Ngidu

Ngidu

Ngidu

Oleh : Ni Made Santiani

 

Kami duduk saling berhadapan. Meski mulut kami terkunci, tetapi tatapan yang beradu cukup untuk saling mengerti isi hati.

“Sudah. Kamu tenang saja. Biar Bli1 yang nanti ngomong sama Meme2,” kata lelaki yang usianya tujuh tahun di atasku itu.

“Tapi, Bli, aku takut Meme marah dengan penawaran yang kita berikan.”

“Sudahlah. Kamu jangan berpikir apa-apa. Bli Wayan yakin Meme pasti mau dengan tawaran kita,” katanya sambil menepuk pundakku.

***

Sudah sebulan Meme tinggal bersama kami di kota,  itu pun  setelah melalui percakapan yang cukup panjang. Semenjak Bape meninggal setahun lalu, Meme tinggal sendirian di desa, sedangkan aku dan Bli Wayan menetap di kota karena pekerjaan. Kadang kami bergantian menjenguk Meme. Namun, perasaan waswas selalu menghantui, terutama takut jika terjadi sesuatu terhadap Meme.

Sama seperti kejadian ketika Bape3 terkena serangan jantung saat bekerja di sawah, untungnya beberapa warga yang ikut membantu beliau bekerja langsung membawanya ke rumah sakit. Aku dan Bli Wayan cukup terpukul, sebab kami tidak ada saat Bape mengembuskan napas terakhir. Kami tidak ingin hal itu terulang lagi, jadi mengajak Meme tinggal bersama kami di kota adalah keputusan yang terbaik.

“Meme malu numpang hidup dengan kalian.”

“Kok menumpang hidup? Rumah itu juga rumah Meme. Justru tyang4 dan Bli Wayan yang bergantung hidup dengan Meme meski kami sudah tua dan sukses. Jadi jangan beranggapan seperti itu,” jelasku sebelum Meme menyetujui kepindahannya.

“Tyang malu. Meme tidak pernah merasakan tinggal di rumah yang kami beli. Meme mau, kan, tinggal dengan kami? Kami ingin selalu bisa memperhatikan Meme.” Aku melanjutkan ucapan, berharap Meme mengiakan permintaan kami.

Cukup lama Meme diam, sebelum akhirnya mengangguk tanda setuju.

***

Awalnya aku tidak terlalu gelisah seperti sekarang. Aku tahu Meme perlu beradaptasi dengan keadaan yang berbeda dengan di desa. Tempat  tinggal kami di kawasan perumahan yang cukup padat, sebagian besar mereka adalah para pekerja kantoran, pengusaha, dan pejabat yang sangat jarang bersosialisasi di lingkungannya. Biasanya mereka hanya mau bersosialisasi dengan kelompok yang setara dengan gaya hidupnya.

Berbeda dengan perilaku orang-orang desa yang masih kental rasa kebersamaan. Biasanya saat panen tiba, mereka saling bahu-membahu untuk memotong padi, begitu pula saat musim tanam. Bahkan jika ada warga yang sedang memperbaiki rumah, mereka mengerjakannya bersama-sama tanpa dibayar.

Beberapa kali aku melihat Meme berusaha beramah-tamah untuk memulai sebuah hubungan yang baru atau mungkin mencari teman mengobrol. Maklum, aku bekerja sebagai manajer di sebuah hotel ternama, jarang bisa pulang cepat ke rumah. Pekerjaan yang tidak ada habisnya dan undangan dari teman atau sahabat datang setiap hari. Mulai dari makan, nonton ke bioskop, atau sekadar mencoba kopi di kafe yang baru buka.

Begitu juga dengan Bli Wayan, dia seorang notaris yang cukup ternama di Bali. Kakakku itu tiba di rumah paling cepat pukul sepuluh malam, bahkan lebih sering  tidur di kantornya. Akhir pekan selalu dia habiskan dengan jalan-jalan keluar kota bersama teman-temannya.

Hingga suatu sore aku melihat Meme membuat bungut paon5 dari bahan-bahan sisa membangun rumah. Hal itu awalnya tidak masalah buatku. Meski sedikit aneh, rumah yang diisi dengan peralatan memasak modern, tapi Meme malah membuat dapur tradisional. Akan tetapi, asalkan Meme nyaman dan bahagia, aku tidak akan menghalang-halangi apa pun yang dia lakukan.

Meme pun sering menghabiskan sore harinya di bungut paon sambil ngidu6. Saat melihat itu, aku bisa merasakan kesedihan Meme. Biasanya Bape dan Meme selalu ngidu bersama sebelum mereka pergi menggarap sawah atau menjelang tidur di malam hari. Mungkin Meme rindu  Bape.

Sejak hari itu justru timbul berbagai masalah. Pertama, tetangga di samping rumah  mengeluhkan jika baju yang mereka cuci dan diberi pewangi kini berbau sangit karena asap yang berasal dari rumah kami setiap hari. Selang beberapa hari kemudian, tetangga depan rumah juga melakukan hal yang sama, cuma dia mengeluhkan polusi yang ditimbulkan dari asap sangat mengganggu mereka sekeluarga, terlebih mereka memiliki bayi. Makin hari muncul beragam masalah akibat asap hasil Meme ngidu.

Aku pun sebenarnya memiliki keluhan yang sama dengan para tetangga. Selain itu, ada rasa malu karena tingkah Meme, tetapi aku segan untuk menegur. Aku memilih diam. Akhirnya aku dan Bli Wayan mencoba memberikan penawaran kepada Meme.

Rencananya Bli Wayan yang akan berbicara kepada Meme. Namun melihat kesibukannya, sungguh mustahil jika dia bisa berbicara dalam waktu dekat. Maka aku memilih untuk langsung berbicara sore itu. Bagiku ini adalah waktu yang tepat untuk berbicara—saat Meme akan membuat bara api dari kertas. Aku duduk di samping Meme dan membantunya membuat bara. Meme membuat bungut paon itu di halaman belakang rumah, tempat aku dulu menjemur baju sebelum ada jasa laundry. Halaman belakang seperti gudang. Kayu, beberapa potongan besi,  dan tripleks sisa membangun tergeletak di sana. Bukannya kami tidak mau membersihkannya, tapi bingung ke mana limbah itu kami buang dan siapa yang menginginkannya? Lagian orang-orang kota sebagian besar tidak lagi memakai tungku untuk memasak.

Meme masih asyik mencoba membuat bara pada bilah bambu. Aku memperhatikan wajah Meme yang begitu serius menyalakan api dan tanpa sadar senyum tipis terukir di bibirku.

Ingatanku kembali ke masa kanak-kanak. Membuat bara api merupakan kegiatan yang menyenangkan, biasanya aku menggunakan serabut kelapa yang di atasnya ditaburi abu sisa-sisa pembakaran dan ditaburi minyak tanah—agar lebih mudah membuat api tahan lama. Jika api mulai padam aku meniupnya menggunakan semprong agar api membesar lagi, hal itu membuat mataku perih karena kepulan asapnya,  serta  bekas hitam di sekitar mulut akibat semprong. Justru itu menjadi bahan tertawaan aku dan Bli Wayan. Terkadang aku mencolekkan sedikit adeng7 ke wajahnya.

Tungku bukan saja tempat memasak, tapi tempat aku, Kakak, Meme serta Bape berkumpul dan bercerita tentang apa saja. Terkadang aku sering merindukan hal-hal seperti itu yang mulai hilang karena tergerus kesibukan.

“Me,” sapaku.

“Iya.”

Aku diam sesaat, bingung bagaimana mengawalinya. 

“Apa Meme mau aku pasangkan pemanas ruangan di kamar? Sehingga Meme tidak usah lagi ngidu,” kataku dengan suara pelan sambil nuluk saang7.

Meme hanya diam saja.

“Dan sekalian tyang belikan water heater.”

“Apa itu?”

“Alat agar Meme tidak usah lagi membuat air panas untuk mandi di sini, tapi tinggal putar keran saja, air panasnya langsung keluar, bagaimana?” rayuku.

“Menggunakan kompor gas saja susah apalagi alat seperti itu. Sudahlah, Meme tidak butuh itu!”

“Nanti tyang ajarkan, Me.”

“Tidak usah!” tukasnya keras. “Kamu ingat dulu, saat ngidu di bungut paon banyak hal yang bisa kita dapatkan, bukan saja memanfaatkan alam karena kita memakai kayu untuk memasak, tapi di sana ada kehangatan dan cinta. Apalagi saat ngidu kita bersama-sama mencari kehangatan dengan duduk di dekat perapian, berbincang-bincang sambil memasak. Perhatian kita tertuju pada bungut paon untuk menjaga besar kecilnya api. Sehingga tidak ada kesempatan sibuk dengan benda kecil yang selalu dibawa orang-orang zaman sekarang. Bahkan karena benda itu orang yang jelas-jelas duduk di samping tidak terlihat.”

Aku ingat saat kami makan bersama—waktu itu kebetulan aku dan Bli Wayan memiliki waktu senggang. Aku dan Bli Wayan justru asyik dengan telepon genggam kami, membalas chat, melihat media sosial dan barang-barang diskon yang menggiurkan. Aku memang sering mengabaikan keberadaan Meme jika sudah memegangnya.  Perasaan bersalah muncul di hatiku. Apa Meme rindu kami? Atau merasa terabaikan meski kami sedang bersama? Dan membuat bungut paon adalah caranya untuk mengingatkan kami akan kehangatan dan kebersamaan yang sering kami habiskan.

“Kebahagiaan itu sederhana, yaitu kebersamaan dengan orang-orang yang kita kasihi. Jangan sampai hal itu hilang, dan kita merasa waktu kita tidak banyak dengan mereka. Karena kenangan itu bisa menjadi semangat buat kita menjalani kesepian suatu hari nanti.” Meme menatapku lama. Kemudian, beliau melanjutkan ucapan, “Besok antar Meme ke desa saja. Meme sangat rindu hidup di desa. Di sini terlalu bising dengan sifat manusia yang egois. Sekadar berbincang-bincang saja terasa sulit meski tinggal bersama, dan Meme lebih merasa kesepian sekalipun ada kalian, bahkan saat kita duduk bersama.”

Kata-kata terakhir Meme menghantam jantungku. (*)

Salatiga, 19 Febuari 2021

 

Ni Made Santiani, seorang perempuan yang menyukai kopi pahit dan anak-anak, memiliki mimpi ingin menjadi penulis buku cerita anak terkenal dan pendongeng.

Editor : Rinanda Tesniana

 

Keterangan :

  1. Bli: panggilan untuk kakak laki-laki di Bali
  2. Meme: Ibu
  3. Bape: Ayah
  4. Tyang: sebutan untuk aku ketika berbicara dengan orang yang lebih tua.
  5. Bungut paon: tungku api
  6. Ngidu: duduk di depan tungku
  7. Adeng: arang
  8. Tuluk saang: memasukkan kayu ke tungku

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply