Nirmala
Oleh : Vianda Alshafaq
Orang-orang di desa itu mengatakan bahwa hidup terasa semakin sulit. Dari hari ke hari, ada saja keluhan yang keluar dari mulut mereka. Tetapi, kadang-kadang juga keluar ungkapan syukur. Dan, kau juga sama seperti mereka. Beberapa kali saya mendengar kau mengeluh bahwa hidup benar-benar payah.
Hari ini, kau pergi ke warung Bu Ninik yang ada di ujung jalan. Kau menempuh jalan yang sepi itu sendirian. Betung-betung yang menjulang menyusul langit, tidak membuatmu takut. Kau bersenandung kecil seperti mengiringi desauan daun bambu yang bertubrukan. Sesekali menoleh ke kiri atau kanan, berusaha mengusir kesunyian yang terjadi.
Hanya tujuh menit yang kau butuhkan untuk sampai di warung Bu Ninik. Ketika sampai di sana, kau duduk sebentar di sebuah kursi yang terbuat dari bambu yang disediakan untuk pengunjung. Matamu menatap rombongan yang mengantar peti mayat Nirmala ke permakaman. Gadis muda itu mati kemarin malam setelah mengalami kejadian tragis di pinggir hutan. Tidak ada yang tahu kebenarannya. Hanya saja, dari berita yang beredar, gadis itu sudah “digilir” oleh kawanan preman.
“Kau tak ikut mengantar Nirmala, Man? Bukankah dia mantan kekasihmu? Apa kau tidak berniat memberinya uang atau sebatang emas seperti yang dilakukan ayahnya?” ujar Bu Ninik.
“Ah, tidak, Bu. Aku cukup sibuk hari ini. Dan, aku tidak punya uang ataupun emas juga.”
***
Ah, sempit sekali! Kenapa Ayah memberiku tempat sesempit ini? Bahkan ruang di samping kiri dan kananku habis diisi emas dan uang. Entah untuk apa semua ini, aku tidak mengerti. Mungkinkah di dalam kubur ada mal yang bisa kudatangi untuk menghabiskan uang-uang ini?
Aku tidak tahu ada apa saja di sana. Mungkin juga ada kafe tempatku bisa membeli makanan agar tidak lapar. Atau, ada toko buku agar aku bisa menghabiskan waktu dengan membaca buku selagi menunggu kereta menuju surga. Saat aku masih hidup, aku pernah membaca sebuah buku dengan sampul berwarna hitam dan tulisan merah hati. Hanya saja, aku lupa judulnya apa. Tapi, satu hal yang jelas sekali kuingat adalah bahwa akan ada masa tunggu sebelum aku dibawa ke surga, katanya.
Aku tidak lagi merasakan gerakan dari peti ini. Sepertinya aku sudah sampai di permakaman. Tak lama, aku merasa dimasukkan ke dalam kubur. Telingaku menangkap tangisan dan suara-suara doa yang dibacakan orang-orang itu. Ah, tentu saja begitu. Setiap ada proses penguburan, selalu ada tangis dan doa yang berbarengan. Bahkan, aku juga melakukannya ketika kakakku meninggal.
“Nirmala, Ayah menyayangimu. Semoga kau bahagia, Sayang.”
Aku dapat mendengar perkataan Ayah dengan jelas. Lirih. Pedih. Itu yang aku tangkap dari suaranya yang benar-benar serak.
“Aku juga menyayangimu, Ayah,” ucapku, entah terdengar olehnya atau tidak.
***
Malam sudah menjelang. Kau sudah siap dengan kemeja hitam serta sebuah topi yang melekat di kepala. Malam ini, kau akan menemui Nirmala. Bagaimanapun, mantan kekasihmu itu butuh doamu. Begitu yang kau pikirkan. Terlebih lagi, uang dan emas yang disertakan padanya. Itu jauh lebih membutuhkan tanganmu untuk mengambilnya sehingga tidak terkubur begitu saja bersama Nirmala.
“Nirmala, seperti katamu, kita masih saling mencintai. Dan, aku ingin melihatmu untuk terakhir kali. Lagi pula, kau harus menyelesaikan janjimu padaku sore itu, bahwa kau akan memberiku emas jika aku mau memberikan ‘kebahagiaan’ untukmu malam itu.”
Kau berjalan santai menuju pemakaman. Sepanjang perjalanan, jika ada yang bertanya ke mana kau akan pergi, kau hanya menjawab, “Ke sana.” Tidak jelas tempatnya. Untungnya, mereka tidak bertanya lebih jauh. Mereka hanya mengangguk, kemudian berlalu. Atau, membiarkanmu berlalu begitu saja. Ya, hanya begitu.
Sebelum benar-benar ke permakaman, kau singgah dulu di warung kopi dekat balai desa. Sekadar menyesap secangkir kopi sembari menunggu desa benar-benar sepi. Selagi menunggu, kau melihat-lihat beberapa laki-laki yang bermain kartu. Mereka bertaruh sekian rupiah. Sementara kau hanya mengernyit, berpikir mengapa mereka mau melakukan semua itu meski kemungkinan menangnya hanya sepersekian.
Malam sudah sangat larut. Jam hitam di pergelangan tanganmu sudah menunjukkan angka satu. Warung juga sudah sepi. Hanya tersisa dua orang laki-laki dengan sarung yang melilit tubuhnya.
Kau berdiri, membayar secangkir kopi yang sudah kau teguk hingga tandas. Setelah menerima kembalian berupa uang lima ribuan, kau kembali berjalan menuju permakaman.
“Aku merindukanmu, Nirmala.”
***
Aneh. Sepertinya buku itu berbohong. Aku tidak sampai di mana-mana. Masih di dalam peti yang sempit dan dipenuhi emas dan uang di setiap sisi. Kupikir, aku akan benar-benar sampai di suatu tempat, yang menjadi tempatku menunggu kereta menuju surga. Ternyata semua itu hanya bualan!
Tiba-tiba telingaku menangkap suara-suara kecil dari luar. Sepertinya ada seseorang yang datang. Tak lama kemudian, aku mendengar seseorang menyebut namaku. Berkali-kali. Kemudian berkata bahwa ia merindukanku.
Aku menajamkan telinga, mencoba mengenali suara itu.
“Apa kau sudah bahagia?”
Ah, aku mengenalinya. Untuk apa dia datang kemari? Seharusnya ia tidak datang. Sungguh!
***
“Aku merindukanmu, Nirmala.”
Kalimat itu kau ucapkan sembari mencangkul kuburan itu. Sesekali kau menoleh ke kiri dan kanan, takut kalau saja ada yang lewat dan menangkap dirimu yang sedang menggali kuburan Nirmala. Walau kau yakin sudah tidak ada yang lewat kuburan malam-malam begini, tetap saja kau harus waspada, pikirmu.
Dari tanah yang sudah kau cangkul itu, kau melihat peti mati Nirmala. Pelan-pelan kau masuk dan membuka peti itu.
Sekejap, kau mengamati tubuh Nirmala yang terbaring di dalam. Tubuh itu terbungkus gaun hitam dengan renda putih di bagian bawah. Di atas tubuhnya ditaruh bunga krisan, sebagai lambang kematian, mungkin. Mata Nirmala tertutup rapat. Wajahnya yang kau sinari menggunakan senter—yang tadi kau bawa dari rumah—terlihat pucat pasi, seperti bulan di siang hari.
Puas mengamati Nirmala, matamu beralih menatap emas dan uang yang membingkai tubuhnya. Kau tersenyum, lalu mengambil barang-barang itu dan memasukkannya ke dalam kantung plastik hitam yang tadi kau sembunyikan dalam saku.
“Mulai besok, aku akan menikmati hidup ini dengan bersenang-senang.”
***
Aku hanya memperhatikan Orman. Tangannya mulai memasukkan emas dan uang yang Ayah tinggalkan dalam petiku ke dalam kantung plastik. Dasar laki-laki tidak tahu diri! Berani sekali dia membongkar kuburku hanya untuk mengambil uang dan emas ini!
“Nirmala, semua ini untuk janji yang kau ucapkan hari itu.”
Janji? Janji apa maksudnya? Aku tidak mengerti.
Aku mencoba mengingat-ingat apa yang pernah kuucapkan pada mantan kekasihku itu. Rasanya aku tidak pernah menjanjikan harta kepadanya. Apa mungkin aku lupa?
“Kuharap kau benar-benar bahagia setelah malam itu,” ujarnya lagi.
Aku baru ingat kalau aku memang pernah menjanjikan harta kepada Orman. Tetapi, hanya jika dia bersedia kembali bersamaku dan menikah. Tapi, ia tidak melakukannya. Bukannya menikahiku, ia malah membawaku ke gubuk lusuh di pinggir hutan ketika malam baru menjelang. Di sana, ia “melakukannya”. Aku meronta dan berteriak sekeras yang aku bisa. Tapi, tidak ada yang mendengarku. Tidak yang membantuku. Hanya angin, malam, dan gubuk itu yang tahu apa yang telah dilakukan bajingan itu kepadaku.
Entah sampai pukul berapa, aku tidak tahu. Hanya saja, setelah ia berkemas dan pergi, beberapa laki-laki lain memasuki gubuk. Dan semuanya berakhir ketika salah satu dari laki-laki—yang terakhir “menikmati” tubuhku—itu menancapkan sebuah pisau tajam tepat di jantungku.
Aku keluar dari kubur, membiarkan Orman yang masih mengemasi emas dan uang itu sembari tersenyum bahagia. Tiba-tiba aku mendengar sebuah suara.
“Apa yang ingin kau lakukan padanya?” tanya angin yang mengelilingiku.
“Ia harus menepati janjinya. Ia sudah mengambil hartaku. Tentu saja ia harus bersamaku.”
Setelah itu, tanah yang tadi dicangkul Orman kembali menutupi kuburan. Angin meniup tanah itu dengan cepat, sementara Orman yang masih berada di lubang itu kelabakan ketika tanah mengimpitnya. Belum sempat mencoba naik, kuburan itu benar-benar sudah tertutup rapat.
Orman sudah menepati janjinya: bersamaku hingga kapan pun.
Aku kembali ke dalam. Menemui tubuhku dan Orman yang sedang kesusahan karena kekurangan oksigen.
***
Malam itu, saya beterbangan di gubuk lusuh itu. Sayang sekali, kau pikir saya bukan apa-apa, hanya sekadar gas yang memenuhi ruangan begitu saja. Kau tidak berpikir bahwa saya adalah utusan Tuhan, untuk mengawasi segalanya baik-baik. Dan, hari ini Tuhan meminta saya membantu gadis itu. Sebagai utusan Tuhan yang taat, tentu saya harus melakukannya: membiarkanmu menetap bersama gadis itu, meski di dalam kuburnya. [*]
Agam, 13 Oktober 2020
Vianda Alshafaq, seseorang yang bukan siapa-siapa.
Editor : Lily
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata