal. Albert Einstein, Maxwell, Isaac Newton, Galileo Galilei, Michael Faraday. Kambing menolak semua usulan itu. Katanya, kami butuh nama ilmuan yang jarang dipakai. Kemudian setelah menopang dagu bermenit-menit, dia mengangkat tangannya.
“Wolfgang Ernst Pauli! Pauli!” serunya dengan suara bergetar.
Kambing kami yang seorang lelaki dari angkatan atas langsung tersenyum lebar. Dia ikut menyebut-sebut nama Pauli, berkali-kali. Siapa itu Pauli? Kami berlima yang belum mengenalnya bertanya-tanya.
“Fisika teoritis dan fisika kuantum. Prinsip pengecualian Pauli!” ujar Kambing dengan semangat membara.
Aku terperangah, keempat anggota lain yang tidak tahu, hanya manggut-manggut saja. Bukan masalah besar, hanya soal nama, yang terpenting kelompok kami sudah punya nama, dan akan diingat pencetusnya adalah dia. Begitu pikiran mereka bekerja. Selanjutnya, setiap kali ada yang bertanya alasan pemilihan nama itu, dia selalu jadi orang yang akan menjawab.
“Pauli, hati nuraninya fisika!” jawabnya dengan suara bergetar. Lalu beberapa orang akan terperangah, ada lagi yang tertawa, dan sebagian besar menggelengkan kepala.
Mereka yang terperangah selanjutnya akan mencari tahu siapa itu sosok Pauli, bagaimana penemuan-penemuannya. Mereka adalah orang-orang yang mencintai fisika, memastikan diri bahwa masuk jurusan ini bukan sebuah kesalahan. Termasuk aku. Aku menghabiskan diri berminggu-minggu untuk mengetahui siapa itu Pauli. Meminjam beberapa buku di perpustakaan yang membahas Pauli, atau paling tidak menyebutkan nama Pauli. Setelah mencari tahu itu, aku baru mengerti kenapa sebagian besar orang di jurusan ini belum mengenal Pauli. Gagasannya tidak pernah dipublikasikan, hanya ada di surat-suratnya.
Lalu, mereka yang tertawa dan menggelengkan kepala adalah orang yang hatinya terpaksa berada di jurusan ini. Memilih fisika hanya cari aman karena nilai ujian tesnya sedang, daripada menunda kuliah dan jadi pengangguran. Mereka adalah golongan orang yang selanjutnya aku ikuti setelah satu tahun menjalani perkuliahan.
Di hari-hari selanjutnya, dia menjadi daya tarik kami semua, para penghuni jurusan. Dia menyebutkan nama-nama ilmuan lain, menyebutkan penemuannya dengan suara gemetar dan kadang terpatah-patah, di berbagai kesempatan. Saat kami duduk-duduk di depan gedung jurusan, saat di kelas, saat diskusi selama masa ospek, saat presentasi. Kami menjulukinya sebagai Ilmu Sejarah. Dia bisa mengaitkan banyak hal dengan penemuan para ilmuan. Dia menunjukkan kejeniusan pertamanya dengan pengetahuan itu.
Memasuki semester dua, kami semakin terkagum-kagum padanya. Pada mata kuliah Fisika Modern, bab Relativitas. Pertama kali dosen masuk, memberi pengantar perkuliahan. Selanjutnya, dosen bertanya, apa yang mahasiswa ketahui soal relativitas? Kami diam semua. Kami hanya tahu relativitas adalah hukum yang dicetuskan oleh Albert Einstein, yang berlaku pada benda berkecapatan mendekati cahaya. Kami hanya tahu persamaannya, bukan penurunan persamaan itu dengan langkah-langkah rumit.
Tapi, dia mengangkat tangannya. Dosen langsung tersenyum penuh harap, mempersilakannya untuk menjelaskan. Kami semua, termasuk dosen, mengira akan mendapat penjelasan dengan pilihan kata aneh dan sulit dimengerti. Namun, yang dia lakukan justru beranjak dari kursi, maju ke depan. Terlebih dahulu mengambil spidol di meja dosen, lalu mulai mengisi papan tulis dengan coretan-coretan. Gambar kereta, di dalamnya ada seorang manusia, lalu di jalan samping kereta, ada manusia lagi. Dia menuliskan simbol-simbol dalam relativitas, menurunkan sebuah persamaan hingga memenuhi papan tulis yang jika ditotal panjangnya nyaris mencapai tiga meter dengan lebar satu meter. Setelah selesai, dia menjelaskan dengan terpatah-patah dan gemetar. Kami mahasiswa lain tidak paham, tetapi dosen berbahagia. Memuji berkali-kali, menyebut namanya penuh kekaguman. Dia menjelaskan konsep pertama relativitas.
Tidak hanya di sana, selanjutnya, pada mata kuliah Matematika Fisika, di berbagai bab, dia sudah mendalaminya dengan baik. Nilai-nilainya berlambang A. IP-nya mendekati sempurna, 3,97. Luar biasa. Kami berdecak kagum, mengesampingkan fakta bahwa dia bersikap aneh. Dia sumber ilmu kami selain buku dan dosen. Dia juga sumber jawaban atas tugas-tugas kami para mahasiswa yang seangkatan dengannya. Di semua mata kuliah fisika, dia bisa menjawabnya.
Pernah suatu hari, saat mata kuliah Fisika Dasar dua perlangsung. Kating yang mengulang mata kuliah ini memilih duduk di sampingnya. Aku di belakang mereka, membaca buku Serway, berusaha mengerti konsep-konsep yang tertulis di buku itu. Tubuh jangkunya sedikit menunduk, menekuri buku yang belum kuketahui. Lalu, kating itu merapakatkan sedikit kursinya ke arah dia.
“Jawaban soal ini, bisa?” tanya kating itu, ragu.
Aku membiarkan buku Serway terbuka tanpa dibaca, mengalihkan perhatian sepenuhnya pada mereka. Dia melihat sebentar soal yang ditanyakan kating, lalu merogoh tas dengan gerakan tak biasa. Dia menyerahkan satu bendel kertas HVS, tebalnya aku perkiran mencapai 350 lembar. Di bagian depannya, tertulis dengan huruf kapital besar: PHYSICS FOR SCIENTISTS AND ENGINER SERWAY JEWETT. Itulah jawaban dari buku yang sedang kubaca. Dia telah menjawab semua soalnya, dijadikan dalam tiga bendelan besar. Di sanalah aku mulai semakin kagum, mengidolakan dirinya diam-diam.
***
Di awal semester tiga, sekitar pukul sepuluh pagi, aku melihatnya berlarian dari gerbang kampus menuju fakultas. Di belakangnya, seorang lelaki tua beruban mengejar. Langkah lelaki tua itu tentu tak lebih cepat darinya. Lelaki itu bertubuh kurus, pendek, sementara dia berkaki panjang.
Perhatian semua orang tertuju pada mereka. Satpam kampus berusaha mengejar. Di lapangan fakultas, dia tertangkap oleh satpam fakultas, sementara lelaki tua yang mengejarnya tertangkap oleh satpam kampus. Lelaki tua itu memberontak, mengacungkan tangan ke arahnya. Mulutnya tak mau diam, menyebut-nyebut namanya dengan makian.
“Gendeng! Wong kok mlayu-mlayu koyo ngono. Gek bali, lak ora bali tak beleh kowe.”[1]
Satpam berusaha menyeret lelaki itu, tapi tak berhasil.
“Stres. Arep dadi ilmuan, ilmuan! Ilmuan kui gek kerjanan opo?! Orang nggenah, ra due tujuan!”[2]
Lalu tiba-tiba saja terdengar suara orang menangis kencang. Dialah orangnya, meraung keras di balik cengkeraman satpam. Tubuhnya memaksa lepas, lalu mengguling-guling di paving. Mulutnya berulang kali mengatakan dengan suara lantang, tanpa gemetar atau patah-patah.
“I want to be a scientists! I want to be a scientists!”
***
Cerita itu seolah menjadi sejarah baru di fakultas. Diceritakan turun-temurun ke mahasiswa baru. Terkadang menjadi candaan, kadang pula menjadi hal menakutkan. Aku lebih pada opsi kedua, langsung merasakan ketakutan luar biasa saat mengingat kalimat yang dia ucapkan berkali-kali itu. I want to be a scientist. Dulu, keinginanku masuk jurusan ini juga untuk tujuan serupa. Menjadi ilmuan, mengenyam pendidikan hingga ke negeri tetangga. Melakukan penelitian bersama ilmuan hebat lainnya. Kini, itu menjadi momok. Rasa takut menjadi gila lebih mendominasi daripada keinginan menjadi peneliti.
Sembilan semester berlalu. Lima tahun lamanya aku telah mengenyam pendidikan di kampus, dan masih bersusah payah untuk menyelesaikan skripsi.
Catatan:
[1] Gila! Orang kok lari-lari seperti itu. Pulang, kalau nggak pulang tak bunuh kamu.
[2] Mau jadi ilmuan, ilmuan! Ilmuan itu pekerjaan apa? Nggak jelas, nggak punya tujuan!
Dunia Mimpi, 08 Oktober 2020
Diah. Salah satu penghuni dunia, mencintai sains.
Editor : Lily
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata