Nocturne in E Flat Op. 9 No. 2
Oleh: Nurul Istiawati
Felicie menyusuri koridor rumah sakit dengan membawa sebuket lavender ungu.
“Bagaimana keadaanmu, Bu?” tanyanya.
Wanita berbaju biru itu tak lantas menimpali pertanyaan Felicie.
“Kau tahu tidak, warna lavender ini melambangkan keanggunan. Itu sebabnya aku memberikannya untukmu.”
Sekilas Felicie melihat ibunya tersenyum, lalu memalingkan muka ke vas yang telah terisi lavender.
“Apa kau masih marah pada takdir?” tanya Felicie ingin tahu.
“Apa jika aku marah pada takdir, takdir akan membayar harga atas kematian ayahmu?” Ibu berbalik menanya Felicie. Felicie hanya bergeming menerjemahkan kepahitan dari sorot mata ibunya.
***
Felicie mendongak ke langit. Ia ingat, kata mereka, orang yang telah mati akan hidup kembali di bintang. Felicie menerka-nerka mungkin saja ayahnya berada di bintang yang cahayanya seperti api di sumbu lilin, terang dan agak kebiruan.
Kemudian Felicie menunduk. Matanya terasa berat. Mulai basah.
“Apa yang membuat seorang gadis menangis di tengah malam?” tanya seorang pria bertopi hitam.
Felicie tertegun. Suara pria itu membuat lehernya yang sedari tadi menunduk kini menegak. Dengan segera ia memangkas air di pelupuk matanya.
“Apa kau masih ingat denganku? Ah, kuharap iya, sebab telah kuhabiskan Januari hanya untuk mencarimu,” lanjut pria itu.
Tentu saja Felicie mengenalnya. Dia pria yang menemukan tasnya saat ia tertinggal dari rombongan wisata di kota Avignon.
“Untuk apa mencariku?” tanya Felicie.
“Untuk menagih sesuatu padamu.”
“Mengapa dulu kau menolak imbalan karena telah menemukan tasku? Dan sekarang kau benar-benar menagihnya?”
“Bukan imbalan. Aku menagih namamu. Waktu itu kita berpisah tanpa bertukar nama.”
Felicie tak tahu apa isi kepala pria itu. Pria yang datang dari ujung selatan Perancis menuju ke Paris hanya untuk menagih sebuah nama, aneh memang.
“Namaku Sam, dan kau, Nona?” tanyanya.
“Felicie.”
Pertemuan kedua namun perkenalan pertama.
Sudah lama Felicie menjadi asisten chef di restoran La Jules Verne, restoran tersohor bagi kalangan turis di Paris. Manajer memberinya cuti sebulan yang lalu.
Sebulan yang lalu, Felicie memilih kota Avignon sebagai tujuan wisata. Ia sangat tergila-gila dengan Palais des Papes dan Pont Saint Bénézet. Di situlah pertama kali Felicie bertemu Sam.
“Ini tasmu, Nona.”
“Terima kasih,” ucapan dari Felicie yang sangat ringkas. Seringkas tatap mata mereka yang sekilas sempat bertemu.
Hari ini, takdir seolah membuka kesempatan, Sam masuk restoran lalu duduk di meja nomor 27, menghadap jendela. Felicie segera menghampiri.
“Kami punya menu istimewa hari ini. Apa yang akan Anda pesan?”
“Seporsi Ratatouille[1] dengan sedikit courgette[2]. Dan satu lagi, sebuah janji untuk menghabiskan sore ini bersamaku.” Sam memegang pergelangan tangan Felicie.
“Bagaimana dengan pekerjaanku? Kau ingin aku meninggalkan mereka yang sedang kelaparan?”
“Kau tentu tak ingin mati kesepian di dapur, dengan pakaian itu dan bau onion soup di sekujur tubuhmu bukan? Ikutlah sebentar saja Felicie.”
Felicie mengangguk setuju meski di matanya terpancar sedikit keraguan.
Mungkin Tuhan sengaja menempatkan senja terindah di kota Paris. Langit berawan yang sedikit kemerahan dengan senja seperti lelehan madu yang sengaja ditumpahkan. Kuning keemasannya menembus segala permukaan yang berair lalu mengendap di dalamnya, membuatnya tampak berkilauan.
“Bagaimana kau mendapatkan mata cokelat itu?” tanya Sam.
“Dari ibuku. Ia juga bermata cokelat.”
“Kau punya ibu, Felicie?”
“Tentu saja, Sam. Aku tak turun dari langit begitu saja.”
Sam tertawa kecil. Mata Felicie menatap Sam tajam seolah mengatakan, tak ada yang lucu barusan Sam!
“Kenapa kau selalu mengejarku, Sam? Apa kau tak punya pekerjaan selain itu?”
Senyuman yang kaubenamkan di bibirmu persis dengannya, Felicie. Kuncup bibirmu indah saat mekar. Kukira alis tebal hanya dimiliki bidadari, tetapi ternyata kau juga memilikinya. Kelopak mata yang berjodoh dengan warna cokelat bola matamu mengingatkanku tentangnya. Derai-derai rambut hitammu memilih berdiam di pundakmu dan ada juga yang menjuntai ke belakang, cantik. Pundak ulirmu nan elok, perempuan Perancis mana yang memiliki keindahan seperti itu selain dirimu. Kau sangat mirip dengannya Felicie, sangat mirip. Sam membatin.
“Sebenarnya aku punya pekerjaan. Apa kau ingin dengar ceritaku?”
“Tentu saja.”
“Aku seorang pianist. Hampir separuh usiaku kuhabiskan untuk memainkan nada-nada. Sudah kujejakkan kaki di seluruh Perancis, bahkan Eropa. Aku sangat sibuk. Setiap tahun aku tak pernah pulang ke rumah, ke Avignon. Baru tahun ini aku pulang dan Avignon telah banyak berubah. Aku lebih senang menjalang ke penjuru dunia.”
“Jika kau tak pernah pulang ke rumah, bagaimana dengan istri dan anakmu? Ceritakan tentang mereka juga, Sam!”
“Hmm … Aku belum menikah.”
Mata Felicie terbelalak, bagaimana bisa pria seusia ibunya sampai saat ini belum menikah?
“Jangan katakan kalau kau ingin melajang selamanya seperti Ludwig van Beethoven,” ucap Felicie.
“Entahlah. Aku hanya sekali pernah jatuh hati pada gadis. Namun gadis itu telah menikah dengan pria lain, mungkin sekarang dia sudah punya anak. Dan sampai sekarang aku tak pernah merasa jatuh cinta lagi pada gadis lain.”
“Kemudian kau kesepian selama puluhan tahun dan menciptakan sebuah lagu untuk gadismu sama seperti Beethoven menciptakan Fur Elise untuk Elise yang pergi menikah dengan pria lain, begitu bukan?” kata Felicie menebak-nebak.
“Selain sok tahu, kau juga orang yang tidak belajar sejarah dengan baik, Felicie. Lagu Fur Elise bukan ditujukan untuk Elise melainkan untuk Therese yang menikah dengan pria lain sebelum Beethoven mengungkapkan cintanya. Buruknya tulisan Beethoven membuat orang-orang mengira bahwa judul lagu itu Fur Elise, padahal yang sebenarnya adalah Fur Therese.”
“Sam …. Kau membuatku malu akan kebodohanku,” kata Felicie.
***
“Aku pesan kopi hitam, tanpa gula.” Sam datang kembali ke restoran tempat Felicie bekerja.
“Tanpa gula? Oh, aku baru ingat bahwa tubuh pria setua dirimu tak mampu lagi mencerna gula,” kata Felicie.
“Kau mengejekku dengan sangat sopan, Felicie.”
Tak berselang lama, secangkir kopi pesanan Sam datang. Felicie duduk menemani Sam yang asyik meniup kopi panasnya.
“Ceritakan kepadaku tentang gadismu,” pinta Felicie.
“Dengarkan baik-baik. Gadisku dulu seorang balerina. Setiap malam dia datang ke studioku membawa kostum balerina lengkap dalam tas ungu favoritnya. Saat datang, ia selalu memintaku memainkan sebuah lagu kemudian ia akan menari dengan sangat anggun.”
“Lagu apa, Sam?” tanya Felicie.
“Nocturne in E Flat, Op. 9 No. 2. Setiap lagu itu kumainkan, kurasa aku dan gadisku tengah mabuk. Mabuk asmara. Aku adalah cinta pertamanya, dan sebaliknya.”
“Sam, kau harus ikut menemui ibuku besok. Besok hari ulang tahunnya, ia sedang di rumah sakit.” Mata Felicie berkaca-kaca saat mengatakan ini.
“Baiklah, akan kuceritakan kisah malangku ini, barangkali ibumu akan sembuh setelah mendengarnya.”
***
Felicie dan Sam datang ke ruangan ibunya saat suster baru saja pergi setelah menyiapkan sarapan.
“Bu, jika kau masih marah pada takdir atas kematian Ayah, maka takdir harus membayar harga dengan mengembalikan cinta pertamamu.” Felicie membelai ramput putih ibunya.
“Sam, masuklah!” kata Felicie.
Sam masuk dengan membawa sebuket lavender ungu.
“Bu, aku telah menemukan pria Avignon bermata biru yang selalu kau ceritakan kepadaku.”
“Sam …,” ucap Ibu lirih.
“Luna …. Kau tak berubah, masih secantik saat malam pertama kali kumainkan Nocturne in E Flat, Op. 9 No.2,” kata Sam.
“Dan putrimu Felicie, sangat mirip denganmu. Maaf karena aku banyak mengganggunya selama di Paris. Selamat ulang tahun, Luna.” Sam memeluk tubuh ringkih ibu Felecia dengan air mata bahagia.
Pemalang, 25 November 2018
Nurul Istiawati, gadis yang hobinya dengerin musik klasik.
Catatan:
[1] makanan Perancis.
[2] sejenis labu atau timun kecil
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata