Oase

Oase

Oase

“Ibu, tolong bawa Reza keluar dari sini. Berisik banget!” aku berkata sinis pada Ibu yang tengah sibuk membuatkan susu untuk Reza.

Tergopoh Ibu membawa sebotol kecil susu dan memberikan pada Reza yang langsung terdiam. Aku mendengus dan kembali fokus pada layar laptop mengerjakan tugas kuliah.

“Kenapa nggak kamu gendong dulu sih, Rah? Kasihan kan, Reza nangis terus,” omel Ibu sambil menepuk-nepuk bayi gembul itu, membuatnya tertidur.

Aku tak menjawab, berpura-pura tuli. Ibu hanya bisa mengusap dada dan kembali ke dapur setelah Reza tertidur pulas. Aku melirik ke arah bayi tak berdosa itu. Orang lain pasti akan berkata, “Ganteng sekali! Lucunya!” Tapi, tidak untukku. Dia adalah aib terbesar dalam hidupku. Iya! Dia anakku, bukan adikku!

***

“Rah, malam minggu kita nonton, yuk!” ajak Dodi saat menghampiriku yang sedang makan siang di kantin, sendirian. Cowok playboy kampus itu sepertinya masih penasaran untuk menaklukkan hatiku.

“Nggak, ah! Aku sibuk,” ujarku ketus. Jelas tersirat kekecewaan di mata pria semester akhir yang sudah seminggu ini memberondongku dengan segala macam pesonanya.

“Kenapa?”

“Kan udah bilang! Aku sibuk.”

“Kalau gitu, boleh nggak aku main ke rumahmu?”

“Nggak.”

“Kenapa?” tanya Dodi lagi yang membuatku menatap kesal ke arahnya. Seakan mengerti jawabanku selanjutnya, ia berlalu pergi seperti biasa.

Aku adalah pendatang baru di kota ini. Bandung. Kota pelarian dari segala musibah yang membawa aib bagiku. Sejak masuk kuliah hingga kini tak ada seorang pun yang berani mendekat, kecuali Dodi yang selalu berakhir dengan penolakan.

Aku terus membentengi diri dari semua orang. Bahkan, sekadar berteman dengan mahasiswi lain pun rasanya enggan. Aku takut pada akhirnya mereka tahu masa laluku yang kelam.

“Sarah?” sebuah suara yang tak asing memaksaku untuk menoleh dan refleks berdiri. Tiba-tiba hati ini berdenyut nyeri saat melihat sosok yang setahun belakangan ini selalu menghantui mimpi burukku.

Angga, pria dari masa lalu, menatapku dan tersenyum penuh arti. Tanpa menunggunya mendekat, aku berlari sekuat tenaga. Mataku terasa panas dan pedih menahan cairan bening agar tidak mengalir. Kenapa dia datang lagi? Apa mungkin untuk mengorek kembali luka yang masih besar menganga?

***

Ibu terjaga hingga larut malam karena Reza demam tinggi. Rumah kami yang kecil memaksa kami bertiga tidur dalam satu kamar. Aku yang tidak tega melihat Ibu terkantuk sambil mengompres, akhirnya bangun dan mengambil alih handuk kecil di genggamannya.

“Ibu tidurlah! Biar Reza, aku yang urus,” kataku, Ibu menatap tak percaya ke arahku. “Sarah janji bakal jagain Reza, Bu. Percaya deh!”

“Ya sudah. Kalau ada apa-apa bangunkan Ibu, ya?”

Ibu akhirnya tertidur setelah yakin aku menjaga Reza dengan baik. Aku memang tak suka pada bayi mungil tak berdosa ini. Setiap melihatnya, bayangan masa lalu kembali berputar layaknya video yang sudah di-save dalam memori. Aku tak tahu kapan bisa menerima kenyataan bahwa dia adalah darah dagingku.

Setelah memberi Reza obat, panasnya pun mereda. Dia tertidur pulas. Aku menatapnya sampai mata ini mengeluarkan cairan bening yang sudah tertahan sejak lama. Aku mencium pipi gembilnya dan—untuk pertama kali—memelukya setelah sebulan lalu kulahirkan ke dunia.”Kenapa kamu lahir dari ibu sepertiku, Nak?” tanyaku berbisik dalam tangis, teringat kejadian malam nahas itu.

***

“Kak Angga? Kamu … mau nggak jadi pacarku?” tanyaku gugup, menunduk tak berani menatap wajah kakak senior yang sudah sejak lama merajai hatiku.

Setahun lebih memendam rasa suka membuatku nekat. Tentu saja, aku tahu konsekuensinya. Terlebih lagi, Angga terkenal sebagai cowok yang menjaga jarak pada setiap cewek.

“Hah? Pacaran? Maaf, dalam Islam, nggak ada yang namanya pacaran. Kenapa nggak nunggu kita lulus dan bekerja? Lalu, kamu boleh minta aku buat melamar kamu,” jawab Angga, membuatku bingung untuk mengartikannya. Diterima atau ditolak?

Dia pergi tanpa menjelaskan lagi. Aku hanya berdiri sambil menggaruk kepala yang tak gatal. Akhirnya, aku menyimpulkan bahwa jawabannya adalah “ditolak”. Tersungging senyum yang jelas dipaksakan untuk menutupi rasa nyeri setelah patah hati.

Aku hanya terduduk di taman belakang kampus, mencoba menata kembali hati untuk tetap melanjutkan perjuangan mendapatkan cinta Angga.

Aku pulang sangat terlambat. Jalanan jakarta tampak lebih sunyi dari biasanya. Kupercepat laju motor matic-ku saat melewati jalan yang bahkan tak ada lampu penerangannya.

Tiba-tiba, sebuah motor berukuran besar menyamai laju kendaraanku dan salah seorang dari mereka memukul lengan kananku dengan kayu. Motorku oleng dan terperosok ke pinggir jalan. Darah segar mengalir deras dari pelipis yang terantuk trotoar. Rasa sakit menjalar di seluruh tubuh, terutama di kepala dan lenganku. Sesaat sebelum akhirnya pingsan karena darah yang terus mengucur, aku merasa dibawa ke suatu tempat oleh mereka. Hanya itu yang kuingat, malah sangat bersyukur karena “hanya itu yang kuingat”.

Aku terbangun dua hari setelah kejadian nahas itu di rumah sakit tak jauh dari TKP. Tampak wajah layu Ibu karena tak hentinya menangis.

“Kamu yang kuat ya, Nak! Ini cobaan besar buat kita setelah Ayah tiada. Jangan putus harapan,” kata Ibu sambil menangis. Aku masih belum bisa mencerna apa maksud perkataannya itu.

Aku diizinkan pulang setelah seminggu lebih dirawat intensif. Baru aku tahu dari keterangan polisi yang menangani kasusku. Malam itu, bukan hanya motor yang sudah mereka rampas. Para pria biadab itu juga merampas mahkota kesucianku. Seseorang menemukan tubuhku dengan pakaian terkoyak di balik semak. Dia yang membawaku ke rumah sakit dan menemani sampai Ibu tiba. Jantungku terasa berhenti berdetak saat tahu bahwa Angga adalah pria tersebut.

***

“Rah, Ibu mendapat tawaran taaruf buat kamu dari Ustaz Soleh untuk anaknya,” Ibu berkata dari ruang tamu sambil bermain-main dengan Reza di pangkuannya.

“Apa nggak salah, Bu? Ustaz Soleh kan orang terpandang dan alim di lingkungan kita. Mana mau beliau punya menantu yang punya masa lalu kelam.” Aku duduk di samping Ibu yang masih asyik bermain bersama cucunya. Aku menyalakan TV dan tak menanggapi serius ucapannya.

“Insya Allah, jika Dia berkehendak dan ini mungkin jalan yang diberikan-Nya untukmu memperbaiki hidup.”

“Aku sih terserah Ibu saja. Asal dia bersedia menerima masa laluku dan Reza,” kataku mematikan TV dan mengambil Reza dari pangkuannya.

Aku melihat senyuman terkembang di wajah renta Ibu karena jawaban dan kenyataan bahwa aku sudah mau mengakui Reza. Wanita yang ikhlas merawat putri semata wayangnya yang hampir gila saat mengetahui kehamilannya akibat insiden biadab itu. Ia membawaku yang tengah hamil muda pergi dari rumah kami di Jakarta ke kota Bandung. Berharap aku melupakan semuanya dan memulai hidup yang baru.

Pukul delapan malam, Ibu dan aku sudah siap menyambut kedatangan keluarga Ustaz Soleh. Ibu terlihat cantik dalam balutan jilbab polos dan gamis bergo bermotif bunga, hampir serupa dengan yang kukenakan. Reza tertidur dalam box bayi yang sengaja kutaruh dekat ruang tamu.

“Assalamualaikum!”

Terdengar salam dari luar. Ibu bergegas membuka pintu. Sedangkan aku, menguatkan hati untuk menerima kemungkinan terburuk.

Ustaz Soleh dan istrinya masuk terlebih dahulu. Kemudan disusul pria yang kuperkirakan usianya lebih muda dariku.

“Apakah dia yang bakal jadi imamku?” tanyaku dalam hati. Sedikit terkejut. Heran, karena sosok pria yang banyak diinginkan gadis-gadis di luar sana, kini malah berada di rumahku. Melamar gadis yang sudah bukan perawan lagi.

Aku hanya diam mendengar kata-kata pembuka dalam acara taaruf ini. Aku masih hanyut dalam pikiranku sendiri, hingga sebuah pertanyaan akhirnya tertuju kepadaku.

“Nak Sarah, apakah bersedia dipinang oleh anak kami?” tanya Ustaz Soleh membuyarkan lamunanku.

Tergagap aku menjawab, “I—insya Allah saya siap. Tapi, sebelum melanjutkan proses lainnya, saya ingin Ustaz sekeluarga tahu masa lalu saya.”

“Kami semua sudah tahu, Nak. Kami juga sudah menerimamu sebagai menantu sejak lama. Hanya saja baru hari ini, kami siap melamarmu,” kali ini Ummi Nani yang menjawab. Tak ada kebohongan dalam matanya. Aku hanya tersenyum menanggapi.

“Kalau begitu, kita anggap saja lamaran kami diterima. Dan…,” Ustaz Soleh menggantung kata-katanya dan terlihat mencari seseorang. “Di mana anak kita, Bu?” tanyanya kebingungan.

“Loh … bukannya dia yang bakal jadi imamku?” tanyaku polos menunjuk sopan pada pria yang sejak tadi terdiam, disambut derai tawa semua orang.

“Bukan dong, Nak! Dia itu calon adik iparmu. Calon suamimu sedang menuju kemari.”

Aku menunduk, malu setengah mati ditertawakan seperti itu. “Maaf,” hanya kata itu yang mampu terucap dari bibir ini. Ibu yang tertawa membuatku bahagia. Mungkin menerima lamaran ini menjadi caraku membalas semua pengorbanan wanita paruh baya tersebut.

“Assalamualaikum….”

“Waalaikumsalam…,” jawab kami serentak.

“Itu dia, anak kami. Calon suamimu,” seru Ummi Nani.

Aku berdiri termangu, menatap pilu sosok pemuda itu. Wajah yang amat kurindukan tapi tak kuasa untuk bertemu.

“Sekarang kamu nggak bakal bisa lari lagi, Sarah! Seperti yang kamu lakukan setahun yang lalu dan kemarin saat di kantin kampus,” ucap Angga, tersenyum.

“Ke—kenapa kamu ada di sini?”

“Setelah kepergianmu setahun yang lalu tanpa pamit. Aku terus mecari ke segala tempat. Aku baru tahu kamu ada di sini saat mudik lebaran kemarin. Ini kampung halamanku, jadi wajar saja kalau aku berada di sini.”

“Kenapa? Kenapa kamu mencariku? Aku bahkan tidak layak untuk menjadi sahabatmu. Tapi kenapa istri…?”

“Aku ingin menunaikan janji kita tahun lalu. Saat kamu memintaku menjadi pacarmu, tapi aku lebih memilihmu sebagai istriku dan Reza sebagai anak sulungku.”

Aku terkejut menyadari bahwa kata-katanya dulu bukanlah sebuah penolakan. Benarkah demikian adanya? Rasanya tak percaya menerima semua kebahagiaan ini. Bagaikan menemukan oase di tengah gurun pasir, menghilangkan segala dahaga sang musafir yang tersesat.

Seluruh keluarga berbahagia dengan keputusan ini. Calon ibu mertuaku bahkan sudah menggendong Reza dalam pelukannya. Aku berharap ini bukan sebuah mimpi indah di tengah malam yang akan segera menghilang di kala fajar tiba.(*)

TNG, 21/10/17

Raini Azzahra, wanita kelahiran 28 tahun lalu yang selalu bermimpi jadi penulis besar. Fb: RaiNi Azzahra.

Grup FB KCLK
Halaman FB kami:
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita