Nobita Apologize

Nobita Apologize

Nobita Apologize 
Nama: Cindhy Agustin Aldalia

Nobita menangis keras sepulang sekolah. Hari ini, dia mendapat nilai nol lagi di ulangan matematika. Semua ini akibat kesalahannya sendiri karena malas belajar.

“Doraemon!” rengek Nobita saat bertemu dengan robot kucing kesayangannya itu.

Doraemon bergidik melihat ingus yang keluar dari hidung Nobita. “Bersihkan dulu ingusmu Nobita!” katanya sambil mengulurkan selembar tisu.

Nobita menerima tisu itu lantas menyeka ingusnya. “Mereka menertawakanku karena mendapat nilai nol, Doraemon. Giant, Suneo, bahkan Shizuka.” Tangis Nobita semakin keras.

“Itu salah kamu sendiri karena malas belajar,” komentar Doraemon.

“Tolong keluarkan alat yang bisa membuat otakku pintar, Doraemon.”

“Tidak ada alat seperti itu!” Doraemon bergerak memunggungi Nobita, kembali melanjutkan membaca komiknya yang sempat tertunda.

“Tolong Doraemon, kamu tidak kasihan sama aku?” rengek Nobita dengan wajah memelas, berharap Doraemon akan mengeluarkan alat dari kantung ajaibnya.

“Kalau kamu pengin pintar, ya belajar.”

“Belajarnya nanti saja. Tolong keluarkan alat agar otakku bisa cepat pintar. Aku ingin mengalahkan Dekisugi agar bisa mendapatkan hati Shizuka.”

“Tidak mau!” tolak Doraemon tegas. Dia ingin Nobita pintar dengan usahanya sendiri.

“Kamu tidak setia kawan. Padahal aku sudah mau berbagi kamar denganmu tapi kamu malah tidak mau membantuku. Seharusnya aku kembalikan saja kamu ke toko abad dua puluh satu.”

Ucapan yang keluar dari bibir Nobita itu sontak menyinggung perasaan Doraemon. Apa selama ini Nobita terpaksa berbagi kamar dengannya. Padahal apa yang dilakukan Doraemon demi kebaikan Nobita sendiri.

“Pergi kamu dari sini!” usir Nobita ketus.

Doraemon menarik napas panjang. Hatinya begitu terluka mendengar ucapan Nobita. Nobita tega mengusirnya hanya karena dia tidak mau menuruti keinginan pemuda itu.

“Baiklah, aku akan pergi dari rumahmu. Tapi jangan pernah memanggilku jika kamu membutuhkan bantuan, Nobita.”

Nobita melengos. “Tidak akan!”

“Baling-baling bambu!” Doraemon mengeluarkan baling-baling bambu dari kantong ajaibnya, lalu terbang meninggalkan rumah Nobita.

***

Malam ini Tamako, ibu Nobita membuat menu masakan spesial karena ayah Nobita baru saja menerima gaji. Aroma sedap daging panggang yakiniku yang dimasak oleh Tamako menggugah selera siapa pun yang menciumnya. Tamako juga menyiapkan dorayaki, kue favorit Nobita dan Doraemon.

Nobita dan kedua orangtuanya sudah berkumpul di meja makan. Nobita sudah tidak sabar ingin memakan semua makanan yang ada di atas meja makan.

“Mari makan!” Nobita ingin mengambil daging yakinikutapi Tamako menahan gerakan tangannya.

“Kenapa, Bu?”

“Doraemon mana? Tumben sekali dia belum turun?” tanya Tamako keheranan karena tidak melihat Doraemon sejak siang tadi.

“Doraemon pergi,” jawab Nobita cepat.

“Pergi ke mana? Kenapa dia tidak berpamitan pada Ibu dan Ayah?”

“Nobita tidak tahu. Sudah, jangan pikirkan Doraemon, lebih baik kita makan saja.”

Tamako mengangkat bahunya. Mungkin Doraemon sedang mengunjungi Dorami, pikirnya.

Setelah makan malam, Nobita pergi ke kamar. Mengambil salah satu koleksi komiknya di rak lalu membacanya. Padahal, Nobita ada PR matematika, tapi dia malah asyik membaca komik.

“Nobita … cepat ke sini!” teriak Tamako dari bawah. Dengan tergesa Nobita segera turun menghampiri ibunya.

“Ada apa, Bu?”

“Apa ini Nobita?”tanya Tamako dengan nada tinggi. Saat akan mencuci pakaian Nobita, Tamako menemukan kertas ulangan matematika Nobita dengan nilai nol.

“Emb … anu … itu….”Nobita menunduk, tidak berani menatap ibunya.

“Itu apa? Ini pasti karena kamu malas belajar, kan? Mulai besok, komik kamu Ibu sita dan uang jajan kamu Ibu potong.”

Nobita tergagap. “Yah … jangan, Bu.”

“Ini demi kebaikan kamu Nobita. Sudah, sana belajar!”

Nobita menggerutu. Dia terus menyalahkan Doraemon karena tidak mau meminjamkan alat agar otaknya pintar.

***

Sudah seminggu Doraemon tidak pulang. Nobita terpaksa berkata bohong setiap kali ibu dan ayahnya bertanya di mana robot kucing berwarna biru itu. Selama itu pula,Nobita selalu pulang sekolah dalam keadaan babak belur karena ulah Giant dan Suneo. Nobita hanya bisa menangis. Jika dulu Doraemon selalu membantunya, kini Nobita harus menghadapi Giant dan Suneo seorang diri. Apalagi sekarang Shizuka semakin dekat dengan Dekisugi. Nobita tidak suka melihat mereka berduaan, dia cemburu.

“Doraemon….” Nobita menangis. Kini dia berharap Doraemon datang membantu. Namun, itu semua hanya menjadi harapannya saja karena Doraemon tak kunjung kembali. Sepertinya Doraemon sangat kecewa dengan Nobita.

Tamako masuk ke kamar Nobita karena mendengar putra kesayangannya itu menangis. “Kamu kenapa Nobita?” Dibelainya kepala Nobita dengan penuh sayang.

“Nobita kangen Doraemon,” jawab Nobita di sela isaktangisnya.

Tamako menghela napas panjang. “Dengarkan Ibu, Nobita. Tidak selamanya kamu terus bergantung pada Doraemon. Kamu itu anak laki-laki Ibu dan Ayah yang kuat. Buktikan kalau kamu bisa menghadapi semuanya sendiri.”

“Tapi Nobita takut sama Giant dan Suneo, Ibu. Mereka selalu menganggu Nobita.” Wajah Nobita terlihat sembab. Dengan penuh perhatian, Tamako mengusap air mata di pipi anak laki-lakinya itu.

“Perkelahian tidak akan membuktikan siapa yang lebih hebat di antara kamu, Giant, dan Suneo. Jangan pakai kekerasan untuk mengalahkan mereka. Kalahkan Giant dan Suneo dengan prestasi. Buktikan pada mereka kalau kamu itu hebat,” nasihat ibunya.

“Nobita harus mengalahkan mereka dengan prestasi?” tanya Nobita memastikan.

Tamako mengangguk. Seperti tersihir, perasaan Nobita sekarang menjadi lebih tenang setelah mendengar ucapan ibunya.

“Iya, bukankah Shizuka menyukai pemuda yang pintar?”

Pipi Nobita bersemu merah. Dia tidak menyangka jika ibunya tahu dia menyukai Shizuka. “Ibu jangan berkata seperti itu …,” ucapnya malu.

“Buktikan kalau kamu lebih pintar dari Dekisugi. Ayo belajar, semangat!”

“Baiklah, Ibu.” Nobita segera duduk di meja belajar dan mulai membuka buku pelajarannya.Tamako yang melihatnya tersenyum lega.

***

Nobita tumbuh menjadi pemuda yang tangguh. Nilai ulangannya selalu bagus, bahkan dia menjadi pemain utama tim baseball untuk membela sekolahnya. Giant dan Suneo pun tidak pernah mengganggunya lagi. Bahkan mereka kini menjadi teman baik.

“Hey, Nobita. Sudah lama aku tidak pernah melihat Doraemon. Dia di mana?” tanya Giant saat mereka sedang makan siang di kantin sekolah.

Wajah Nobita seketika berubah sendu saat mendengar nama Doraemon. Tidak terasa hampir satu tahun Doraemon pergi dan tidak ada kabarnya sama sekali. Sudah berulangkali Nobita mendatangi tempat yang biasanya didatangi oleh Doraemon. Namun, robot kucing itu tidak ada di sana. Doraemon pergi tanpa jejak, menghilang seolah ditelan bumi. Nobita ingin sekali bertemu dengan Doraemon dan meminta maaf. Dia sangat menyesal.

“Kenapa kamu sedih, Nobita?” Shizuka bertanya.

Nobita menarik napas panjang sebelum bicara. “Doraemon pergi dari rumah karena salahku.”

“Salah kamu?” tanya Suneo tidak mengerti.

“Setahun lalu kami bertengkar. Aku marah besar pada Doraemon lalu menyuruhnya pergi dari rumah. Aku sangat menyesal, padahal yang dilakukan Doraemon demi kebaikanku sendiri.” Nobita menunduk dalam, menyembunyikan kesedihannya.

“Sudahlah jangan sedih. Sekarang Doraemon di mana?” Shizuka mengusap bahu Nobita, menyalurkan kekuatan untuk pemuda itu.

“Aku tidak tahu,” jawab Nobita lirih.

“Kamu sudah mencarinya?” Shizuka bertanya lagi.

“Aku sudah mencari Doraemon ke tempat yang biasanya dia kunjungi. Mulai lapangan bermain, gunung belakang sekolah, bahkan toko yang menjual kue dorayaki favoritnya. Tapi Doraemon tidak ada di sana,” jawab Nobita lesu.

“Kamu sudah bertanya sama Mi-Chan?” celetuk Suneo.

Nobita menggeleng pelan. Tidak mungkin dia bertanya di mana Doraemon pada seekor kucing karena dia tidak mengerti bahasa kucing.

“Kamu ini bodoh, Suneo!” Giant memukul kepala Suneo lumayan keras.

“Aduh,” ringis Suneo sambil mengusap kepalanya yang sakit. “Kenapa kamu memukulku?”

“Mi-Chan itu kucing. Masa Nobita tanya sama kucing?”

“Doraemon kansuka sama Mi-Chan. Barangkali Mi-Chan tahu di mana Doraemon. Aduh, kepalaku sakit sekali…,” keluh Suneo.

“Bagaimana caranya Nobita bertanya ke Mi-Chan? Pakai bahasa kucing? Miaw … miaw … miaw, seperti itu?” Giant terlihat lucu saat menirukan suara kucing. Nobita yang mendengarnya tertawa geli. Giant dan Suneo selalu bisa membuatnya tertawa, melupakan sejenak kesedihan karena merindukan Doraemon.

***

Musim dingin tiba. Jalanan dan beberapa toko yang berada di pinggir jalan kota Shibuya semua tampak putih karena tertutup salju. Orang-orang lebih memilih berdiam diri di dalam rumah sambil menikmati semangkuk ramen panas.

“Kamu mau pergi ke mana Nobita?” tanya Tamako saat berpapasan dengan Nobita di tangga. Dia heran melihat penampilan Nobita. Putranya itu memakai jaket tebal, sarung tangan hangat, juga syal.

“Nobita mau pergi sebentar, Bu.”

“Mau pergi ke mana di cuaca buruk seperti ini?”

Nobita mengabaikan pertanyaan ibunya dan terus berjalan ke luar rumah. Tamako yang melihatnya hanya bisa menghela napas panjang. Dia tahu jika suasana hati Nobita sedang tidak baik semenjak kepergian Doraemon setahun yang lalu.

Tubuh Nobita menggigil karena udara di luar terasa sangat dingin. Tapi dia terus berjalan menuju gunung di belakang sekolah. Tempat itu selalu membuatnya tenang jika perasaannya sedang kacau seperti ini.

Nobita duduk di bawah pohon ginkgo, melipat kedua lutut dan membenamkan kepalanya di sana. Pelan air matanya turun. Tempat ini menyimpan banyak kenangan indah bersama Doraemon.

“Maafkan aku Doraemon. Aku mohon … maafkan aku,” gumamnya terdengar pilu. Sungguh, Nobita sangat menyesal.

Miaw ….

Nobita mengangkat kepalanya.

“Mi-Chan!” Nobita mengangkat kucing imut berbulu putih itu. Dia tidak tahu jika Mi-Chan mengikutinya.

Miaw … miaw ….

Nobita terkikik geli karena Mi-Chan menjilati wajahnya. “Hentikan, Mi-Chan … kamu membuatku geli.”

Nobita menatap kedua bola mata bening milik Mi-Chan. Kucing itu tampak sangat polos. “Kalau kamu bertemu dengan Doraemon, tolong sampaikan maafku padanya. Aku sangat menyesal. Kalau dia kembali, aku berjanji akan membelikannya seratus kue dorayaki.”

Mi-Chan mengeong seolah mengerti dengan ucapan Nobita.

“Terima kasih, Mi-Chan. Kamu sudah membuat perasaanku menjadi lebih baik.” Nobita mengusap kepala Mi-Chan dengan lembut.

***

Stasiun Yokohama selalu ramai di jam-jam sibuk seperti sekarang. Giant, Suneo, dan Shizuka sedang mengantar Nobita. Setelah lulus sekolah, Nobita diterima kuliah di University Of Tokyo. Universitas penelitian negeri ternama di Jepang.

“Kami pasti merindukanmu.” Giant dan Suneo memeluk Nobita bergantian.

“Aku juga,” balas Nobita.

“Jaga kesehatan, jangan lupa makan. Aku akan selalu merindukanmu.” Shizuka mengusap air matanya. Berat rasanya harus menjalani hubungan jarak jauh dengan kekasihnya itu.

Nobita memeluk Shizuka erat. “Aku pasti merindukanmu. Tunggu aku lima tahun lagi. Jika sudah sukses, aku akan menikahimu.”

“Janji?” Shizuka mengulurkan jari kelingkingnya ke Nobita.

“Aku janji.” Nobita menyambut jari kelingking Shizuka.

Kereta yang akan membawa Nobita ke Tokyo akan segera berangkat. Nobita menarik napas panjang sebelum masuk ke kereta. Dipandanginya satu-satu wajah orang-orang yang berarti di hidupnya. Giant, Suneo, juga Shizuka. Namun, di sudut hati yang terdalam, Nobita mengharapkan kedatangan sahabatnya untuk mengantarnya pergi. Dia adalah … Doraemon.

“Aku pergi dulu, ya. Selamat tinggal …!” pamit Nobita lalu berbalik masuk ke kereta.

“Nobita …!”

Tubuh Nobita menegang. Jantungnya seolah berhenti berdetak. Suara itu … suara yang sangat dirindukannya.

“Nobita tunggu!” suara itu kembali terdengar. Nobita sangat hapal siapa pemilik suara itu.

“Doraemon!” Nobita berbalik. Doraemon langsung melemparkan diri dalam pelukan Nobita. Air mata Nobita jatuh tanpa bisa dia cegah. Dia sangat bahagia akhirnya bertemu dengan sahabatnya itu.

“Maafkan aku Doraemon. Maafkan aku,” ucap Nobita penuh dengan penyesalan.

“Aku sudah memaafkanmu, Nobita. Sudah jangan menangis, malu sama Shizuka.” Doraemon berusaha menenangkan Nobita agar berhenti menangis.

Nobita melepas pelukannya. “Kamu ke mana saja selama ini? Kenapa baru muncul sekarang?”

Doraemon menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Aku pergi ke abad dua puluh satu untuk mencari alat yang bisa membuat otakmu pintar, alat itu tidak ada. Kamu bisa pintar karena usahamu sendiri. Aku bangga padamu Nobita.” Doraemon tersenyum.

Nobita begitu terharu mendengar ucapan Doraemon.

“Keretamu akan segera berangkat, sebaiknya kamu naik.” Doraemon mengingatkan Nobita.

“Berangkatnya bisa ditunda tidak? Aku masih pengin menghabiskan waktu sama kamu.”

Doraemon menggeleng. “Jangan. Menunda-nunda sesuatu itu tidak baik, Nobita.”

Nobita mengembuskan napas panjang. “Baiklah, aku berjanji akan kembali lagi dan menjadi orang sukses.” Tekadnya kuat.

Doraemon tersenyum. “Seratus dorayaki-nya jangan lupa!”

Mulut Nobita seketika terbuka lebar. “Dari mana kamu tahu aku berjanji akan memberimu seratus kue dorayaki jika kamu sudah kembali?”

“Mi-Chan,” jawab Doraemon.

Nobita tercengang. “Mi-Chan mengerti apa yang kukatakan?” tanyanya tidak percaya.

Doraemon tidak menjawab pertanyaan Nobita. Dia malah memaksa Nobita masuk ke kereta karena keretanya akan segera berangkat.

“Tunggu, tunggu dulu! Kamu belum menjawab pertanyaanku, Doraemon…!” teriak Nobita sambil menempelkan wajah dan kedua telapak tangannya di jendela.

Doraemon melambaikan tangannya ke Nobita. “Jã matane, Nobita kun.”[1]

Pertengkaran itu wajar dalam pertemanan, tapi jangan karena sebuah pertengkaran kecil bisa merusak pertemanan yang indah.

(Nobi Nobita).

Kediri, 28 Januari 2019

EXO-L, bucinnya Byun Baekhyun. Perlu banyak belajar dalam dunia literasi

[1] Sampai ketemu lagi, Nobita.

Tantangan Lokit adalah tantangan menulis cerpen yang diselenggarakan di grup FB KCLK

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata