Nenek Minah Ingin Menikah

Nenek Minah Ingin Menikah

Nenek Minah Ingin Menikah

Oleh: Erien

 

Nenek Minah masih perawan.

Itu bukan rahasia. Di kampung Giling Timur, semua orang tahu hal itu seperti mereka tahu kapan panen padi atau kapan Pak Lurah punya istri baru. Minah tak pernah menikah. Tak pernah berpacaran. Bahkan, mencium lelaki pun tidak. Bibirnya bersih dari dosa asmara. Hatinya bersih dari ingatan peluk-pelukan.

“Aku simpan ini,” katanya suatu kali sambil menepuk dadanya sendiri, “buat lelaki yang benar-benar aku suka.”

Tentu, orang-orang tertawa mendengarnya. Karena waktu itu, Nenek Minah sudah 73 tahun.

Satu-satunya lelaki yang pernah dia suka adalah Karyo, teman masa kecilnya. Dulu mereka main gobak sodor bersama, mandi di sungai, mencuri mangga tetangga, main hujan bersama, dan menulis nama masing-masing di batang pohon jambu.

Tapi hidup, seperti banyak kisah, tak pernah adil kepada yang sabar. Karyo menikah dengan perempuan lain yang cantik dan kulitnya putih seperti ketan. Sungguh berbeda dengan Minah yang berkulit cokelat. Istri Karyo pintar menjahit dan pandai bicara. Minah hanya bisa menjahit luka, dan itu pun hanya di hatinya sendiri.

Sejak itu, Minah berubah menjadi pendiam. Dia tidak menangis, tidak pula meratap. Dia cuma berhenti mencintai dengan mulut, dan mulai mencintai dalam diam. Dia simpan rasa itu seperti menyimpan lilin dalam toples; ada dan siap menyala.

Dan sekarang, 60 tahun kemudian, istri Karyo mati.

Orang-orang datang melayat, membawa bunga, doa, dan gosip. Minah datang paling pagi dan berdiri paling belakang. Dia tak berani mendekat ke jenazah, tapi matanya terus menatap wajah Karyo. Wajah itu keriput, tapi Minah tetap bisa melihat bocah kecil yang dulu pernah menyuapinya potongan ketela.

Sejak hari itu, Minah sering berdandan. Dia memakai bedak dingin, menyisir rambut, bahkan membeli lipstik murah di pasar.

“Aku cuma ingin kelihatan pantas kalau duduk di sebelahnya,” katanya pada cermin.

Tetangganya bilang Minah mulai gila. Tapi dia tidak peduli. Kadang-kadang yang mereka sebut gila hanyalah orang yang masih berani berharap. Dan orang-orang yang melabeli gila adalah yang berlaku seperti Tuhan, seakan-akan bisa mengatur semua.

Suatu sore, Minah memberanikan diri datang ke rumah Karyo dengan membawa tape ketan buatan sendiri. Pakaian terbaiknya, kebaya tua dan kain batik yang harum daun pandan, dikenakan dengan bangga. Dadanya yang mulai mengempis dibusungkan. Langkahnya melenggok tenang walaupun jantungnya berdetak seperti kentongan ronda.

Karyo menyambut di beranda. Rambutnya memutih semua. Tangan gemetar saat menerima piring tape.

“Minah … sudah lama kita nggak duduk berdua begini, ya?”

“Iya, Yo.”

Mereka diam lama. Angin sore menggoda daun pisang. Wangi singkong kukus dari tetangga Karyo menemani diamnya Minah dan Karyo. Suara anak-anak di masjid mengaji terdengar berlatar ributnya anak-anak yang sedang bermain menunggu giliran mengaji.

“Aku sering mikir, Yo,” kata Minah akhirnya, “kalau waktu muda aku lebih berani, mungkin aku bisa bahagia.”

“Berani?”

“Iya.” Minah menoleh ke Karyo.

Karyo menatapnya. “Kenapa kamu nggak nikah?”

Minah tersenyum. Senyum yang sudah disimpan bertahun-tahun. “Karena aku cuma suka kamu.”

Karyo terdiam. Matanya berkaca-kaca. Tapi bukan karena bahagia. Lebih karena takut. Takut pada umur, takut pada harapan yang datang telat seperti kereta yang mogok. Jakun berbalut keriput terlihat naik turun saat dia menelan ludah.

“Min … kita sudah tua.”

“Aku tahu.”

“Kalau kita nikah, nanti orang-orang ketawa.”

Minah tertawa duluan. “Mereka juga ketawa waktu aku bilang aku masih perawan.”

Karyo tak membalas. Dia menghela napas lalu menjulurkan tangan dan mengelus tangan Minah, pelan-pelan, seperti orang buta belajar membaca braille.

Malam itu, Minah pulang tanpa jawaban pasti. Tapi dia tidak sedih. Dia tidur dengan hati ringan. Untuk pertama kali, setelah puluhan tahun menyimpan cinta seperti botol kosong, ia membukanya.

Dan di dalamnya, ternyata masih ada wangi tersisa. Karyo pasti merasakan juga.

Minah belum menikah. Tapi sekarang, ia sudah tidak perawan, setidaknya bukan di hati. Karena perasaan yang dikatakan, akhirnya melahirkan rasa yang baru.

Dan itu, untuknya, sudah cukup. (*)

 

Kotabaru, 25 September 2025

Erien. Suka menulis.