Nyanyian Burung Kutilang
Oleh : Gansar Dewantara
Setiap Minggu pagi dan hari-hari libur saya selalu ikut Bapak ke sawah. Sebagai bocah keturunan petani, kulit saya pun sawo matang, tapi postur tubuh saya belum seperti bentuk tubuh milik Bapak, merengkel-merengkel, melainkan masih coking, maklum baru lulus sekolah dasar (SD). Kata Emak, saya bocah yang kuwendel – bandel (berani, nekat, nakal). Tetapi, nakalnya saya tidak jauh dari seorang bocah desa, yang hanya sebatas tak patuh larangan-larangan orangtua, semisal jangan main layang-layang pas terik matahari, jangan main-main dengan ular, jangan sering hujan-hujanan apalagi masih memakai seragam sekolah, tidak boleh pegang HP selain hari Minggu.
Sebenarnya daerah saya bukan pedesaan pelosok, melainkan daerah yang menurut geografisnya dekat dengan kota metropolitan. Maka tak mustahil jika suatu saat sawah-sawah warga di daerah saya dibimsalabim jadi gedung-gedung megah atau sebagaian jadi terusan jalan tol.
***
Seperti pada Minggu awal Juni kali ini. Saya ikut Bapak ke sawah. Sesampainya, Bapak langsung menjalankan rutinitas petani tulen: mencakul tanah, pembenahan aliran air keluar-masuk sawah, menabur pupuk urea sebagai nutrisi vegetatif padi.
Sementara saya bermain dengan yuyu, belalang, selanjutnya mengejar-ngejar burung emprit yang pisah dari kawanannya. Tiba-tiba saya ingat anak-anak burung kutilang yang sepekan kemarin saya tengok di sarangnya masih piyik di ranting-ranting pohon lamtoro.
Pohon-pohon lamtoro itu tak jauh dari sawah milik Bapak, kira-kira dua puluh langkah kaki orang dewasa, pohon itu berjajar rapi di pinggiran kali.
Satu hal yang saya kudu berhati-hati adalah batang-batang pohon lamtoro mudah patah. Agar tak gemetaran, seperti biasanya, saya nyanyikan lagu burung kutilang.
“Di pucuk pohon cemara
Burung kutilang berbunyi
Bersiul-siul sepanjang hari
Dengan tak jemu-jemu
Mengangguk-angguk sambil berseru
Tri li li li li ….”
“Hai, Bocah! Jangan kau injak batang kecil itu, anak-anakku lagi makan!”
Sepontan saya teriak, “Bapaaak!”
“Turun, Nak, kamu cari apa?” teriak Bapak mendongakkan kepala ke arah saya.
“Hai, Bocah. Kau jangan takut,” ucap suara aneh itu lagi.
“Ka … kamu, kamu, itu apa atau siapa?” tanya saya gemetaran, seraya merangkul kuat batang dan menunduk.
“Tidakkah kau lihat sekeliling pohon ini, di sela-sela daun dan rantingnya, itu sarang kami, dan sarang-sarang itu ada anak-anak kami,” suara aneh itu menjelaskan kondisi sekitar.
“Laa … lalu kamu siapa, hantu? Burung, aaatau burung hantu?” kejar saya yang belum bisa mengondisikan gejolak antara penasaran dan takut.
“Betul!” jawabnya.
Saya hampir melompat dari ketinggian pohon, untungnya secepat kilat suara aneh itu mengklarifikasi. “Bukan! Maksudku, aku burung kutilang, coba kau menoleh ke kanan, nanti aku terbang!”
Saya pun menoleh ke kanan, lalu melihat ia terbang dan tersenyum.
“Iya, ‘kan?” tanyanya.
“Ah, masa saya bisa mudeng bahasamu dan mana mungkin kamu tahu ucapan saya?”
Pelan-pelan saya mengangkat kepala seraya, membuktikan coletah aneh itu.
“Buktinya, kita sudah ngobrol, jangankan cuma memahami omongan, kau pun bisa terbang seperti aku, tapi …?”
Dengan satu jurus, kutilang itu sudah di pundak saya.
“Tapi apa?”
Anehnya rasa takut di diri ini sedikit sirna.
“Tapi, kau harus berubah wujud seperti aku,” lirihnya seperti bisikan angin.
“Hahaha! Kamu ini ngelantur, mana ada manusia berubah wujud seperti burung?” sergah saya. Tapi jujur saja, saya bimbang antara percaya dan tidak. Dahulu kakek sering mendongengkan saya sebelum tidur, tentang ular jelmaan setan, serta pernah bercerita Prabu Angling Darma juga bisa berubah menjadi burung.
“Kalau Tuhan menghendaki, tidak ada yang tak mungkin.”
“Ya, jelas sudah! Kamu bukan burung, tapi hantu yang menjelma, saya tidak percaya kicauanmu!”
Bulu kuduk saya spontan merinding kembali, kutilang itu lompat pindah ke dahan persis di hadapan saya.
“Kalau tidak bersedia, ya, tidak apa-apa. Namun, sebenarnya mudah dan cepat. Kau cukup lepaskan pakaian, lalu menutup lubang kuping kanan dengan jari telunjuk tangan kiri dan menutup lubang kuping kiri dengan jari telunjuk tangan kanan, terus kau nyanyikan laguku, nyanyian burung kutilang, sampai kau tak mendengar suara nyanyianmu sendiri, jika sudah terasa sedikit gatal dan puyeng, maka bukalah mata dan kau sudah berubah wujud menjadi burung kutilang seperti aku, bebas terbang ke mayapada.”
Setelah mewejang saya, burung itu terbang menghampiri kawanannya yang sedari tadi mengawasi perbincangan saya dengannya.
“Haiii! Kamu ke mana? Saya bersedia. Ta … tap, tapi, apakah saya bisa kembali menjadi Labib lagi, kembali seperti semula, seperti saya ini?”
Pandangan mata saya mengikuti loncatan—terbang singkatnya.
“Ooh, tentu bisa!” jawab kutilang semangat. “Jika langit menyemburat merah, kembalilah ke sini, ke tempat ini, dan bertasbihlah kepada Tuhan. Tapi ingat! Asal pakaianmu masih tetap berada di sini!” sambung penjelasannya.
Burung itu menghampiri saya lalu terbang mengintari pohon-pohon.
***
BENAR! Dalam sekejap, setelah melakukan ritual yang diwejangkan, menutup lubang kuping kanan dengan jari telunjuk tangan kiri dan menutup lubang kuping kiri dengan jari telunjuk tangan kanan, dan blaa blaaa … saya sudah menjadi burung seperti dia, ada puluhan kawanan kutilang mengerubungi saya, ada yang sekadar mecubit, mencium, mengepakan sayap-sayapnya, riang sekali penyambutan warga baru.
“Ayo terbang! Ayo terbang! Ya terbanglah!” seru mereka.
“Coba kau kepakan sayapmu, Bib, aku mendampingi.” Ia memanggil nama saya.
Pelan-pelan saya kepakkan sayap dan kelepurr … wuuuss ….
“Ahaiii! Saya bisa terbang!” girang saya.
“Terbanglah yang merdeka, Bib, nanti kau akan tahu makna sebuah kemerdekaan bukan kebebasan yang keblablasan, hihihi ….”
“Ah, bahasamu seperti Bunda Guru Indah Patmawati. Guru saya di sekolah dasar!”
“Kau mau terbang ke mana, Bib?”
“Ke Istiqlal?”
“Kok, ke masjid, kenapa?”
“Ya, salatlah … masa mau sekolah?”
“Ooo, aku kira tamasya!”
“Ke masjid kok tamasya?”
“Lho, bukannya fungsi masjid sekarang bertambah, jadi tujuan tamasya juga!”
Dia seakan menyindir saya dan teman-teman sekolah yang kemarin sebelum pengumuman lulusan sekolah bertamasya ke Masjid Kubah Emas, Depok. Ada juga yang berkunjung ke Masjid Perahu Nuh, Kendal.
Cukup lelah ….
“Okelah, Bib, kita mendarat di menara Istiqlal ini. Perlu kau ketahui, aku dipanggil Datuk sama spesies jambul kutilang, ibarat jemaah pasti ada imamnya, organisasi pasti ada pimpinannya, negara pasti ada presiden atau rajanya, dan setiap spesies pasti ada datuk. Bukan kawanan kami yang memilih aku sebagai datuk, melainkan Tuhan yang menunjuk, maka aku dibekali berbagai hal yang spesies kami tidak mempunyai.”
Penjelasan Datuk Kutilang membuat saya takjub, barusan batin ini meraba tanya, burung kok ngerti urusan manusia.
“Bib ….”
Burung itu mengagetkan saya, spontan jenggirat saya terbang ke atas lalu turun persis di sampingnya. Ia bertanya, apakah saya jadi salat?
“Mana mungkin burung salat, Datuk?” jawab saya bingung.
“Hahaha. Katanya ke Istiqlal untuk salat? Maukah kuajari bertasbih kepada Tuhan?”
“Bertasbih bagaimana maksudmu?”
“Bukannya di kitab sucimu Al-Qur’an sudah termaktub, bahwa semua yang ada di langit dan di bumi bertasbih kepada Tuhan.”
“Termasuk kamu, eeemm … maksudku termasuk burung juga bertasbih?”
Saya melontarkan tanya sesudah terbang kecil—mencrok dari menara Istiqlal. Selanjutnya Datuk mengajari bertasbih ala jambul kutilang. Dan kami berdua berdendang bertasbih di atap paling atas Istiqlal.
“Langit mulai senja sebentar lagi memerah, yuk kita pulang, besok kita mengawang-awang lagi.”
Datuk mengajak kembali. Kami berdua terbang menari-nari di awang-awang sambil bertasbih, terkadang diselai cerita, lalu bertasih lagi, begitu mengasyikan.
“Kau suka petualangan pertama ini, Bib?” tanyanya saat mencrok di atap rumah.
“Oh, sangat mengesankan. Kok, dari tadi kita tidak mampir makan?”
“Apa kamu sudah lapar, Bib?” Datuk balik tanya.
“Tidak.”
“Baik kalau gitu, kita lanjut meluncur.”
Ia langsung terbang meninggalkan saya.
“Datuk!” seru saya. Ia tak menoleh, apalagi membalas, ia mencrok di pohon depan gedung, lalu saya ikuti.
“Datuk.”
“Ya, Bib.”
“Kok, Datuk tidak cari makan untuk anak-anak?”
“Aku dan kawanan burung kalau makan secukupnya, tidak seperti manusia yang senangnya menimbun, asal mangsa besar langsung terkam, semua dikunyah-kunyah!”
“Datuk tahu dari mana?”
“Perilaku bejat sebagaian manusia sudah menjadi rahasia umum seluruh makhluk bumi. Mereka sembahyang, yang muslim juga rajin salat, tapi sekarang banyak yang berhobi menghujat. Padahal esensi keberhasilan salat adalah kuatnya kasih sayang di jiwa dan terealisasi pada perilaku. Jujur, aku bersyukur dijadikan burung kutilang, yang menurut manusia kicauanku cempreng, tak laku dijual. Coba burung-burung yang selain aku, mereka dirampas kemerdekaannya, dikengkang biologis asmaranya hanya untuk kesenangan para manusia yang tak punya hati. Apa manusia tak berpikir kalau burung juga punya masa kawin? Sudahlah … Bib, kita percepat, langit mulai redup!”
Lagi-lagi Datuk langsung wuuusss, membuat saya kewalahan mengejarnya.
“Tetap terus bertasbih lho, Bib!” teriaknya.
Saya malu kesindir terus, niat awal saya manjat pohon lamtoro ingin memungut anak-anak kutilang itu.
“Ya!”
Saya kejar Datuk dan menirukan gaya terbang riangnya, terbang lurus, naik-turun, belok kanan lalu mencrok, terbang lagi, belok kiri mencrok lagi, dan terbang lagi, begitu terbang kami berdua, seperti peta jiwa.
Entah, rangsangan apa yang mendorong, tiba-tiba saya ingin ke rumah.
“Datuk,” panggil saya ketika kami berdua jeda di kabel hitam.
“Hem.”
“Saya mau kerumah, menjenguk Ibu barang sebentar, bolehkah?”
“Jangan, Bib, malam mau tiba!” respons Datuk menoleh-nolehkan kepalanya, siap mabur kembali.
“Sebentar saja, boleh ya?”
Saya memelas dan Datuk sebagai bodyguide sepertinya terpaksa mengiyakan, lalu terbang di depan saya menuju rumah.
***
Ibu lesu tersedu, matanya merah sembap. Bapak resah, sorot matanya tajam ke jalanan padas arah sawah. Kakek sepertinya ngomel-ngomel, dan tetangga semakin bertambah berdatangan ke rumah, semua sedih wajahnya. Ada apa ini? Dan kenapa saya tidak bisa mengerti apa yang mereka bicarakan?
“Buuu, Paaak, ini saya, Labib!”
Saya masuk rumah lewat jendela lalu nangkring di atas lemari kayu jati, sementara Datuk menunggu di pohon jambu depan rumah.
“Datuk! Datuk, masuklah!” teriak saya memanggil Datuk.
“Ya, Bib! Cepat kita balik saja, kamu harus kembali sebagai Labib, mereka sedih karena menunggumu!” balas Datuk dari luar pagar rumah.
“Oo, begitu. Sebentar ya, Datuk, saya mau minum seteguk?”
Saya melompat terbang ke meja makan mau minum, tapi ….
“Aduuuh, tolong! Saya ketangkap Paman Yudi. Datuuuk! Tolong, Datuk! Tolooong!”
Saya terus berteriak minta tolong. Namun, Datuk malah terbang menghilang.[*]
Masjid Kuba Emas – Limo – Depok, 2019 – 2020.
_____________________
Gansar Dewantara, seorang murid yang ingin bisa berkarya.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata