Neverland
Nama: MsLoonyanna
Pernahkah kau memikirkan sebuah tempat indah di mana putri duyung, peri mungil, suku Indian, serta bajak laut benar-benar ada? Mungkin iya, tetapi kemungkinan besarnya … tidak. Sebenarnya, aku pun belum pernah melihatnya secara langsung. Hanya saja … beberapa minggu belakangan ini, tempat menyenangkan itu seolah telah bertengger apik di dalam rongga kepalaku.
Bukan tanpa alasan, itu semua karena Peter. Anak lelaki bermata sebiru samudra dan berambut berantakan yang warnanya secerah kilatan fajar pertama di bawah kaki langit sebelah timur. Ketika tersenyum, ia tampak manis. Sangat manis kalau boleh kubilang. Hebatnya lagi, ia bisa terbang! Apa kaupercaya? Kutebak, tidak.
Kabar baiknya, kedua adik laki-lakiku, John dan Michael, sama percayanya denganku. Jadi, aku tak begitu peduli jika yang lainnya tidak percaya. Bahkan pernah suatu hari aku menceritakan hal ini kepada kedua orangtuaku. Hasilnya? Tawa mereka pecah di udara, menganggap bahwa imajinasiku hanya terlalu liar.
“My dear, Wendy Angela Moira Darling, hal-hal seperti itu tidak ada.” Ayah mengusap kepalaku lembut, sedangkan Ibu mencium keningku setelahnya—menyuruh lekas tidur di malam itu, di bawah tatapannya yang tampak begitu khawatir.
Kesal memang, tetapi aku pun tak bisa meyakinkan keduanya dengan cara memperlihatkan Peter tepat di depan cuping hidung mereka. Maksudku, sungguh bukan hal yang bijaksana. Pasti Peter tak akan mau dan kemungkinan ia hanya akan membenciku jika benar-benar meminta hal konyol seperti itu. Jadi, aku membiarkannya. Lagi pula, orang-orang tak perlu tahu akan keberadaan Peter, ‘kan?
Ugh! Lihat? Lagi-lagi aku memikirkannya! Selain Neverland, pikiranku pun penuh akan Peter. Entahlah, rasanya ingin saja segera melihat seringaian congkak itu di wajah tampannya—astaga, aku terdengar sangat agresif! Lupakan.
Tak sabar, kulirik jam tua di sudut kamar—yang rupanya hampir menunjuk angka sebelas. Oh, sudah selarut ini? Mengapa Peter belum datang juga? Padahal jendelaku masih terbuka lebar, sama seperti malam-malam sebelumnya. Atau … apakah malam ini ia kembali tak datang? Lalu apa gunanya berjanji?
Kutatap kedua adikku sekilas, mereka sudah damai dalam jenaknya mimpi masing-masing. Aku mengembuskan napas letih. Benar, tengah malam hampir tiba.
Dengan perasaan kalut, aku lantas beranjak, membawa kakiku melangkah menghampiri jendela dan segera duduk di birainya sembari membayangkan bagaimana pertemuan awalku dengan Peter dulu. Sementara mataku masih lekat menatapi permadani langit dan mengamati sang ratu malam yang merayap kian tinggi di atas sana, kilasan-kilasan itu kembali memenuhi kepalaku.
“Siapa kau?!” Aku memekik kaget ketika melihat seorang anak laki-laki berada di dalam kamarku di suatu malam. Ia mundur beberapa langkah dengan ekspresi yang sulit kuartikan. Jujur, sejak pertama kali melihatnya, aku sudah kepalang kagum dengan parasnya yang menawan, tetapi … pakaiannya tampak aneh. Serupa dedaunan yang entah bagaimana disusun menyerupai sebuah baju.
“Aku … Wendy, Wendy Angela Moira Darling. Kau?” Kali ini nada suaraku terdengar cukup bersahabat.
Mendengar itu, guratan wajah si anak laki-laki seketika berubah. Kini ia bahkan menyeringai, lantas berdiri tegak dengan kedua tangan berada di pinggang. Persis seperti pose-pose super hero yang biasa aku lihat di TV. Di mataku, ia tampak sangat gagah, sekaligus … sedikit angkuh dengan berlagak seperti itu.
“I’m Peter,” ujarnya, “Peter … Pan.”
Aku terbeliak refleks ketika tanpa sengaja menangkap pergerakan kakinya yang secara perlahan mulai meninggalkan pijakan di bawahnya; ia melayang di udara! Dengan semangat menggebu, kubangunkan John dan Michael yang berakhir dengan keadaan sama terpukaunya denganku.
Tak pelak jika malam itu pulasan senyum bahagia serta ledakan tawa renyah mengisi sepenjuru kamar. Peter dengan senang hati mempertontonkan aksi hebatnya di depan kami bertiga dan kautahu? Keterkejutan sekaligus kekagumanku tak berhenti di situ. Sesaat setelah puas menyaksikan wajah-wajah takjub kami, Peter kembali melakukan sesuatu dengan jentikan jarinya—disusul kilauan terang-benderang yang tiba-tiba datang dan mengelilingi ruangan.
“Namanya … Tink. Tinkerbell,” katanya, memperkenalkan sesosok makhluk mungil bersayap kepada kami.
“Di—dia … peri? Maksudku, yang kutahu, peri itu tak per—” Kalimat itu tak pernah sempat kuselesaikan lantaran tangan besar Peter segera membungkam mulutku.
“Sssh! Please, don’t say that. Never! Satu peri akan mati ketika seseorang mengatakannya.”
Pelan, Peter akhirnya melepas tangannya dari mulutku tepat di saat kepalaku mengangguk, pertanda mengerti.
“Kautahu, Wendy? Ketika bayi tertawa untuk yang pertama kalinya, maka tawa itu akan pecah menjadi seribu kepingan.” Peter menatap lurus ke mataku, serasa menghunjam tepat di jantung. “Then, they all went skipping about and … that was the beginning of fairies.”
“Itu menakjubkan!”
“I know.” Kembali seringaian yang ia cuatkan.
“I do believe in fairies.”
Cicitanku barusan sukses membuat senyuman di wajah Peter terkembang, sedangkan peri mungil nan cantik yang ia paparkan bernama ‘Tinkerbell’ justru menjulurkan lidahnya ke arahku. Oh, entahlah, tampaknya ia tak begitu menyukaiku.
“Wendy, pergilah bersama kami ke Neverland.”
“Apa itu?” Aku bertanya penasaran. Bahkan dapat kurasakan keningku ikut berkerut beberapa saat kemudian.
“Sebuah tempat yang sangat indah serta penuh dengan berbagai keajaiban. Di sana ada putri duyung, peri, suku Indian, dan masih banyak lagi! Ah, jangan lupakan bajak lautnya!”
Aku sangat yakin bahwa kini mataku pasti berbinar. Bagaimana tidak? Bayangan-bayangan demikian memang selalu bersenggayut dalam serebrumku, tetapi aku tak pernah benar-benar berpikir bahwa tempat ajaib semacam itu sungguh ada!
Namun, bukannya mengiyakan dengan segera, aku justru bertanya, “Is it far from here? Maksudku, apakah jauh dari Inggris? Dari … rumahku?”
Kening Peter mendadak bergelembur. Ia bahkan terlihat memainkan lidahnya di sekitar pipi, membuat tonjolan kecil dari dalam sana.
“Mungkin?” jawabnya, terdengar tak yakin. “It’s second star to the right and straight on till morning.”
Mataku membulat dan tak kusadari bibirku berucap, “What a funny adress!”
“No, it’s not,” Peter menukas serius, seketika membuatku merasa tak enak.
“Err, maaf, tapi apakah itu yang mereka tulis di surat?”
“Kami tidak pernah dapat surat.”
“Jangan bercanda, ibumu pasti pernah mendapat surat.” Melihat wajah Peter yang tiba-tiba berubah kecut, kupikir aku telah mengatakan hal yang salah.
“Aku tak punya ibu.”
“Oh, I’m sorry,” ungkapku, mendadak kikuk. Sebenarnya, ada begitu banyak pertanyaan terkait hal ini yang ingin kutanyakan padanya, tetapi aku takut membuat Peter marah. Menurutku, ia cukup sensitif dan gampang tersulut. Wajahnya seolah mengatakan hal itu.
“It doesn’t matter. Jadi, apa kau akan ikut, Wendy?” Ia kembali bertanya.
“Aku sangat ingin, tapi itu terdengar sangat jauh. Maksudku, bagaimana kita ke sana?” Tanganku bergerak gelisah, memilin-milin sebagian kecil dari gaun tidur yang tengah kukenakan.
“We fly, of course!” Sebuah seringai terukir di wajah Peter. Lagi. “Aku akan mengajarimu, Wendy.”
“Bolehkah adik-adikku ikut?” Dalam satu kerlingan, aku dapat melihat John dan Michael yang tampak cemas menunggu jawaban anak laki-laki di hadapanku.
Kira-kira butuh lima detik sampai Peter kembali angkat bicara, “Baiklah ….”
“Hurraaaay!” John dan Michael bersorak serempak, membuatku refleks tersenyum.
Menit-menit selanjutnya terasa berlalu cepat dengan Peter yang berusaha keras mengajari kami bagaimana cara terbang yang benar. Bahkan tak ragu ia pun membubuhi tubuh kami dengan bubuk peri dari Tink. Katanya, agar mempermudah gerakan di udara.
Beberapa saat setelahnya, kami bertiga sudah siap untuk terbang dan menunggangi angin London yang terasa begitu dingin menembus tulang di musim salju seperti ini. Namun, belum sempat Peter membawa kami ke Neverland, lolongan Nana, si anjing pengasuh, terdengar riuh memenuhi kamar—bersamaan dengan entakan dari derik pintu yang seperti dipaksa menjeblak terbuka. Peter terlihat panik.
“Wendy, tidak sekarang. Mungkin lain kali. Aku janji akan datang kembali untuk menjemput dan membawamu ke Neverland.”
Itu adalah hal terakhir yang Peter katakan padaku sebelum sosoknya menghilang ditenggelamkan buasnya selimut kegelapan malam. Sejak saat itu pula aku tak pernah melihatnya lagi. Ia … belum kunjung datang menepati janji. Hingga sekarang.
Jadi, kapan?
Aku tak tahu seberapa besar anomali waktu antara London dan Neverland, tetapi kutebak … sepertinya memang kelewat besar sehingga aku bahkan takut Peter lupa akan janjinya untuk datang kembali.
O … entah sudah berapa lama aku terkungkung dalam ruangan ini, berkawan sunyi dan bayang-bayang semu dari sosok anak laki-laki beraroma hutan itu. Sepertinya memang sudah tengah malam. Aku bahkan tak dapat lagi melihat kelip khas di langit sebelah kanan di antara dua bintang yang saling berdekatan. Kedua mataku pun seolah memberat tersapu belaian sang bayu, sampai akhirnya ….
“Wendy, wake up.” Lamat-lamat, aku mendengar sebuah suara. Suara yang begitu kurindukan, tetapi … benarkah?
“Wendy, it’s me, Peter. Please, wake up!”
Mendengar nama itu, kedua netraku kontan terbuka. “Peter?”
Aku tersentak. Wajahnya begitu dekat denganku dan tak seperti biasanya, kini tak ada sinar usil di kedua sorot fokusnya. Di bawah naungan kilau samar rembulan, hanya ada satu jenis tatapan di pendaran samudra birunya: sebuah tatapan asing yang kusebut … kekhawatiran.
“Please, don’t cry, Wendy.”
Menangis? Segera kuraba pipiku yang rupanya memang basah, entah sejak kapan.
“Apa kautahu bahwa seorang anak perempuan sepertimu berkali-kali lipat lebih berharga, bahkan dari dua puluh anak laki-laki?”
Kini aku sedikit tersenyum. “Kau … benar-benar berpikir begitu?”
“Ya, tentu saja!” Ia menarik diri, tersenyum pongah. Seolah dirinya yang dulu telah kembali. “Selama ini aku hanya hidup dengan The Lost Boys.”
“The Lost Boys?”
“Beberapa anak laki-laki yang jatuh dari kereta bayi mereka ketika sang pengasuh tidak melihat. Jika dalam kurun waktu tujuh hari tak ada yang mencari, maka saat itulah mereka akan dikirim ke Neverland karena telah dianggap sebagai sekumpulan anak hilang yang kemudian kami sebut dengan The Lost Boys,” Peter menjelaskan dengan wajah berseri.
“Neverland masih terdengar sama menakjubkannya seperti saat pertama kali kau menceritakannya padaku, tapi … Peter?”
“Ya, Wendy?”
“Apakah ada anak perempuan di sana?”
“Ada beberapa dari suku Indian.
“Bukan, Peter. Maksudku, anak-anak seperti The Lost Boys. Apakah … apakah benar-benar tidak ada anak perempuan yang dikirim ke sana? Ke … Neverland?”
“Tidak ada. Anak perempuan terlalu pintar untuk terjatuh dari kereta bayi mereka.” Peter tersenyum tulus, menggoda senyuman yang lain untuk segera terbit di wajahku yang kini terasa dijalari rona hangat.
“Peter, itu sungguh manis! Caramu membicarakan anak perempuan, kautahu.”
“Kami memang sangat menghargai anak perempuan, Wendy. Jadi, ikutlah denganku ke Neverland.”
“Tapi bagaimana dengan ibu dan ayahku? Mereka pasti akan sedih.” Bukannya segera mengiyakan seperti keinginanku pada awalnya, aku justru kembali meragu. Takut jika keputusan ini salah.
“Wendy, ayo kita ikut Peter dan Tink ke Neverland!” Itu Michael yang ternyata sudah melayang bebas di luar jen—tunggu! Apa? Bagaimana bisa? Bukannya tadi ia dan John masih tertidur pulas? Secepat lintasan komet di angkasa, tatapanku beralih ke dua ranjang kosong di sebelahku lalu kembali menatap Peter yang kini tampak menyeringai. Seringaian andalannya.
“Come on, Wendy. Come away with us.”
“Aku ….”
“Orangtuamu akan baik-baik saja, percayalah. Kau masih ingat cara terbang, ‘kan?” Peter menatapku lurus-lurus sebelum melarikan pandangan ke arah luar jendela. “Lihat? Bahkan saudara-saudaramu masih sangat ingat.”
“Peter, tapi ak—”
“Wendy, Neverland sangat indah. Kau tak akan menyesal. Aku berjanji akan selalu berada di sisimu asal kau mau ikut denganku.”
Aku tercenung. “Benarkah?”
Anggukan serta rekahan senyum menenangkan dari Peter berhasil mengipratkan seluruh awan keraguan di hatiku. Semudah itu.
“Baiklah.” Aku menarik napas dalam-dalam. Kedua tangan bertengger di kosen jendela ketika kurasakan sebelah kakiku telah memijak sempurna di tepiannya.
Dengan bantuan sedikit bubuk peri dari Tink serta beberapa sepaian memori bahagia tentang ayah, ibu, John, Michael, Nana, dan … tentu saja Peter, aku merasa siap. Ya, kata Peter, pikiran bahagia nan ceria adalah salah satu syarat agar bisa terbang leluasa sepertinya.
Kudorong tubuhku ke depan hanya demi merasakan dinginnya angin kota London menampar-nampar kulit yang hanya terbungkus gaun tidur dari bahan setipis sari apel ini. Oh, baiklah, tidak setipis itu. Hanya perumpamaan, kautahu. Lagi pula, siapa yang menyangka bahwa ternyata malam ini adalah ‘waktunya’?
Mataku mulai terpejam ketika samar-samar terdengar teriakan histeris dari balik punggungku. Namun, semuanya terlambat. Tubuhku jelas telah melayang bebas di udara kala derap-derap kaki di belakang sana berhasil meraih birai jendela.
Neverland, aku datang.
- ••
Kepingan-kepingan heksagon berwarna putih masih terus berguguran dari langit kota London yang tampak muram, masih sama seperti hari-hari sebelumnya. Ya, tak ada yang berbeda pagi itu di kediaman keluarga Darling, kecuali satu hal: sedu sedan pusaran kesedihan yang terkadang bahkan terdengar seperti gita sumbang para duyung kesepian.
Duka menyelimuti seisi rumah tatkala sang putri kesayangan, Wendy Darling, menyusul kepergian saudara-saudara lelakinya yang sebulan lalu meninggal dalam sebuah kecelakaan.
Wendy yang malang memang tak pernah tahu bahwa dirinya mengidap skizofrenia. Oh, jangan salahkan dia. Bahkan orang terwaras sekalipun terkadang masih sulit membedakan kenyataan dan imajinasi.
Lalu, apakah Neverland benar-benar ada?
Untuk pertanyaan ini, rasanya bukan tanpa sebab kita menamainya “Neverland” karena ….
It’s a LAND that NEVER existed.(*)
Makasar, 27 Januari 2019
Notes:
● Cerita ini merupakan fanfiction dari kisah “Peter Pan” karya J. M. Barrie yang bahkan sudah diadaptasi ke film layar lebar dengan berbagai versi.
- Skizofrenia (Schizophrenia):
Penyakit mental kronis yang menyebabkan gangguan proses berpikir. Pengidap skizofrenia tidak bisa membedakan antara khayalan dan kenyataan. Gejala paling khasnya adalah delusi (waham) dan halusinasi.
Tentang Penulis:
MsLoonyanna (Anna Darling), gadis penyuka warna biru dan hijau yang kerap dipanggil Anna/Loony. Penggemar berat Harry Potter dan Peter Pan, sehingga sering kali berimajinasi aneh sebagai Penyihir Neverland.
Tantangan Lokit adalah tantangan menulis cerpen yang diselenggarakan di grup FB KCLK
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata