Nenek dan Firasat-Firasatnya

Nenek dan Firasat-Firasatnya

Nenek dan Firasat-Firasatnya

Oleh: Mulia Ahmad Elkazama
Aku membantu Nenek membawakan barang belanjaan. Lalu meletakkannya di dekat meja dapur. Tidak biasanya perempuan tujuh puluh tahun ini belanja sebegitu banyaknya. Padahal tidak ada acara spesial hari ini.
“Banyak banget belanjanya, Nek?”
“Kakakmu nanti sore pulang, Ra,” jawab Nenek, menghapus semua pertanyaan dalam benakku.

“Kakak mau pulang?” Aku girang mendengar kabar tersebut. “Dari mana Nenek tahu?” lanjutku, karena masih diliputi rasa penasaran.

“Kamu dengar kicau burung yang bertengger di ranting pohon rambutan depan rumah itu?” tanya Nenek, seraya mengisyaratkan diriku untuk mendengarkan apa yang didengarnya. Aku pun berkonsentrasi, memusatkan pendengaran. Bahkan aku pergi ke halaman rumah, meyakinkan diriku bahwa apa yang dikatakan Nenek benar adanya. Beberapa ekor burung sedang menyanyi riang di reranting pohon rambutan.

Ah, aku bahagia sekali jika Kakak benar-benar pulang. Nenek pasti akan membuat menu-menu istimewa selama Kakak di rumah. Nenek memang sayang banget dengan Kakak. Bahkan mereka berdua sangat dekat. Setiap Kakak pulang, Nenek pasti memasak menu-menu yang disukai Kakak. Tapi, kenapa Kakak tidak memberi kabar terlebih dahulu pada Ibu? Biasanya Kakak akan menelepon Ibu dari wartel. Atau Ibu lupa menyampaikan berita ini karena buru-buru pergi ke tempat kerja? Lalu, bagaimana Nenek bisa seyakin itu, bahwa Kakak akan pulang hanya melihat burung-burung berkicau di depan rumah? Apakah Nenek punya ilmu meramal atau ini yang dinamakan firasat seorang yang punya ikatan batin kuat?

“Rara, tolong bantu Nenek beliin kelapa. Tadi Nenek lupa,” perintah perempuan yang masih kelihatan segar bugar di usianya yang semakin senja ini.

“Emangnya, mau masak apa, Nek?” Aku pura-pura bertanya, sambil menerima lembar-lembar rupiah dari tangan Nenek.

“Mangut kepala ikan Manyung, kesukaan kakakmu,” jawab Nenek, semringah. Bibirku membulat membentuk huruf O, lalu pergi ke warung yang jaraknya lumayan jauh. Namun, baru beberapa langkah, Nenek memanggilku.

“Eh, bawa payung. Sebentar lagi mau hujan,” kata Nenek memperingatkan, seraya berjalan menyodorkan payung kepadaku.

“Nggak hujan, kok, Nek. Mendungnya hanya lewat.” Aku menyangkal. Meskipun langit gelap, belum tentu hujan.

“Lihat mendungnya!” Nenek menunjuk ke arah barat laut. “Sebelah barat awannya hitam pekat, pasti turun hujan sebentar lagi,” lanjut Nenek.

Ah, Nenek ada-ada saja. Tanpa mengindahkan perkataan Nenek, aku langsung pergi melaksanakan perintahnya.

Dengan semangat, aku mengayuh sepeda agar cepat sampai di warung, lalu segera kembali ke rumah. Aku sudah tak sabar lagi ingin menyantap hidangan yang dibuat oleh Nenek dengan penuh cinta. Ya, Nenek selalu memasak dengan bumbu cinta dan kasih sayang. Tak heran jika masakan Nenek begitu digemari orang-orang. Biasanya, ketika tetangga punya hajat, entah hajat pernikahan maupun khitanan, Nenek selalu dimintai tolong untuk memasak. Di usianya yang tak lagi muda, masakan Nenek masih digemari. Ah, Kakak memang lelaki yang beruntung. Begitu dicintai keluarga, lebih-lebih Nenek. Entahlah, di antara cucu-cucu Nenek, hanya Kak Rizal yang dapat membuat Nenek benar-benar jatuh cinta—meskipun dengan cucu-cucu yang lain Nenek juga sayang banget. Tapi bagiku, Kak Rizal punya nilai lebih di hati perempuan bernama Sulastri ini.

Sesampai di warung—sebagaimana peringatan Nenek sebelum aku berangkat—hujan mulai turun. Aku pun berteduh di emperan warung, menunggu hujan reda. Ini kesekian kalinya firasat Nenek terjadi. Ya, sebenarnya sudah berkali-kali, tapi mungkin aku yang tidak peka, atau mungkin malah mengabaikannya.

Pernah suatu ketika, aku hendak pergi ke swalayan—yang letaknya di perkotaan– bersama teman sekolah. Nenek menyarankan agar aku pergi sore hari. Karena merasa tak enak bila harus membatalkan janji secara mendadak, aku pun berangkat juga. Setengah perjalanan, tiba-tiba temanku meminta agar aku melingkarkan tangan di pinggangnya. Seerat mungkin.

“Eh, pelan-pelan saja, Vin. Jalanan ramai.” Aku merasa takut dan deg-degan. Ada perasaan tak enak menelusup ke dalam dada. Tak biasanya aku merasa miris saat dibonceng Vina, temanku.

“Tenang saja. Sama aku, aman, kok.” Vina tak mau mendengarkan saranku. Aku pun memejamkan mata. Detik kemudian, aku dan Vina terpelanting dari sepeda motor. Karena sebuah sepeda motor dari arah berlawanan, mendadak menyambar kami berdua.

Ah, andaikata aku mematuhi perkataan Nenek.
Setelah cukup lama berteduh dan memutar kembali kejadian-kejadian yang berhubungan dengan firasat Nenek, aku meninggalkan warung—meskipun remah-remah gerimis masih tabah berjatuhan. Aku pun menata hati, sebab sampai di rumah nanti pasti dapat omelan Nenek. Ya, aku selalu menjadi sasaran saat suasana hati Nenek lagi kurang enak. Apa yang aku lakukan, pasti keliru di matanya. Kadang, Nenek membanding-bandingkan diriku dengan Kak Rizal—hal ini yang membuatku sedikit geram.

“Kamu, kok, nggak seperti kakakmu, sih? Bangun pagi langsung pegang sapu. Setelah itu, mencuci piring, bantu-bantu Nenek memasak. Pokoknya rajin, nggak kayak kamu,” kata Nenek—saat aku tidak sempat menyapu halaman rumah karena buru-buru ke sekolah. Tapi, pada waktu-waktu tertentu, Nenek juga sangat sayang sekali padaku.

Mengenai Kak Rizal … ah, seingatku Nenek tak pernah sekalipun bersitegang dengan Kakak. Apa yang dilakukan Kak Rizal selalu benar di mata Nenek. Kak Rizal adalah cucu kesayangan Nenek.

“Ul. Aku, kok, selalu mimpiin anakmu tiga malam ini,” ucap Nenek pada Ibu—suatu waktu. “Perasaanku, kok, kurang enak,” lanjutnya. Ibu yang sedari tadi melipat-lipat pakaian, bertanya, “Mimpi seperti apa?”

Pertanyaan Ibu tak mendapat jawaban dari Nenek. Aku—yang berada di sebelah Ibu menyaksikan televisi—hanya diam, menunggu jawaban Nenek. Ketika kulirik wajah Nenek, ada gurat kegelisahan di sana. Pandangannya menerawang jauh.

“Coba kamu hubungi dia, tanyakan kabarnya,” pinta Nenek.

“Rizal, kan, nggak boleh bawa hape, Mak. Bagaimana menghubunginya?” jelas Ibu.

Aku pun menimpali, “Lewat telepon pengurus, kan, bisa, Bu.”

Ibu pun bangkit dan berjalan menuju kamar, mengambil gawai. Sementara aku mendekati Nenek.

“Emang, Nenek mimpi apa tentang Kakak?” tanyaku, antusias sekali. Aku benar-benar ingin tahu apa yang dilihat Nenek sampai ia begitu gelisah.

“Perasaan Nenek nggak enak saja. Kepikiran terus sama kakakmu,” jelas Nenek. Ibu kembali membawa gawainya, dan memintaku menghubungi pengurus pesantren di mana Kak Rizal menimba ilmu.

Aku pun kaget saat teman Kak Rizal yang menjawab telepon, dan memberitahu bahwa Kak Rizal sedang sakit. Lagi-lagi, kegelisahan hati Nenek adalah firasat bahwa Kak Rizal dalam kondisi tidak baik.

Tak terasa, aku sudah sampai di rumah dan segera memberikan kelapa pada Nenek. Dengan cekatan, Nenek segera memarut kelapa yang sudah dikupas tersebut. Tumben Nenek nggak ngomel?

Aku pun membantu Nenek menyiapkan menu kesukaan Kakak. Ah, tak sabar rasanya makan bersama Kak Rizal. Semoga kali ini ia tidak membawa teman. Jadi, aku bisa menghabiskan waktuku bersamanya untuk beberapa hari ke depan.

Hari mulai petang. Senja menjuntai di petala langit kian indahnya, seindah hatiku menanti kepulangan Kakak. Meskipun, berkali-kali ada tanda tanya dalam benak—‘Benarkah firasat Nenek bahwa Kakak hari ini pulang?’—menghantuiku. Tapi, aku sangat yakin, firasat Nenek tak pernah meleset.

Kulihat Nenek duduk di kursi yang memanjang di teras rumah. Nenek sudah tak sabar menyambut cucu tersayang pulang. Aku juga memperhatikan Ibu. Sepulang kerja tadi, ia langsung membersihkan kamar Kakak. Padahal, sebelumnya Ibu tak tahu bahwa Kakak hari ini akan pulang, melainkan aku yang memberi tahu. Reaksi Ibu biasa saja saat mendengar kabar tersebut. Ibu sudah terbiasa dengan firasat Nenek.

Nenek mulai gelisah. Aku dan Ibu merasakan hal yang sama. Pasalnya, sampai azan magrib berkumandang, Kakak belum juga tampak batang hidungnya. Sekitar pukul setengah empat sore biasanya Kakak sudah sampai rumah. Sepertinya, kali ini firasat Nenek meleset.

“Mungkin Kakakmu tak jadi pulang, Ra. Biasanya, kan, telepon Ibu dulu,” ujar Ibu, seolah sepakat dengan pendapatku.

“Kalau Kak Rizal nggak pulang, mangut kepala ikannya aku makan.” Ah, cacing dalam perutku mulai meronta-ronta.

Malam semakin larut. Nenek terkantuk-kantuk menunggu Kakak pulang. Sedangkan Ibu masih menghadiri rapat RT di rumah salah satu warga. Aku membuka buku-buku pelajaran, mengerjakan tugas yang harus dikumpulkan esok hari.

“Rara …,” sapa seseorang. Aku pun menoleh ke asal suara.

“Kakak!” Aku terkejut, sampai-sampai berteriak saking senangnya. Kakak mengisyaratkan padaku agar diam, tak membuat kegaduhan. Bahkan ia melarangku membangunkan Nenek—yang entah sejak kapan—telah tertidur.

“Firasat Nenek benar-benar tak terbantahkan,” lirihku, sambil memeluk Kak Rizal. Belum sempat bertanya, Kakak memberi tahu bahwa bus yang ditumpanginya mengalami kecelakaan kecil, jadi ia pulang terlambat. Syukurlah, Kak Rizal baik-baik saja.

“Kakak lapar, ya? Mukanya pucat,” ledekku, dengan suara lirih.

“Maklum, Kakak dari tadi pagi belum makan. Kakak juga kedinginan, nih. Kakak ke kamar dulu, ya.” Kakak masuk ke dalam kamarnya, sementara aku menyiapkan makan malam untuknya—untuk kami juga. Setelah itu, aku membangunkan Nenek. Alangkah semringahnya Nenek mendengar kabar tersebut. Ia pun memasak air, hendak membuat jahe panas untuk Kakak. Tapi, ada sesuatu yang aneh menelusup ke dalam kalbuku. Sesuatu yang ganjil.

“Rara, tolong Ibumu, Nduk!” Seseorang berteriak keras. Aku pun keluar melihat apa yang terjadi. Betapa kagetnya aku! Ibu dibopong oleh salah satu warga. Apa yang terjadi?

“Maaf, Nduk. Mak Lastri mana? Ada kabar buruk, Nduk.”

“Kabar apa, Pakde? Kenapa Ibu bisa pingsan?” Aku semakin bingung, panik.

“Kakakmu kecelakaan dan meninggal di tempat, Nduk. Tadi ada warga langsung menemui ibumu, memberitahukan hal ini,” terang warga yang kupanggil Pakde. Gugup.

Nampan berisi segelas jahe hangat yang dibawa Nenek jatuh seketika. Aku terdiam, berusaha mencerna kata-kata Pakde.

‘Bukankah Kakak ada di dalam kamar? Kenapa dikabarkan meninggal dunia?’

Kepalaku pusing. Kemudian segalanya menjadi gelap.(*)

Pati, 26 Januari 2020.

Mulia Ahmad Elkazama. Lahir di kota kecil, Pati Jawa Tengah. Penggemar serial Anime Naruto ini suka membaca dan menulis. Aktif belajar di beberapa grup kepenulisan dunia maya. Akun FB: Mulia Ahmad Elkazama. IG: @ahmadmulia247.

Leave a Reply