Nulipara
Oleh : Esa Nara
Di taman yang penuh dengan anak-anak kecil, Sira duduk di salah satu bangku kayu, menjadi pengamat. Jika saja dahulu bayinya lahir dengan selamat, anak itu pasti sudah berusia tujuh tahun sekarang—seumuran dengan bocah gemuk yang tengah berdiri menjilati es krim yang meleleh di jari-jarinya tak jauh dari Sira. Sepekan yang lalu Sira menanyai umur bocah itu—sama seperti ia bertanya pada anak-anak lain di sana—lantas setelahnya kembali duduk di pos pengamatannya dengan wajah sendu. Menatap tubuh gempal si bocah berlarian dengan gerak lamban ke sana kemari, sebelum dibawa pulang oleh ibunya ketika sore kian meredup.
Seperti banyak hari sebelumnya di taman itu, Sira kembali memacu kinerja imajinya: menghadirkan sekian puluh andai-andai dalam kepala. Dalam ruang khayal Sira, ia memunculkan figur dirinya yang tak duduk sendirian di bangku yang catnya mengelupas sebab perubahan iklim itu. Sang anak ada di sana, tertawa riang dalam dekapan Sira yang juga tersenyum lebar. Begitu bahagia karena saling memiliki satu sama lain sebagai harta paling berharga dari segala yang ada di semesta raya.
Lantas sepotong khayal tersebut luruh, manakala sebuah bola menggelinding menabrak ujung sepatu Sira. Sesosok anak laki-laki yang wajahnya telah dikenali Sira dalam beberapa hari terakhir, berlari menyusul di belakangnya. Senyum yang terpeta pada wajah polos makhluk kecil itu kala menatap Sira—yang memungut dan menyodorkan bolanya—menimbulkan perasaan teramat rumit di benak wanita yang gagal menjadi ibu itu.
“Terima kasih.” Ia berucap malu. Sira mengangguk, mengulas senyum sekilas. Lantas selepas si anak laki-laki dan bolanya beranjak meninggalkan Sira lalu kembali bermain dengan kawan-kawannya, mata wanita itu seketika menghangat. Titik-titik air yang mulai menggenangi sepasang pelupuknya yang sendu itu menyiratkan kerinduannya yang teramat sangat pada sang buah hati yang tak sempat ia dengar tangisnya. Tiap tarikan napasnya terasa berat acap kali menyaksikan anak-anak lain di taman itu bermain dengan riangnya bersama orangtua mereka.
Terkadang Sira mengumpati nasib, melempar tanya kepada siapa pun Sang Pemilik Kehidupan: mengapa harus dirinya, mengapa harus bayi malangnya. Namun, sama seperti semua pertanyaannya perihal garis takdir: tanya itu sekadar hilang ditelan langit dan tak pernah terjawab.
Bayangan senja mulai menghampiri taman itu, membiaskan cahaya keemasan pada tiap objek yang berada di sana: pada pohon-pohon yang daunnya mulai meranggas penanda bergantinya musim, pada tiang besi ayunan yang mengalami korosi, pada wajah pucat Sira yang tengah memandang dengan sorot muram seorang gadis kecil yang berjalan meninggalkan taman dalam iringan tangan ayahnya. Ayah, sosok yang tidak dimiliki calon bayi Sira.
Sira mengerjap sebelum sebuah tawa sumbang mencelus dari bibirnya yang pucat. Pelukan dan tawa bahagianya bersama sang anak dalam khayalan tadi buyar begitu saja, berganti dengan pemandangan sosok mungil yang meringkuk memeluk lutut di sudut ruangan gelap—menangisi nasib.
Dalam pendar sinar matahari yang mengantuk itu Sira menenggelamkan wajah dalam tangkup telapak tangannya. Menangis sejadi-jadinya mengenang kejadian bertahun lalu: gurat ekspresi orangtua yang memandangnya seakan ia adalah aib paling menjijikkan, cemooh masyarakat yang entah mengapa menghakimi seenak hati mereka—berkata bahwa Sira adalah sosok bersalah yang berhak mereka hina. Kemudian wajah bajingan yang telah menabur benih dalam rahimnya.
Jemari Sira mengepal kuat, memaksa nuraninya percaya bahwa tak ada salahnya jika detak jantung sang bayi tak pernah didengar dunia. Sebab Sira tak akan bisa membayangkan penderitaan yang ia yakini sudah barang tentu akan menimpa anak itu. Bagaimana mungkin ia sanggup membiarkan anaknya yang tak berdosa menanggung semua beban sosial yang diciptakan masyarakat dengan semena-mena. Bagaimana mungkin bocah malangnya dapat bertahan ketika mengetahui bahwa ia berasal dari benih seorang ayah biadab dan ibu korban pemerkosaan. Sira tahu ia tak akan sanggup melihat anaknya tumbuh dalam kehidupan semacam itu.
Maka di suatu malam tujuh tahun yang lalu, Sira memilih mencintai sang anak dengan caranya sendiri. Cara yang dikutuk manusia-manusia yang mengaku bermoral tapi tetap tak mengurungkan niatnya. Bahkan walau tahu ada rasa bersalah yang akan ia tanggung di sisa hidupnya. Tak apa, karena semua demi kebaikan sang anak.
Malam itu, di tengah hujan deras dan deru angin yang beradu di balik jendela kamarnya, Sira memilih menjadi pembunuh.(*)
Esa Nara. Asimilasi Slytherin-Hufflepuff yang gemar membaca dan menulis.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata