The Necklace

The Necklace

The Necklace

Oleh: Triandira 

Tak ada yang istimewa dari kamar “rahasia”—begitulah aku menamainya sekarang, sebagai salah satu tempat ternyaman di rumah kami. Seperti kamar Ibu dan Ayah, kamar adikku Alison yang selalu berantakan—bahkan kalah bersih dari tempat tidur Elmo, anjing peliharaanku—juga kamar Tn. Steven si penjaga rumah yang baik hati, ruangan itu pun terlihat biasa saja. Dinding bercat cerah, pintu kayu berukiran bunga, serta lampu yang tergantung di dalamnya tak membuatku berpikiran aneh. Sampai untuk pertama kalinya aku mengalami hal yang mengejutkan.

Semalam, aku tertidur di kamar itu. Dan entah bagaimana ketika terbangun, tiba-tiba saja tubuhku sudah terbaring di atas lantai stasiun, kemudian mendapati seekor beruang besar tengah menyapaku hingga kami menjerit bergantian karena kaget.

“Eum, ini membingungkan tapi… bisakah kau memberi tahuku di mana kita berada sekarang?” tanyaku pada beruang putih bersyal merah, namanya Bill. Apa kalian penasaran bagaimana aku mengetahuinya? Percaya atau tidak, ia bisa berbicara dan mengenalkan dirinya padaku.

“Selamat datang, Cruise. Apa kau masih merasa pusing?” balasnya yang kini melihatku sedang mengelus-ngelus kening sambil memerhatikan sekitar. “Oh, maaf aku lupa. Ini adalah tempat tinggalku sejak kecil—”

Bill terus berbicara seperti burung beo yang sedang dilatih. Kurasa selain lucu, ia juga menyebalkan karena bukannya membantuku untuk berdiri tapi malah asyik bercerita.

“Jadi, di mana kita? Maksudku nama tempat ini.”

Aku menatap serius wajah Bill.

“Baiklah, sepertinya kau baik-baik saja. Ayo, ikutlah denganku dan kau akan tahu di mana kita sekarang.” Hewan berbulu tebal tersebut menarik lenganku agar mengikutinya ke suatu tempat. Sembari mengibas kemeja yang kotor akibat terbaring tadi, aku terus berjalan. Menjajari langkah beruang cerewet itu, lantas memusatkan perhatian pada papan bertuliskan sesuatu, “The Polar Express”.

***

“Kau bercanda?” Bill menggeleng cepat. Saat ini aku berada di rumahnya. Tak seperti bayanganku, tempat tinggalnya ternyata cukup besar dan bagus. Tak jauh berbeda dengan istana-istana di Klugetown—tempat mengagumkan dari buku cerita yang pernah kubaca.

“Tidak, Cruise. Aku serius mengatakannya.”

“Jadi maksudmu…?” Aku mulai teringat dengan kalung pemberian Ayah yang melingkar di leherku. Bentuknya yang unik seperti jam membuatku tertarik untuk memilikinya. Kata Ayah, kalung ini adalah benda ajaib yang bisa mengantarkanku ke suatu tempat bernama “The Village of Bears” jika aku memutar salah satu jarumnya sebanyak tujuh kali, seperti yang Bill katakan barusan.

Ini benar-benar aneh. Aku tidak menyangka jika hal yang mereka katakan itu bukanlah kebohongan belaka. Ya, setidaknya aku membuktikannya sekarang. Berada di tempat terindah yang pernah kutemui.

“Tunggu, itu jika aku memutarnya, bukan? Tapi aku tidak pernah melakukannya jadi bagaimana bisa ini terjadi?” sanggahku begitu menyadari sesuatu.

Bill terkekeh, lantas membuka pintu rumahnya hingga aku bisa melihat salju berguguran di luar sana. “Apa kau yakin tidak melakukannya?”

“Ya,” sahutku cepat sebelum akhirnya merasa ragu. “Eum… seingatku begitu.”

“Haha, kau gadis yang lucu, Cruise,” ledek Bill sambil mengulurkan tangannya. “Baiklah, katakan padaku. Kau masih ingin memikirkan hal ini atau pergi bersamaku sekarang?”

“Berkeliling desa?”

“Ya, jika kau menginginkannya.”

“Tentu saja.” Aku melonjak kegirangan usai menyetujui ajakannya. Setelah mengenakan syal kuning pemberian Bill, kami langsung bergegas pergi. Menyusuri jalanan desa yang sudah tertutup oleh salju namun tetap bisa dilewati.

Kata Bill, meski desa ini hanya mengalami musim salju, tetapi tanaman masih bisa tumbuh dengan subur. Terbukti dengan adanya pepohonan yang berjajar rapi di tepi jalan, pun bunga berwarna-warni yang tertanam di halaman rumah para beruang. Sebagian besar dari mereka adalah penyuka Sweet Crown. Bunga yang bentuknya menyerupai anggrek, namun memiliki mahkota yang berwarna merah pekat. Selain cantik, bunga tersebut juga memiliki keistimewaan. Para beruang termasuk Bill sengaja menanamnya untuk dijadikan kudapan. Rasanya manis seperti permen yang biasa kubeli di kedai langganan belakang sekolah.

“Enak, bukan?” tanya Bill saat aku mencicipi beberapa buah kelopak Sweet Crown yang ia petikkan untukku.

“Ya, ini lezat.”

Usai menghabiskan cemilan di tangan, mataku kembali dimanjakan oleh pemandangan yang tak kalah mengagumkan. Tak begitu jauh dari taman yang kami singgahi, para beruang kecil tengah asyik berseluncur di atas danau yang membeku. Mereka nampak gembira dan saling melepas tawa ketika ada yang terjatuh. Sepertinya lapisan es itu sangat licin hingga Ken, si beruang bertubuh gendut sudah berulang kali terpeleset. Tak pelak, aku dan Bill jadi ikut-ikutan tertawa seperti mereka.

“Ini adalah tempat favorit mereka untuk bermain,” ucap Bill seolah aku sedang bertanya.

“Apa itu tidak berbahaya? Maksudku, danaunya. Bagaimana jika lapisan es di sana tiba-tiba mencair?”

Bill menyunggingkan senyum. “Meskipun masih kecil tetapi mereka sudah terlatih untuk berenang. Lagi pula sudah ada papan peringatan di sana.”

Berbeda dengan benda yang biasa kujumpai di sekitar rumah, papan peringatan yang Bill maksud tidak mencantumkan tulisan yang mudah dibaca, melainkan simbol berupa garis yang sulit kupahami. Mungkin hanya mereka saja yang mengerti, para beruang kutub penghuni desa.

“Oh, astaga!” pekikku saat melihat langit mulai mendung. Tak terasa sudah cukup lama aku berpetualang di tempat ini. Seluruh wilayah desa telah kukunjungi. Menyaksikan berbagai keanehan yang membuatku menggelengkan kepala sekaligus berdecak kagum setelah berkeliling bersama Bill.

Air terjun beraroma raspberry, pohon pembuat angin, dan serbuk ajaib penyubur tanaman adalah hal yang paling kurindukan nanti—saat aku telah pulang ke rumah. Dan aku rasa, akan sangat mengasyikkan jika bisa memamerkan pengalamanku ini kepada si malas Alison. Ah, membayangkan mukanya yang merah padam saja aku sudah bahagia.

“Ayah dan Ibu pasti cemas dan mencariku sekarang,” ucapku sambil bersedekap menahan dingin.

“Ya, kau benar. Kalau begitu jangan membuang waktu lagi dan cepat temui mereka.”

“Bagaimana caranya?”

“Sama seperti saat kau datang, Cruise. Tapi kau tidak akan melakukannya di sini.”

“Lalu… di mana?”

***

Kereta api yang akan membawaku pulang akhirnya datang. Sebelum naik, aku memeluk erat tubuh Bill. Mengucapkan selamat tinggal padanya sekaligus mengucapkan terima kasih karena sudah memberiku pengalaman yang luar biasa.

“Apa kau yakin akan melakukannya?”

“Ya,” balasku yang sudah tak sabar ingin menaiki gerbong kereta. Sebenarnya aku bisa menghilang dari hadapan Bill sekarang juga, di stasiun ini. Tapi ada cara lain yang lebih menyenangkan, dan aku ingin sekali mencobanya.

“Baiklah, Cruise. Aku harap kau tidak melupakan pesanku tadi.”

“Jangan khawatir, Bill. Aku masih mengingatnya,” balasku meyakinkannya. Tapi ucapan Bill itu justru membuatku tertawa geli. Bill bilang, aku terbangun dengan tubuh yang terbaring di atas lantai stasiun karena tidak memutar kalung dengan benar.

“Bagus. Semoga tidak terjadi kesalahan nanti.”

Aku terkekeh. Sepertinya beruang itu benar-benar mengkhawatirkanku.

“Setelah kereta melaju cepat, putar jarum sebanyak tujuh kali dan hentikan tepat di angka dua belas. Benar, bukan?”

“Gadis pintar. Selamat jalan, Cruise.”

“Selamat tinggal, Bill. Aku pasti akan merindukanmu.”

***

Aku terbangun di ruangan ini, kamar yang tak begitu lebar dengan sebuah ranjang kecil di dalamnya. Satu-satunya tempat di rumah kami yang membuatku penasaran. Aku rasa ini bukan kamar biasa, dan sesuatu yang aneh pernah terjadi di sini. Hal yang baru kusadari setelah Elmo terlihat ketakutan usai keluar dari kamar tempatku berada sekarang, di malam pertama musim salju. Entah apa yang terjadi saat itu, tapi yang jelas ia terus menggonggong sepanjang malam.

Ah, sudah pagi rupanya.

Cahaya matahari yang menerobos masuk melalui jendela menyilaukan mataku. Seorang wanita berambut keriting yang memiliki bola mata seperti burung hantu—maksudku jika sedang marah—tengah berdiri sambil melipatkan kedua tangan di depan dada. Ia Angela, ibuku.

“Di sini kau rupanya,” ucap Ibu sambil melipat selimut. “Cepat mandi karena Ayah dan Alison sudah menunggumu di meja makan.”

Aku tak langsung menjawab dan malah sibuk mencari sesuatu. Kalung antik yang ternyata terletak di balik bantal. “Syukurlah. Aku kira hilang,” gumamku dalam hati.

“Ada apa, Sayang? Sepertinya kau gelisah.”

“Tidak, Bu. Aku hanya… ah, apa aku benar-benar tidur di sini semalam?” tanyaku kemudian.

“Sepertinya kau terlalu lelah sampai tak mengingatnya.”

“Eum, mungkin ini hanya mimpi.”

“Apa kau bilang?”

“Bukan apa-apa,” sahutku cepat. Menghindar dari pertanyaan lain yang mungkin akan Ibu lontarkan nanti.

“Baiklah, sekarang cepat turun. Ibu akan segera menyusul.”

Tanpa berlama-lama aku mengiyakan ucapannya, lantas bergegas ke kamar mandi sebelum Alison berteriak karena terlalu lama menunggu. Apa kalian tahu, jika sedang kesal suara keras bocah itu bisa memekakkan telinga. Tn. Steven yang penyabar saja sampai pernah dibuat pusing olehnya.

Tapi sayang, sepertinya aku tidak bisa menceritakan pengalamanku bertemu dengan Bill. Tentu saja, karena itu semua hanya mimpi. Ibu benar, mungkin aku terlalu lelah. Membaca buku berjudul “The Polar Express” hingga larut malam dan akhirnya ketiduran. Lagi pula aneh juga rasanya kalau petualanganku di desa tempat Bill tinggal adalah kenyataan.

Ah, sial. Kenapa aku masih memikirkannya? Ini kan, hanya mimpi.

“Tunggu, Cruise! Apa ini milikmu?” cegah Ibu saat aku sudah berdiri di dekat pintu. Ia mendekat, lalu menyerahkan syal kuning kepadaku.(*)

Tentang Penulis:

Triandira, penyuka fiksi yang belum bisa move on dari mi ayam dan durian. Jika ingin menghubunginya bisa melalui akun FB dengan nama Triandira, email: triwahyuu01@gmail.com

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita