Ngabuburit Kala Bocah

Ngabuburit Kala Bocah

Ngabuburit Kala Bocah
Oleh: Uzwah Anna

Alhamdulillah … Ramadan sudah lewat dari setengah bulan. Bagaimana puasa kalian, Gaes. Masih lancar? Semoga untuk yang laki-laki bisa genap sampai Idul Fitri nanti. Kalau yang perempuan, mudah-mudahan bolongnya tak banyak. Biar tak banyak pula bayar hutangnya. Hehe ….

Bulan puasa memang sangat lekat kaitannya dengan ngabuburit. Tentu kalian semua sudah paham, toh, apa yang dimaksud dengan ngabuburit? Iya, itu dia, waktu menunggu Magrib tiba. Karena sekarang aku bermukim di kawasan perkotaan, jadi ngabuburitnya sebatas ngeliatin muda-mudi pacaran di pinggir danau. Atau mantengin emak-emak yang lagi nawar baju di pinggir jalan—itu, antara emak-emak dan penjualnya sampai seperti orang sedang berantem, sebab tak kunjung dapat harga yang pas. Kadang pula cuma bisa nonton riuhnya orang-orang berburu takjil.

Mbokyo sekali-kali ngabuburitnya, mantengin Jason Statam atau Reza Rahadian gitu, loh. Kan seger …. Astagfirullah …. Puasa woi …!

Ok, menurutku ngabuburit yang semacam di atas sudah lumrah. Jadi, aku ingin mengenang dan sedikit bercerita tentang ngabuburit ala masa kecilku dulu.

Kala itu, sebagai bocah yang lahir dan tumbuh di pelosok kampung, acara ngabuburitku sering diisi dengan berbagai kegiatan di surau.

Sore hari, selepas Asar, orangtua kami, terutama kaum ibu selalu memaksa para putra-putrinya berangkat ke surau. Hal ini sengaja dilakukan agar konsentrasi para bocah terhadap aroma masakan di dapur pecah. Sebab, jika gurihnya aroma masakan terhirup, maka sulit dimungkiri untuk tak lapar. Otomatis perut akan melilit seiring sinyal yang dikirim oleh indra penciuman. Tentu hal ini sangat mengganggu, khususnya untuk bocah. Jika sudah begini, mereka akan merengek dan membuat ibunya kalang kabut. Tak jarang tempe, tahu, maupun ikan di dalam wajan gosong gara-gara mesti menangani rengekan kami. Oleh karenanya “menendang” krucil-krucil ke surau merupakan cara yang bijak bagi kaum ibu.

Pada hari-hari biasa, aku dan kawan-kawanku mengaji setelah Magrib. Namun, selama Ramadan kegiatan belajar Alquran diberhentikan sementara waktu hingga Idul Fitri selesai. Sebagai gantinya, guru ngaji kami—kami memanggilnya Pak Langgar—menggantinya dengan kegiatan menghafal surah-surah pendek. Umumnya Juz Amma. Setiap sore kami diwajibkan setor hafalan minimal tujuh ayat. Jika bisa menghafal satu juz penuh, maka beliau akan memberikan hadiah sederhana berupa mukena, jilbab, sarung atau kopiah. Tentu hal ini sangat menggiurkan bagi anak kecil di kala itu. Jadi, motivasi kami untuk hafalan bukan karena ingin mendapat pahala dari Gusti Allah, melainkan mengejar hadiah dari guru ngaji kami. Hehe ….

Ya, mau bagaimana lagi, cara pikir anak kecil kan memang polos dan cenderung sederhana.

Hal kedua yang memotivasi kami untuk memperbanyak hafalan adalah karena “saingan”. Meski kala itu usia kami berkisar antara tujuh sampai dua belas tahun, tetapi rasa persaingan sudah sangat kental. Kenapa? Karena hadiah terbatas. Jika tak segera mencapai “garis finis” lebih dulu, jangan harap bisa mendapat bingkisan lebaran dari guru ngaji. Sayang sekali, bukan? Sebab sejak kecil kami selalu dididik bahwa, “benda-benda pemberian guru, apa pun itu bentuk dan rupanya, merupakan berkah”. Bahkan kami pernah berebut sisa wedang jahe milik Pak Langgar demi mendapat berkah. Karena saling rebut, akhirnya masing-masing dari kami tak mendapat setetes pun dari wedang jahe tersebut. Sebab tumpah.

Aku jadi geli sendiri setiap mengingat hal itu. Kenapa dulu tak ada pikiran buat membagi rata saja, ya? Eh, tapi kalau langsung dibagi rata begitu saja pasti tak seru, karena menghilangkan drama “rebutan”.

Setiap sore surau riuh bagai tawon yang dikoyak sarangnya. Masing-masing dari kami menghafal. Ada yang menghafalnya secara perseorangan lantas mojok di dekat jendela, pintu, dekat tempat imam, atau serambi surau. Ada pula yang berkelompok dua sampai tiga orang, dengan cara membaca ayat bergiliran. Jika salah bisa langsung ditegur. Ih, seru deh mengingat hal tersebut.

Karena umumnya Magrib di kampung kami pukul 17.30, maka lima belas menit sebelum berbuka, kami pulang. Nah, di sini, akan ada drama lagi, yaitu berebut salim pada Pak Langgar. Entah mengapa kami gemar sekali berebut. Padahal, hampir setiap hari beliau mengatakan lebih baik mengantre daripada rebutan. Namun, yang namanya bocah hanya bilang “iya”, tetapi tak dijalankan. Jika aku yang berada di posisi Pak Langgar kala itu, pasti sudah kujewer satu per satu. Untung beliau sabar. Alhamdulillah ….

Setelah berebut salim pada guru ngaji kami, jangan dikira kisah akan happy ending. Salah! Sebab dramanya masih berlanjut. Yaitu rebutan sandal. Anak-anak yang termasuk golongan mbeling (nakal)termasuk aku—akan menyembunyikan sandal kawan-kawan yang lain. Sehingga golongan mbeling ini sering kena marah oleh Pak Langgar. Bagaimana tak marah, lawong jadwal berbuka beliau mesti diundur demi membantu mencari sandal muridnya yang nangis gero-gero hingga ketemu. Hehe ….

Duh, maafkan kami ya, Pak Langgar.

Ini cerita hanya sekilas ngabuburit, Gaes. Belum saat sahur, Tarawih, tadarus hingga sampai Idul Fitri dan segala drama yang menyertai Ramadan. Selalu ada kisah yang berbeda-beda setiap waktu. Jika dituliskan semua, bisa keseleo jempolku buat ngetik.

Berandai-andai memang tak boleh. Namun entah mengapa, aku membayangkan jika saja ada lorong waktu, ingin rasanya kembali ke masa itu. Sepertinya kehidupan kala itu lebih seru daripada sekarang. Sebab tak perlu memikirkan banyak hal dan mencari-cari berbagai alasan ketika ditanya soal jodoh. Eh, kok malah curcol sih.

Okelah, daripada curcolku semakin lebar, lebih baik kuhentikan ngetiknya sampai di sini. Selamat menunaikan Ibadah puasa, Gaes …. (*)

 

Uzwah Anna. Lahir, tumbuh, dan besar di sebuah pelosok desa, di Kabupaten Malang. Gemar kulineran bakso dan soto. Pecinta kudapan tampe goreng, tahu isi dan cilok. Hobi berkebun buah dan bunga. Mawar merupakan bunga terfavorit!

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata